
Alasan budaya dan agama sering dijadikan dalih, mengabaikan kewajiban moral dan religius untuk menegakkan keadilan berdasarkan ilmu dan bukti. Padahal, tanpa konfirmasi otopsi, pembuktian menjadi lemah dan penyebab kematian simpang siur. Akibatnya, terdakwa berisiko divonis atas dasar bukti tidak utuh—atau justru pelaku bisa lolos karena bukti tidak cukup kuat.
Oleh : Yoni Syukriani*
JERNIH– Perundungan dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Diponegoro diduga kuat menjadi penyebab meninggalnya ARL, seorang mahasiswa program tersebut. Polda Jawa Tengah disebut menggunakan metode otopsi psikologi sebagai bagian dari penyelidikan.
Dalam sidang dakwaan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Senin (26/5/2025), Jaksa Sandhy menyebut: “Faktor utama yang ditemukan pada almarhumah adalah hilangnya rasa kepercayaan diri, frustrasi, ketakutan yang mendalam, hilangnya kemampuan untuk bertindak berkontrol serta penghayatan ketidakberdayaan.”
Namun, benarkah penyebab kematian bisa disimpulkan tanpa otopsi biomedis?
Otopsi Psikologi vs Otopsi Biomedis
Otopsi psikologi merupakan proses untuk menilai berbagai faktor psikologis yang berkaitan dengan korban, mencakup perilaku, pikiran, perasaan, dan relasi sosialnya. Proses ini dilakukan secara retrospektif, melalui wawancara dengan keluarga dan orang-orang terdekat, serta analisis terhadap barang pribadi seperti surat dan data digital. Sebaliknya, otopsi biomedis mencakup pemeriksaan luar dan dalam tubuh mayat, termasuk analisis laboratorium, dan merupakan standar emas dalam investigasi forensik.
Penggunaan otopsi psikologi tanpa didampingi otopsi biomedis bukan hal baru di Indonesia—dan selalu menimbulkan perdebatan. Dalam kasus dugaan bunuh diri maupun tindak pidana, ketidakhadiran otopsi biomedis memperlemah dasar ilmiah kesimpulan penyebab kematian.
Contoh mencolok terjadi pada 2022, ketika empat anggota keluarga ditemukan tewas “mengering” di Kalideres, Jakarta Barat. Kepolisian menggunakan otopsi psikologi untuk menyimpulkan kematian alami, tanpa otopsi biomedis. Langkah ini mendapat kritik keras dari kalangan forensik karena mengabaikan pendekatan ilmiah. Keterbatasan alat, sumber daya manusia, dan tekanan politik kerap menjadikan otopsi psikologi sebagai jalan pintas investigasi.
Hal serupa terjadi dalam kasus kematian Mirna Salihin (2016). Otopsi biomedis tak dilakukan karena ditolak keluarga, meski ada dugaan kuat kematian disebabkan racun sianida. Tim forensik hanya mengambil sampel lambung dan mengandalkan gejala klinis. Tanpa pemeriksaan jaringan secara mikroskopis, indikasi korosi lambung tak bisa dibuktikan. Dengan demikian, kesimpulan tentang keracunan sianida tak memiliki validasi ilmiah penuh. Namun Jessica divonis bersalah berdasarkan otopsi psikologi dan circumstantial evidence seperti rekaman CCTV dan testimoni saksi—putusan yang memicu kritik dari pakar hukum meski tak ramai di masyarakat.
Dalam kasus ARL di Undip, fakta persidangan menyebut adanya penggunaan Rocuronium—obat injeksi pelumpuh otot yang sangat kuat, yang dapat menyebabkan kematian akibat kelumpuhan otot pernapasan. Namun, apakah keterangan ini cukup untuk menyimpulkan almarhumah meninggal karena overdosis?
Jawabannya: tidak.
Sebelum menyimpulkan apakah ARL meninggal karena sakit, bunuh diri, atau dibunuh, harus terlebih dahulu dibuktikan: apakah Rocuronium benar ditemukan dalam tubuh korban? Jika ya, dalam bentuk apa—murni atau metabolit? Berapa konsentrasinya? Adakah luka suntikan sebagai jalur masuk obat ke tubuh? Jika ditemukan, pertanyaan selanjutnya: apakah ia menyuntikkan sendiri atau disuntikkan orang lain?
