Rusia Menyerang Ukraina; Ujian Politik Luar Negeri Indonesia
Inilah politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Pembelaan kita karena prinsip-prinsip Internasional yang kita anut. Bukan saatnya mengambil posisi di tengah, saat kita tahu kebenaran ada di sebelah kiri atau kanan kita. Indonesia tidak memiliki beban dan ketergantungan kepada Ukraina maupun Rusia.
Oleh : Prof.Yuddy Chrisnandi*
JERNIH—Pada pagi hari 24 Februari 2022 waktu Ukraina, Presiden Rusia Vladimir Putin telah memerintahkan penyerangan skala penuh ke wilayah Ukraina dengan menembakan 160 misil ke berbagai lokasi, tersebar di dalam wilayah kedaulatan Ukraina. Himbauan masyarakat negara-negara Eropa, Amerika Serikat hingga Asia-Pasific agar Rusia tidak memulai perang, sama sekali diabaikan. Bukti-bukti pergerakan pasukan militer Rusia memasuki wilayah kedaulatan Ukraina tidak terelakan.
Hari ini Rusia menampilkan dirinya terlibat langsung dalam masalah separatis internal wilayah timur (eastern) Ukraina ( Dombas Region : Luhank dan Donets) setelah sejak meletusnya gerakan separatis tahun 2014 selalu menyangkal keterlibatannya. Apa pun alasan yang di sampaikan Presiden Rusia menyerang wilayah kedaulatan Ukraina, tidak dapat dibenarkan oleh Hukum Internasional yang dirumuskan di dalam piagam PBB pasal 2 ayat 4 mengenai penggunaan kekuatan ( use of force) terhadap wilayah kedaulatan negara lain yang bukan untuk membela/mempertahankan diri.
Setiap anggota PBB, termasuk Rusia dan Ukraina, diwajibkan menggunakan cara-cara damai dalam menyelesaikan sengketa, bukan dengan kekuatan senjata. Penyerangan itu juga tidak dapat diterima dengan nalar akal sehat, suatu bentuk penyerangan militer terhadap suatu negara yang bukan merupakan ancaman terhadap negara lain.
Tindakan Rusia, tentu tidak dapat diterima oleh masyarakat dunia yang cinta damai, termasuk Indonesia. Hukum Internasional secara tegas telah mengatur bahwa agresi sebagai sebuah kejahatan serius yang menjadi perhatian komunitas internasional.
Berbagai upaya negara Eropa yang memprakarsai pembicaraan damai Rusia-Ukraine melalui Minks Agreement maupun hadirnya OSCE (Organization for Security and Cooperation of Europe) di mana Jerman dan Prancis menjadi penengahnya sudah dilakukan sejak tahun 2014. Sayangnya, kesepakatan yang dibuat dianggap selalu dilanggar oleh kedua belah pihak dan dianggap menguntungkan salah satu pihak dari perspektif yang berbeda.
Sementara itu, tidak ada langkah-langkah yang lebih nyata dari negara-negara besar di Eropa seperti Jerman dan Prancis, juga Amerika Serikat yang merupakan sekutu Ukraina dalam membantu Ukraina mengatasi masalah keamanan negerinya dari ancaman Russia.
Jika kita melihat sedikit kebelakang, apa yang menyebabkan konflik ini berlangsung memanas hingga Russia menyerang Ukraina hari ini? Berawal dari tergulingnya Presiden Ukraina ke-4, Victor Yanukovich di tahun 2014 yang pro-Rusia, yang membatalkan hasil referendum kehendak rakyat Ukraina bergabung dengan masyarakat uni eropa. Yanukovich melarikan diri ke Rusia hingga saat ini.
Presiden selanjutnya, Petro Poroshenko yang dilantik bulan juni 2014 atas hasil pemilihan umum dihadapkan pada okupasi semenanjung Crimea oleh Russia dengan alasan referendum rakyat Crimea yang memilih bergabung dengan Russia dan pemberontakan gerakan separatis di wilayah timur ukraina yang berbatasan dengan Russia. Kedua front konflik tidak dapat diatasi oleh kekuatan militer saat itu.
