Pemuka agama ini pun bergaya hidup bak ‘sultan, king, dan juragan’. Pada dirinya, terpantul pula ciri doyan ngonten dan pamer sedekah. Namun triknya berbeda. Jika para ‘sultan’ lain bersedekah memberikan uang atau paket sembako kepada kaum duafa, ‘Sultan Sedekah’ ini mempraktikkan sebaliknya: ‘menodong’ jamaah agar bersedekah saat dia berceramah,menukil ayat-ayat tentang ganjaran sedekah yang berlipat-lipat. Sementara di dunia nyata, ia belakangan digugat karyawan yang tak digaji 20 bulan lamanya!
Oleh : Akmal Nasery Basral*
JERNIH—Senyampang di gerbang bulan suci Ramadhan, serial tulisan “Sultan, King, dan Juragan” kali ini meneroka flexing di bidang keagamaan. Ingatan publik perlu disegarkan lagi bahwa flexing is signaling atau ‘cara pamer pesan tokcer’. Ada tiga jenis pesan yang biasanya ingin disampaikan yaitu: pengalaman, keahlian, dan pencapaian.
Ambil contoh seorang penggemar durian. Kemana pun dia berjalan, akan disempatkannya mencari durian lokal yang diharapkannya bisa membuat sensasi rasa terlontar ke awan. Yang dilakukannya tak hanya testing, juga flexing. Tujuannya agar publik tahu bahwa dia sudah mengalami sendiri rasa durian lokal tersebut, bukan menurut pendapat orang lain.
Contoh lain seorang profesional yang sering bertemu klien, biasanya akan memajang ijazah dan sertifikat di ruang kerja untuk menunjukkan dirinya kompeten. Entah dokter, pengacara, arsitek, atau penata rambut. Ini signaling bertaut dengan keahlian yang patut.
Contoh berikutnya seorang penjelajah antartika, pendaki puncak dunia, atau penyelam dasar samudera, akan dengan bangga memamerkan lokasi di mana mereka berada. Ini signaling yang berhubungan pencapaian. Semua bentuk “flexing is signaling” ini sah sebagai teknik persuasi terselubung (covert persuation technique) karena tak ada misinformasi apalagi disinformasi yang lancung.
Masalah baru muncul jika signaling dilakukan melalui rangkaian trik heboh seperti dilakukan sepasang suami istri pemilik satu travel umroh. Lini masa media sosial mereka lebih banyak dijejali flexing pelesiran mereka ke tempat-tempat mewah, serta barang-barang supermahal yang mereka pakai bak ‘sultan dan sultanah’.
Padahal dari pengakuan ‘Sultan Umroh’ yang sempat viral, terendus muslihat sudah dirancang sejak awal. Perusahaan travel mereka sebenarnya tak punya program umroh ketika nekad ikuti sebuah tender terbuka. Modalnya? “Hanya berbekal baca-baca sejumlah literatur tentang umroh, kami beranikan diri presentasi, ternyata malah bisa menyisihkan pesaing yang sudah berpengalaman,” ujar sang sultan yang ketika itu berusia 27 tahun. Maka dirinya dan istri–usia setahun lebih muda–untuk pertama kalinya menjadi pemandu jamaah yang terdiri dari 127 pegawai Bank Indonesia dan 50 pegawai Pertamina. “Tak ada yang tahu kami suami istri. Tak ada juga yang tahu kami tak punya pengalaman umroh,” lanjutnya.
Mengapa mereka sembunyikan identitas sebagai pasangan suami-istri? Entahlah. Padahal mereka sudah menikah tujuh tahun sebelumnya, ketika masih sama-sama mahasiswa. Sayangnya, pernikahan itu alih-alih membuat mereka tambah semangat menyelesaikan kuliah justru membuat mereka menyerah. Hengkang dari kampus, memilih pesona dunia kerja yang membius. Suami bekerja di mini market, istri sebagai pegawai marketing alat kecantikan. Mereka juga jualan ponsel, seprai, cetak foto. Namun kehidupan tak berubah seperti yang diinginkan meski hampir sewindu perkawinan.