Semua pertanyaan itu hanya bisa dijawab melalui otopsi biomedis dan pemeriksaan toksikologi—bukan spekulasi psikologis.
Penolakan Otopsi dan Lemahnya Landasan Hukum
Sayangnya, penegak hukum di Indonesia kerap kalah atau “mengalah” ketika keluarga menolak otopsi. Alasan budaya dan agama sering dijadikan dalih, mengabaikan kewajiban moral dan religius untuk menegakkan keadilan berdasarkan ilmu dan bukti. Padahal, tanpa konfirmasi otopsi, pembuktian menjadi lemah dan penyebab kematian simpang siur. Akibatnya, terdakwa berisiko divonis atas dasar bukti tidak utuh—atau justru pelaku bisa lolos karena bukti tidak cukup kuat.
Kasus penganiayaan di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat (2023), juga menunjukkan betapa penolakan otopsi oleh keluarga menghambat penyidikan. Namun, kepolisian tak bisa memaksa karena belum ada dasar hukum yang kuat. Nyaris tidak pernah terdengar pasal 222 KUHP—yang memungkinkan penyitaan jenazah untuk otopsi—diterapkan dalam kasus-kasus semacam ini.
Prof. Romli Atmasasmita, pakar hukum dari Universitas Padjadjaran, telah menyarankan agar KUHAP direvisi. Menurutnya, otopsi biomedis seharusnya diwajibkan dalam setiap kasus kematian yang tidak wajar—terlepas dari izin atau penolakan pihak keluarga.
Standar Internasional dan Risiko Kekeliruan
Di sejumlah negara dengan keterbatasan sumber daya seperti India dan Brasil—mungkin termasuk Indonesia—otopsi psikologi kerap dijadikan pengganti otopsi medis. Namun praktik ini dikritik karena meningkatkan risiko kesalahan dalam diagnosis penyebab kematian.
Sebaliknya, negara-negara di Eropa menganjurkan integrasi kedua metode dalam kerangka etik yang ketat. Otopsi psikologi dianggap hanya sebagai circumstantial evidence—bukti tidak langsung—dan tak boleh berdiri sendiri dalam menentukan sebab kematian.
Otopsi biomedis tetap merupakan satu-satunya metode yang dapat mengungkap penyebab kematian secara fisik: keracunan, trauma internal, atau penyakit organik. Tanpa konfirmasi biomedis, kesimpulan psikologis tentang niat bunuh diri atau pembunuhan sangat rentan keliru.
Otopsi biomedis bisa menentukan cause of death (penyebab kematian), sementara otopsi psikologi hanya memberi gambaran manner of death (cara atau konteks kematian). Dalam sistem hukum Amerika Serikat, otopsi psikologi cukup diterima dalam pengadilan perdata, tetapi dalam perkara pidana, penerimaannya lebih hati-hati dan penuh keraguan.
Penelitian Kapusta dkk (2011) di 35 negara menunjukkan bahwa kesimpulan tentang cara kematian—apakah itu bunuh diri, kecelakaan, pembunuhan, atau penyakit—patut diragukan di negara-negara dengan tingkat otopsi rendah.
Karena itu, otopsi psikologi idealnya digunakan sebagai pelengkap, bukan pengganti. Ia bermanfaat bila mendukung hasil otopsi biomedis, bukan menggantikannya dalam kasus pidana.
Simpulan
Sangat disayangkan jika para pejabat negara tergesa-gesa menyimpulkan kematian seseorang sebagai bunuh diri tanpa dasar ilmiah dan hukum yang kuat. Ini adalah wilayah yang seharusnya ditangani dengan investigasi mendalam, karena menyangkut hak almarhumah, hak keluarga, hak terdakwa, dan hak warga negara.
Lebih buruk lagi bila kesimpulan prematur itu dijadikan pijakan dalam pembuktian hukum—mengandalkan otopsi psikologi tanpa disertai otopsi biomedis.
Dalam persidangan terdakwa kasus kematian PPDS Undip, kita berharap Yang Mulia Hakim dapat memutus perkara dengan keadilan yang sejati—atas nama Tuhan—berdasarkan ilmu pengetahuan, kejelasan fakta, dan kejernihan nalar serta rasa.
“Distorsi bukti di pengadilan bukan hanya kesalahan teknis. Ia meruntuhkan fondasi peradaban,” kata Martin Luther King Jr. [ ]
*Guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran