Aku sedang butuh buku putih. Untuk
kisah yang selalu dipalsukan. Bukankah gaza mudah dieja jadi
gizi. Hingga orang-orang bertengkar. Dan menetaknya dengan
mortar
JERNIH—Acep Iwan Saidi adalah budayawan dan penyair yang tinggal di Bandung. Pengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB ini tersentuh dengan derita Palestina yang terus berlangsung lama, penuh tipuan, ditutupi aneka permainan citra. Rangkaian puisi ini ditulis pada rentang 2009-2014. Tetap segar dan aktual, selama Palestina tetap kita lupakan dari agenda harian umat Islam.
GAZA (1)
udara jadi dentum
merobek langit
di atas hari yang
dipatri pada
lempeng
asap.
yang tembaga
tidak ada yang menarik
anak-anak dari televisi
mereka cuma teriak:
“kami ingin sembunyi
dari takdir mortir!”
tapi tak ada dewa
dalam sinema
tidak ada yang menutup layar
sedang kita terus saja
berbincang
Bandung, 2009
GAZA (2)
Kau memintaku menulis rima, selarik saja soal gaza. Tapi, aku
takbisa bermain gitar. Aku sedang butuh buku putih. Untuk
kisah yang selalu dipalsukan. Bukankah gaza mudah dieja jadi
gizi. Hingga orang-orang bertengkar. Dan menetaknya dengan
mortar
langit jadi tembaga, kawan. Dan aku tidak bisa
berlari. Juga ke dalam puisi. Kata-kata taklagi
jadi senjata. Apalagi rima. Sebaliknya, senjata kini telah lama
menjadi abjad, yang dieja tanpa tanda baca. Jangan bertanya
tentang kaca mata. Apalagi zirah. Bukankah itu kisah tentang
sesuatu yang tidak pernah ada
Bandung, 2009
GAZA (3)
Di headline koran, bom itu meledak. Dan kita tersedak.
Di sana, di balik dinding yang miring, seorang bocah mencoba
untuk tidak merinding. “Ketakutan sudah tidak berarti, di
sini”, kata seorang laki-laki renta. Di antara desing peluru yang
mengoyak televisi dan kita yang murung.
Di sana, di bawah pintu yang terkelupas, seorang ibu mencoba
untuk tidak termangu. “Kepedihan sudah tidak berarti, di sini”,
kata seorang laki-laki renta. Di antara granat yang sudah menjadi
gerimis dan kita yang mengepit tabloid.
Di sana, di Gaza, tidak pernah ada berita. Di sini, kita bermimpi
buruk tentangnya
dalam televisi
Bogor, 2014
GAZA (4)
Ketika bom itu meledak di balik pintu, seorang bocah tengah
terlelap di kamar belakang. Ia sedang asyik dengan mimpinya:
tentang mawar yang mekar di halaman sekolahnya. Ia tersenyum
saat ranjangnya bergoyang. “Aku akan terbang ke masa depan,”
teriaknya Dan ia memang terbang
Tepat ketika bom itu meledak di balik pintu
“Yang kejam adalah sejarah”, tulis seorang politisi senior di
sebuah jurnal. Entah sejarah siapa. Ia tidak pernah berkisah
tentang si bocah yang terbang ke masa depan.
Tepat ketika bom itu meledak di balik pintu
Bogor-Bandung, 2014