Nasib baik terjadi usai membawa jamaah umroh. Setelah keberangkatan rombongan pertama, tahun itu mereka bisa berangkatkan 800 orang jamaah. Tahun berikutnya, naik hampir lima kali lipat menjadi 3.800 jamaah. Nama travel mereka pun berkibar kencang. Mengapa? Karena harga paket jauh lebih murah dari travel lain, namun dengan fasilitas setara paket yang lebih mahal. Siapa yang tidak ngiler?
Kok bisa? Bagaimana caranya? Yup, benar tebakan Anda: skema Piramid. ‘Sultan dan Sultanah Umroh’ memakai uang pendaftaran jamaah baru untuk mensubsidi biaya jamaah lama. Awalnya, siasat ini berjalan hebat. Rombongan demi rombongan lancar berangkat. Namun seiring melonjaknya peminat, meski ‘Sultan dan Sultanah’ sudah merekrut 835 agen kemitraan aktif dan menjual waralaba dengan Rp 1 miliar ke sejumlah pihak yang berminat, akhirnya piramid itu roboh dalam lima tahun yang laknat.
‘Sultan dan Sultanah Umroh’ tak bisa lagi memberangkatkan 63.000 ( enam puluh tiga ribu) calon jamaah yang masih antre menunggu jadwal keberangkatan karena uang perusahaan ludes tak bersisa. Kasus penipuan jamaah umroh terbesar di Indonesia, mungkin juga di dunia.
Walhasil kasus bergulir ke pengadilan. ‘Sultan Umroh’ divonis 20 tahun penjara dan istrinya ‘Sultanah’ diganjar 18 tahun penjara. Keduanya masih harus bayar denda Rp 10 miliar. Akhir menyedihkan bagi pasangan ‘Sultan dan Sultanah’ yang tersirap flexing dan perangkap Skema Piramid membakar nalar.
Apakah seluruh jamaah menjadi korban? Sebagian besar iya. Namun ada juga yang jeli memanfaatkan paket murah dengan mendaftarkan diri 2-3 kali sehingga bisa berangkat lagi dan lagi. Jamaah jenis ini penganut aji mumpung. Tak peduli mereka menzalimi hak calon jamaah lain yang tak beruntung.
Bagaimana sebutan untuk jamaah umroh tamak seperti itu? Jika sebutan ‘haji pengabdi setan’ yang diperkenalkan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub (1952-2016)—mantan imam besar Masjid Istiqlal–sebagai patokan, rasanya masih kurang kena. Sebab istilah yang juga dijadikan judul buku oleh beliau (Pustaka Firdaus, 2006), digunakan untuk menyebut jamaah yang berulangkali pergi umroh dan haji untuk melampiaskan egoisme ibadah individual, padahal masyarakat di sekitar mereka tinggal masih banyak yang untuk kebutuhan harian pun terpontal-pontal.
Bayangkan! Jika untuk jamaah yang pergi dengan uang halal saja dikritik begitu keras oleh Kiai Mustafa Yaqub–alumnus Fakultas Syariah Universitas Imam Muhammad bin Saud, Riyadh, Saudi Arabia—lantas sebutan lebih pedas apalagi yang digunakannya seandainya masih hidup dan melihat ada kumpulan orang yang melaksanakan umroh dengan menggunakan dana orang lain tanpa izin bahkan membuat sang pemilik dana gagal berangkat?
S-E-R-A-K-A-H. Ini ciri berikutnya setelah ‘eksploitasi konten (settingan)’ dan ‘pamer sedekah’ yang sudah diulas pada tulisan sebelumnya tentang karakter para ‘Sultan, King, dan Juragan’ abal-abal. Yang menyedihkan, kali ini terjadi di ranah agama yang sakral. Tragedi ‘Sultan dan Sultanah Umroh’ yang kini dibui bukan satu-satunya kisah yang mencoreng wajah dunia dakwah. Ada lagi kisah tak kalah garang, bahkan masih berlangsung sampai sekarang. Ini dilakukan seorang pemuka agama yang berkibar namanya selama dua dasawarsa.
