
Di hadapan LaNyalla, Ketua Kelompok Tani Wetan Kali dan Kulon Kali, Suroso, mengungkap realitas getir yang dialami para petani. “Setiap kali hujan besar, air dari kota masuk melalui sungai di desa kami. Irigasi tidak lancar, dan tanggul yang jebol sejak beberapa tahun lalu tak kunjung diperbaiki. Kami sudah melapor ke DPRD Kabupaten, tapi sampai sekarang belum ada tindak lanjut,” ujar Suroso.
JERNIH– Kelompok tani dari berbagai dusun di Kabupaten Madiun menyampaikan langsung keluhan dan aspirasi mereka kepada anggota DPD RI asal Jawa Timur, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, dalam kunjungan reses yang digelar Minggu malam, 8 Juni 2025, di halaman Pondok Pesantren Angkreng, Desa Nglames.
Dialog berlangsung terbuka dan penuh tekanan emosi, menyuarakan krisis yang mereka hadapi: perubahan iklim, banjir musiman, infrastruktur pertanian yang tertinggal, dan mahalnya biaya produksi.
Di hadapan LaNyalla, Ketua Kelompok Tani Wetan Kali dan Kulon Kali, Suroso, mengungkap realitas getir yang dialami para petani. “Setiap kali hujan besar, air dari kota masuk melalui sungai di desa kami. Irigasi tidak lancar, dan tanggul yang jebol sejak beberapa tahun lalu tak kunjung diperbaiki. Kami sudah melapor ke DPRD Kabupaten, tapi sampai sekarang belum ada tindak lanjut,” ujar Suroso.
Air sungai yang meluap dari wilayah Kota Madiun telah menjadi momok tetap bagi petani Nglames. Sawah rusak, musim tanam kacau, dan kerugian terus berulang. Dalam situasi ini, menurut Suroso, tak ada celah bagi petani untuk mengembangkan hasil produksi secara layak.
Ia juga menuturkan bahwa selama ini, pupuk dan benih masih disimpan di rumah-rumah warga, yang rawan rusak dan kehilangan. “Kami juga butuh alat pengering padi. Saat musim panen tiba, apalagi di musim hujan, harga gabah jatuh. Kalau bisa disimpan dan dikeringkan dulu, kami bisa mendapat harga lebih baik. Minimal satu mesin pengering berkapasitas lima ton per kelompok tani,” ujarnya.
Kebutuhan alat pertanian dan rencana pengembangan peternakan sapi pun menjadi aspirasi yang disampaikan malam itu. Suroso menyebutkan bahwa lahan pertanian yang selama ini mereka sewa kini banyak dialihfungsikan untuk pembangunan sekolah, menyebabkan luas garapan menyusut drastis. Di sisi lain, mereka harus tetap bertahan hidup.
Tak hanya itu, keluhan paling tajam menyasar mahalnya listrik untuk irigasi. “Dengan kondisi seperti ini, margin keuntungan musim tanam ke-3 sangat tipis. Kami biasanya menahan hasil panen selama dua bulan agar harga naik seribu per kilogram. Tapi tanpa dryer, ini sulit dilakukan,” kata Suroso. Dalam satu musim tanam, ia bisa menghabiskan pulsa listrik hingga Rp18 juta, karena tarif yang dikenakan adalah tarif pelanggan bisnis.
Menanggapi beragam keluhan tersebut, LaNyalla mengungkapkan keprihatinannya dan berjanji akan segera membawa permasalahan ini ke tingkat provinsi. “Saya akan segera berkordinasi dengan Gubernur Jawa Timur agar ada langkah nyata dalam menyelesaikan persoalan banjir dan irigasi ini. Tugas kami di DPD adalah mengawal aspirasi dari daerah agar sampai ke pemerintah pusat maupun provinsi,” kata LaNyalla.
Menurut LaNyalla, sebagian besar persoalan yang dihadapi petani Madiun memang berada dalam lingkup kewenangan pemerintah provinsi, termasuk pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan infrastruktur irigasi. Karena itu, ia menilai penting bagi pemerintah untuk benar-benar berpihak kepada petani di tengah ancaman perubahan iklim yang semakin nyata.
“Pemerintah harus hadir memberikan solusi yang nyata. Mulai dari subsidi listrik untuk petani, penyediaan alat produksi, hingga penguatan kelembagaan kelompok tani. Jangan biarkan petani berjuang sendiri,” ujar LaNyalla.
Ia juga mengajak para petani untuk tidak pernah lelah menyuarakan aspirasinya. “DPD RI adalah rumah besar bagi aspirasi daerah. Kami akan terus memperjuangkan kebutuhan dasar petani agar ketahanan pangan nasional tetap terjaga,” ujar LaNyalla, yang juga merupakan ketua DPD RI ke-5 itu.
Di bawah langit Madiun yang semakin tak menentu, para petani hanya berharap satu hal: agar negara tak lagi sekadar menjadi penonton. Sebab, mereka tak sedang meminta kemewahan, hanya keadilan yang diharap bisa ditanam dan dituai. [ ]