Ukraina dan masyarakat dunia meyakini bahwa Russia berada di belakang gerakan separatisme dan secara terbuka mencaplok Crimea yang berada dalam kedaulatan Ukraina, tanpa perlawanan perang.
Di bawah Presiden ke-5 Ukraina, Petro Poroshenko melanjutkan upaya Ukraina bergabung dengan MEE dan NATO. Hal ini tentunya tidak disukai oleh Russia. Terlebih mendaftarnya Ukraina menjadi anggota NATO dianggap sebuah ancaman keamanan bagi kepentingan pertahanan Russia yang langsung berbatasan dengan Ukraina. Presiden ke-6 Ukraina, Volodymyr Zelensky melakukan langkah yang lebih progresif dalam upaya mengembalikan Crimea dan menghentikan gerakan separatis di eastern Ukraine sejak pelantikannya bulan mei 2019.
Ekskalasi ketegangan yang berujung pada serangan Russia kemarin baru berlangsung tiga bulan saja, sebelumnya suasana berjalan normal. Provokasi negara lain akan terjadinya perang dan retorika Presiden Ukraina yang terkesan menantang, menjadikan perang itu nyata terjadi.
Saat pertama kali tiba di Ibukota Kyiv, musim semi di bulan april 2017, saya berusaha mengenal budaya dan sosiologi masyarakat Ukraina, selain mencermati keadaan sosial ekonomi dan keamanan negara tersebut. Beberapa bulan kemudian, kami yang bertugas di KBRI Kyiv menyimpulkan bahwa status negara Zona kuning berbahaya bagi diplomat dan WNI yang ditetapkan Kemenlu RI agar dicabut. Ukraina aman, nyaman dan damai. Sepanjang lebih dari empat tahun melaksanakan tugas diplomatik di Ukraina, memberi kesan yang dalam akan masyarakatnya yang ramah, sederhana dan cinta damai. Bahkan terhadap wilayah kedaulatannya yang di rampas pun, Ukraina tidak menggunakan kekuatan bersenjata untuk merebutnya. Yang Ukraina lakukan di dalam wilayahnya di timur adalah menjaga agar gerakan separatis tidak masuk lebih jauh ke dalam wilayah Ukraina yang telah disepakati dalam perjanjian Minks yang disepakati para pihak berkonflik, termasuk Russia.
Dalam kurun waktu 2017-2021, situasi keamanan dan stabilitas ekonomi dan politiknya cukup kondusif, tidak ada keraguan dan kekhawatiran hidup di negara tersebut. Bahkan saat terjadi tragedi tabrakan kapal perang Russia vs Ukraina di teluk Kerch akhir tahun 2018, Presiden Petro Porosehnko memberlakukan State of Emergency atau keadaan darurat perang selama sebulan penuh, bukanlah hal yang menakutkan.
Saya bersama para kepala perwakilan negara-negara sahabat lainnya beberapa kali mengunjungi wilayah perbatasan konflik, suasana yang biasa saja. Justru kekhawatiran akan meletusnya perang terjadi setelah dalam tiga bulan terakhir ini Amerika serikat dan NATO menarasikan akan terjadinya perang Russia-Ukraina, tanpa kehadiran mereka di wilayah Ukraina menghadapi serangan Rusia saat ini.
Indonesia dan masyarakat internasional, tentunya sangat menyayangkan tindakan Russia menyerang Ukraina yang damai. Apapun alasannya, perang harus dihentikan. Dunia yang damai adalah tujuan berhimpunnya negara-negara dalam organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Perang pasti selalu membawa derita bagi semua pihak. Dunia tidak menghendaki lagi terjadinya peperangan dengan alasan apa pun.
