
Meski peran Radio Rimba Raya sangat krusial, keberadaannya hingga kini belum memperoleh tempat yang layak dalam narasi sejarah nasional arus utama. Dalam buku-buku pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah maupun dalam peta narasi resmi yang dikembangkan oleh pemerintah, Radio Rimba Raya jarang disebut secara mendalam.
Oleh : Iswadi*
JERNIH– Dalam perjalanan panjang sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, berbagai elemen dan aktor muncul sebagai pilar-pilar penting yang menjaga semangat dan eksistensi republik di masa-masa paling genting. Salah satu elemen yang selama ini kurang mendapat perhatian dalam narasi sejarah nasional adalah Radio Rimba Raya, sebuah stasiun radio perjuangan yang mengudara dari tengah hutan Aceh Tengah pada masa agresi militer Belanda II tahun 1948.
Radio ini bukan sekadar alat komunikasi, melainkan simbol keteguhan dan keberanian bangsa dalam mempertahankan kedaulatan dan legitimasi Republik Indonesia, yang nyaris terancam hilang di tengah tekanan dan pengkhianatan politik.
Ketika agresi militer Belanda II dilancarkan, banyak tokoh-tokoh utama Republik Indonesia, termasuk Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, ditawan dan dibawa ke Pulau Bangka. Dalam situasi krisis tersebut, Belanda mengumumkan kepada dunia bahwa Republik Indonesia telah berakhir, dengan tujuan membungkam perjuangan bangsa dan mengukuhkan kembali kekuasaan kolonial mereka. Namun, Radio Rimba Raya muncul sebagai suara penentang klaim tersebut. Dari kedalaman hutan yang sulit dijangkau, radio ini mengudara dengan penuh semangat, menyampaikan kepada dunia bahwa perjuangan rakyat Indonesia belum berakhir dan bahwa Republik Indonesia masih hidup dan berjuang.
Peran Radio Rimba Raya sangat strategis. Tidak sekadar menjalin komunikasi antar pasukan dan pejuang di daerah terpencil, tetapi juga menjadi alat diplomasi internasional yang efektif. Siaran radio ini disiarkan dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Inggris, Arab, dan Mandarin, sebagai bentuk usaha untuk menarik simpati dan dukungan internasional. Dengan demikian, Radio Rimba Raya membuktikan bahwa bangsa Indonesia tidak bungkam dan tidak menyerah pada tekanan militer dan propaganda Belanda. Sebaliknya, suara kemerdekaan tetap bergema, menguatkan solidaritas nasional dan mendesak dunia internasional agar mengakui perjuangan dan kedaulatan Indonesia.
Sayangnya, meskipun peran Radio Rimba Raya sangat krusial, keberadaannya hingga kini belum memperoleh tempat yang layak dalam narasi sejarah nasional arus utama. Dalam buku-buku pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah maupun dalam peta narasi resmi yang dikembangkan oleh pemerintah, Radio Rimba Raya jarang disebut secara mendalam. Media budaya populer pun minim mengangkat kisah perjuangan radio ini. Padahal, ada sejumlah kajian akademik, dokumenter lokal, dan sejarah regional Aceh yang sudah mulai mengangkat keberadaan dan peran penting Radio Rimba Raya. Namun, pengakuan tersebut belum meluas dan belum menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah nasional yang lebih besar.
Fenomena ini membuka sebuah perdebatan penting dalam penulisan ulang sejarah Indonesia. Penulisan sejarah nasional selama ini cenderung menyoroti perjuangan di pusat-pusat kekuasaan dan kota-kota besar, dengan tokoh-tokoh yang sudah familiar di kancah nasional maupun internasional. Sedangkan bentuk-bentuk perlawanan dari daerah, terutama yang bersifat tidak konvensional seperti Radio Rimba Raya, masih sering dipandang sebelah mata atau dianggap sebagai narasi sekunder. Padahal, perjuangan daerah-daerah tersebut sangat vital dalam mempertahankan kedaulatan dan legitimasi Republik Indonesia di tengah tekanan yang sangat berat.
Mengapa sebuah medium perjuangan yang memiliki dampak besar dalam menjaga eksistensi dan kedaulatan bangsa bisa nyaris terlupakan dalam sejarah yang ditulis negara? Ada beberapa faktor yang mungkin menjawabnya. Pertama, kondisi geografis Radio Rimba Raya yang beroperasi dari dalam hutan Aceh Tengah membuat dokumentasi dan akses informasi menjadi sulit. Kedua, dominasi narasi perjuangan yang berpusat di Jawa dan kota-kota besar cenderung mengabaikan peran daerah. Ketiga, kurangnya dukungan dan perhatian dari pemerintah dan lembaga budaya dalam melestarikan dan mengangkat cerita perjuangan ini secara masif.
Namun, penting untuk dipahami bahwa Radio Rimba Raya bukan sekadar soal teknologi radio atau siaran gelombang pendek. Ia adalah simbol bahwa kedaulatan sebuah bangsa tidak hanya dijaga dengan senjata dan pertempuran fisik, tetapi juga dengan suara, informasi, dan keberanian untuk menyatakan eksistensi di tengah keterjepitan. Radio ini menjadi alat perjuangan moral dan diplomasi yang mematahkan propaganda musuh dan memperkuat semangat juang rakyat Indonesia.
Dalam konteks perjuangan kemerdekaan Indonesia, Radio Rimba Raya menunjukkan bagaimana perlawanan terhadap kolonialisme tidak hanya terjadi di medan tempur, tetapi juga di medan komunikasi dan informasi. Ini menegaskan pentingnya strategi komunikasi dalam peperangan modern yang tidak hanya melibatkan kekuatan fisik, tetapi juga penguasaan narasi dan opini publik dunia.
Sudah saatnya bagi negara, akademisi, dan masyarakat luas untuk memberikan penghargaan yang setara bagi peran Radio Rimba Raya dalam sejarah perjuangan bangsa. Pengakuan ini tidak hanya berbentuk simbolis, tetapi juga bisa diwujudkan melalui integrasi narasi Radio Rimba Raya dalam kurikulum pendidikan, pengembangan dokumenter dan karya budaya populer, serta pelestarian situs dan arsip yang berkaitan dengan radio ini. Dengan demikian, generasi masa kini dan masa depan bisa memahami dan mengapresiasi keberanian dan pengorbanan para pejuang yang berjuang dari balik hutan dengan media yang sederhana, namun sangat bermakna.
Mengabaikan peran Radio Rimba Raya berarti mengabaikan salah satu titik terang paling berani dan penuh makna dalam gelapnya masa penjajahan kembali. Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, setiap suara dan setiap aksi, sekecil apapun, berkontribusi pada kemenangan besar bangsa ini. Radio Rimba Raya adalah bukti bahwa suara-suara yang mungkin tidak terdengar di pusat-pusat kekuasaan tetap mampu menggema dan menggetarkan dunia.
Sebagai bagian dari penulisan ulang sejarah yang lebih inklusif dan adil, Radio Rimba Raya harus diangkat dan dihargai sebagai salah satu pilar penting perjuangan kemerdekaan Indonesia. Melalui pengakuan ini, kita tidak hanya menghormati masa lalu, tetapi juga menguatkan identitas nasional yang kokoh dan terus berkembang, berlandaskan keberanian, keteguhan, dan kecintaan pada Tanah Air. [ ]
* Dr. Iswadi, M.Pd, dosen Universitas Esa Unggul Jakarta