
Filsuf politik Alexis de Tocqueville, dalam karyanya “Democracy in America” mengingatkan kita bahwa demokrasi yang sehat adalah yang mampu memberi ruang kepada berbagai suara, terutama suara yang tidak terafiliasi dengan partai politik. Ini adalah upaya untuk menjaga agar tidak ada kelompok atau partai politik yang dominan dalam menentukan kebijakan negara.
Oleh : Aa LaNyalla Mahmud Mattalitti
JERNIH– Sistem perwakilan dalam negara kita telah mengalami perjalanan panjang yang penuh liku. Dari era Orde Lama yang penuh dengan penyimpangan, hingga Orde Baru yang cenderung mengutamakan kekuasaan sentralistik, kita berusaha mencari titik temu untuk menciptakan sebuah sistem yang benar-benar mencerminkan keadilan bagi setiap golongan dan daerah di Indonesia.
Salah satu pilar penting dari perwakilan ini adalah utusan golongan dan utusan daerah yang hingga kini masih menjadi bahan perdebatan. Sebagai bagian dari upaya penyempurnaan Konstitusi, kita perlu mempertimbangkan kembali siapa yang seharusnya mengisi posisi-posisi tersebut agar tidak ada celah bagi penyalahgunaan kekuasaan.
Keberagaman Golongan dalam Negara Multikultural
Perwakilan golongan memiliki dasar pemikiran yang tidak hanya menyentuh aspek individu, tetapi juga akar sosial yang menjadi bagian dari identitas seseorang. Setiap individu bukanlah entitas yang terlepas dari latar belakang sosialnya, melainkan merupakan bagian dari kelompok sosial yang mempengaruhi hak-hak dan kedudukannya dalam masyarakat. Dalam konteks ini, perwakilan golongan berangkat dari prinsip keadilan yang mengakui keberagaman golongan dalam masyarakat kita yang plural.
Filsuf John Rawls dalam teori keadilan mengemukakan bahwa prinsip dasar keadilan adalah mengatur ketidaksetaraan sedemikian rupa sehingga memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling tidak beruntung. Penerapan prinsip ini dalam konteks golongan-golongan tertentu di Indonesia menjadi penting, karena tanpa adanya pengakuan dan perlindungan terhadap golongan-golongan ini, keadilan sosial akan sulit tercapai. Jika sistem perwakilan hanya mengutamakan hak individu tanpa melihat latar belakang sosial, maka yang terjadi adalah ketidakadilan yang lebih besar bagi kelompok-kelompok tertentu.
Untuk itu, keberadaan utusan golongan dalam MPR harus memastikan bahwa kelompok yang secara struktural terpinggirkan dalam lembaga perwakilan lainnya, seperti DPR, tetap memiliki suara dan hak untuk didengar. Ini adalah upaya untuk menciptakan sistem perwakilan yang lebih inklusif, yang mencerminkan pluralisme masyarakat Indonesia.
Utusan Daerah dan Perlindungan Ruang Teritorial
Berbeda dengan perwakilan golongan, utusan daerah berangkat dari prinsip bahwa perlindungan negara tidak hanya berlaku terhadap individu, tetapi juga terhadap ruang. “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia” menjadi dasar bahwa setiap daerah, baik yang padat maupun yang jarang penduduknya, harus memiliki hak untuk diwakili dalam lembaga perwakilan negara.
Salah satu usulan yang menarik datang dari Pak Try Soetrisno, yang mengusulkan agar utusan daerah diisi oleh para gubernur. Dalam usulan ini, gubernur tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat, melainkan oleh pemerintah pusat. Hal ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah ini akan menciptakan ketergantungan yang terlalu besar antara gubernur dan presiden, yang bisa berpotensi membuka celah bagi konsolidasi kekuasaan yang berlebihan?
Sejarah menunjukkan bahwa di bawah rezim Orde Baru, Soeharto memanfaatkan posisi-posisi dalam MPR untuk memperkuat cengkeraman kekuasaan. Jika kita membuka peluang bagi presiden untuk mengendalikan suara gubernur dalam MPR, maka kita akan menciptakan potensi yang sama, yakni dominasi presiden yang bisa merugikan sistem demokrasi kita. Maka dari itu, sangat penting untuk merumuskan mekanisme yang lebih adil dan transparan dalam menentukan siapa yang berhak menjadi utusan daerah.
Menjaga Keseimbangan dalam Legislatif
Penting juga untuk mencatat bahwa anggota legislatif, baik di DPR maupun di DPRD, tidak hanya berasal dari unsur partai politik, tetapi juga dari unsur perseorangan. Hal ini sudah diterapkan di beberapa negara, seperti di Uni Eropa dan Afrika Selatan, yang memungkinkan adanya keterwakilan yang lebih luas dalam proses legislatif. Dengan adanya anggota legislatif yang berasal dari unsur perseorangan, kita memberikan ruang bagi mereka yang tidak memiliki afiliasi partai untuk turut serta dalam proses pembuatan undang-undang.
Filsuf politik, Alexis de Tocqueville, dalam karyanya “Democracy in America” mengingatkan kita bahwa demokrasi yang sehat adalah yang mampu memberi ruang kepada berbagai suara, terutama suara yang tidak terafiliasi dengan partai politik. Ini adalah upaya untuk menjaga agar tidak ada kelompok atau partai politik yang dominan dalam menentukan kebijakan negara. Sistem ini juga akan memastikan bahwa proses pembuatan undang-undang tidak hanya dikuasai oleh segelintir orang yang duduk di kursi ketua umum partai politik, tetapi juga oleh individu-individu yang memiliki perspektif independen dan berbeda.
Lebih jauh lagi, kita perlu memastikan bahwa utusan golongan dan utusan daerah memiliki hak untuk melakukan evaluasi dan supervisi atas pembahasan undang-undang di DPR. Dalam hal ini, peran mereka sebagai representasi dari kepentingan masyarakat adat dan daerah sangat penting. Seperti yang dicontohkan oleh negara-negara lain, dengan adanya mekanisme evaluasi yang melibatkan berbagai pihak, kita bisa memastikan bahwa setiap kebijakan yang dihasilkan akan memiliki makna yang lebih dalam bagi seluruh lapisan masyarakat.
Penting untuk diingat bahwa dalam masyarakat yang plural dan multikultural ini, keberagaman harus dihormati dan dijaga. Salah satu cara untuk melakukannya adalah dengan memastikan bahwa setiap golongan dan daerah memiliki perwakilan yang adil dan setara dalam lembaga-lembaga negara.
Menuju Pembaruan Konstitusi yang Berkeadilan
Indonesia adalah negara yang kaya akan keberagaman golongan dan daerah. Karena itu perwakilan dalam MPR, baik itu utusan golongan maupun utusan daerah, harus mencerminkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan memperbaiki mekanisme pemilihan dan penentuan anggota perwakilan, kita dapat mewujudkan sebuah sistem yang lebih inklusif, demokratis, dan berkeadilan.
Ini adalah langkah menuju pembaruan konstitusi yang tidak hanya menuntut perubahan di atas kertas, tetapi juga perubahan yang nyata dalam cara kita memperlakukan setiap golongan dan daerah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Di akhir kata, seperti yang dikatakan oleh Winston Churchill, “Democracy is the worst form of government, except for all the others. Demokrasi adalah bentuk pemerintahan terburuk, kecuali untuk semua bentuk lainnya.” Maka, untuk mewujudkan demokrasi yang sejati, kita harus memastikan bahwa setiap suara, baik dari golongan, daerah, maupun perseorangan, didengar dan dihargai dalam sistem politik kita.[]