Banyak cara yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan setiap sengketa melalui jalan diplomasi yang damai. Serangan yang baru dua hari berlangsung sudah menimbulkan dampak ekonomi dunia, harga minyak dan gas bumi sebagai sumber energi melejit. Transportasi udara dan laut di kawasan tersebut terhenti. Hubungan Diplomatik antarnegara terganggu. Sanksi yang dijatuhkan AS terhadap Russia berdampak luas. Jika berlarut, dunia segera merasakan dampaknya dalam waktu dekat.
Kini masyarakat ukraina pada umumnya dan WNI kita yang tinggal di sana dalam keadaan khawatir akan keadaan yang lebih buruk di hari mendatang. Antrean pengisian BBM sudah memanjang, supermarket sudah mulai diserbu pembeli bahan kebutuhan pokok, gerai-gerai pengambilan mesin uang dipenuhi antrean.
Amerika Serikat sudah memulangkan semua warganya dari wilayah Ukraina,diikuti negara-negara lain. KBRI di Kyiv mulai mengevakuasi seratusan WNI ke gedung KBRI yang relatif lebih aman sebagai tempat perlindungan. Beberapa kota besar di Ukraina, seperti Odessa, Kharkiv, Chernihiv, Kyiv Oblast dan lainya sudah dihujani tembakan misile Russia. Ratusan ribu penduduk Ukraina mulai bergerak ke perbatasan polandia untuk mencari tempat yang aman, sebagian lainnya berlindung di stasiun-stasiun kereta api bawah tanah jika mendengar sirine peringatan. Presiden Ukraina, Zelensky sudah menyerukan rakyatnya untuk maju, membela mempertahankan negara.
Serangan Russia terhadap Ukraina, sesungguhnya adalah serangan untuk Russia sendiri. Negaranegara dunia akan memberi sanksi yang berat kepada Russia atas keputusan Presidennya menyerang Ukraina tanpa landasan objektif.
Di tengah keraguan Ukraina yang merasa sendirian membela dirinya menghadapi kekuatan militer Russia yang digdaya dan arogansi negara itu yang tidak menghormati hukum internasional , Indonesia sebagai negara netral yang bersahabat dengan keduanya memiliki momentum menjadi penengah. Indonesia memiliki hubungan historis dengan kedua negara di era kejayaan Uni Sovyet. Hubungan ekonomi dagang antara Indonesia dengan keduanya terus meningkat prospektif ( 1,3 T dolar AS) dengan Ukraine dan 2,7 T dolar dengan Russia, 2021). Indonesia adalah pasar ekonomi masa depan bagi keduanya.
Sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar dunia, penggagas Gerakan Non-Blok, pemimpin ASEAN, Ketua G-20 tahun 2022, peran diplomasi Indonesia dibutuhkan oleh kepentingan kedua negara. Lebih jauh dari itu, Indonesia menganut nilai-nilai universalisme dalam hubungan internasionalnya yang menentang segala bentuk agresi, pemaksaan kehendak, penggunaan kekuatan bersenjata, intervensi wilayah dan diplomasi jalan damai dalam penyelesaian sengketa. Inilah politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Pembelaan kita karena prinsip-prinsip Internasional yang kita anut. Bukan saatnya mengambil posisi di tengah, saat kita tahu kebenaran ada di sebelah kiri atau kanan kita. Indonesia tidak memiliki beban dan ketergantungan kepada Ukraina maupun Rusia.
Indonesia bisa mengambil sikap atas dasar keyaninan kebenaran yang kita anut. Inilah ujian bagi Indonesia di tengah perang Ukraina yang membela diri dari serangan Russia . Sekaligus amanat konstitusi kita bagi pemerintah untuk turut serta menjaga perdamaian dunia yang berdasarkan keadilan dan kemanusiaan. Kita meyakini, para pemimpin kita sadar akan hal ini, tergerak untuk melakukan tindakan Diplomatiknya menghentikan perang di Ukraina demi perdamaian dunia. [ ]
*Guru Besar Ilmu Politik Universitas Nasional, duta besar Indonesia di Kyiv 2017-2021