Pemuka agama ini pun bergaya hidup bak ‘sultan, king, dan juragan’. Pada dirinya, terpantul pula ciri doyan ngonten dan pamer sedekah. Namun triknya berbeda. Jika para ‘sultan’ lain bersedekah memberikan uang atau paket sembako kepada kaum duafa, ‘Sultan Sedekah’ ini mempraktikkan sebaliknya: ‘menodong’ jamaah agar bersedekah saat dia berceramah. Dari menyetorkan uang, cincin, kalung, giwang, arloji, isi dompet, sampai kunci motor dan mobil. Tak jarang aksi nodong jamaah dilakukan di tengah siaran langsung televisi yang membuat jamaah lain di masjid atau penonton di rumah terheran-heran melihat kefasihan bicara ‘Sultan Sedekah’ yang sangat memikat seraya menukil ayat-ayat tentang ganjaran sedekah yang berlipat-lipat.
Ketika ditanya mengapa dia melakukan itu di sebuah acara talk show, jawabannya ringan. “Guru renang mengajarkan renang, guru senam mengajarkan senam. Saya mengajarkan ilmu sedekah, maka jamaah harus mempraktikkan sedekah.” Hmm…
‘Sultan Sedekah’ tersohor punya ambisi menggebu memperluas kerajaan bisnisnya yang terbentang dari sektor properti, tambang, portal pembayaran digital (e-money) untuk menyebut beberapa. Semua terlihat bisnis riil dengan produk nyata. Presentasi demi presentasi yang dilakukannya kepada jamaah di dalam dan luar negeri selalu tokcer menyedot dana. Iming-iming keuntungan yang dijanjikan ‘Sultan Sedekah’ membuat jamaah kian bergairah karena meluncur dari lisan pemuka agama super ramah.
Namun rencana hanya sebatas bertanam tebu di bibir. Manis terasa, sulit direalisir. Proyek-proyek propertinya mangkrak. Para ‘investor’—tak semuanya jamaah berduit, banyak jamaah kelas menengah ke bawah yang hidup sulit—tersentak. Jangankan keuntungan investasi yang tak dibayar sesuai janji, modal awal investasi pun susah ditarik kembali.
Proyek tambang “Sultan Sedekah” di luar Jawa pun macet. Para investor—kali ini kumpulan jamaah kaya raya dari sebuah masjid megah di sebuah pemukiman prestisius—kontan merepet. Dari seorang jamaah (investor) yang baru memasukkan gugatan, ‘Sultan Sedekah’ digugat Rp 98 triliun! Ya, ini bukan typo. Triliun, bukan miliar, Masbro!
Gugatan akan dimasukkan secara bergelombang oleh 15 arranger (ketua kelompok) di mana seorang arranger mewakili 1-100 orang investor dengan total investasi berkisar Rp 400 juta sampai Rp 5,6 miliar. Gugatan Rp 98 triliun itu adalah gebrakan yang diajukan oleh arranger pertama. Masih akan ada rentetan gugatan lainnya dari arranger lain karena mereka bergabung dalam sebuah Task Force yang sudah sebal diombang-ambingkan selama 11 tahun terakhir.
Bagaimana cara memahami hubungan sosiologis ‘Sultan Sedekah’ dengan para jamaah yang satu ketika pernah begitu mesra—syahdan belasan orang perwakilan jamaah diberangkatkan ke tambang di pulau luar Jawa itu dan mendapat layanan akomodasi kelas satu—kini berubah menjadi konflik mengerikan seperti hubungan Rusia-Ukraina yang menderu-deru?
Mengapa para jamaah kaya raya begitu mudah percaya ucapan ‘Sultan Sedekah’ yang dalam perusahaan tambang itu menjabat sebagai komisaris utama?
Salah satu daya tariknya terletak pada skema sedekah yang dijadikan pilar utama pembagian keuntungan. Setiap kali investor mendapatkan keuntungan bulanan langsung dipecah menjadi tiga alokasi yaitu: sedekah untuk yayasan milik ‘Sultan Sedekah’, sedekah untuk BMT masjid tempat para investor bernaung sebagai pengelola investasi–besaran persentase kedua sedekah ini sama pada kisaran 14+ persen—yang terakhir baru untuk keuntungan pribadi investor (porsi lebih kecil, sekitar 11+ persen).
Kalau Anda pikir pembagian keuntungan seperti itu pasti membuat calon investor mundur ambil langkah seribu, Anda keliru. Kosmologi berpikir jamaah yang bersih dalam nawaitu, membuat keuntungan material tak selalu bertengger di urutan satu.
Dengarlah bagaimana penuturan seorang arranger —ya, yang menggugat Rp 98 triliun itu—mengapa dia setuju menanamkan modal. “Setelah melihat lokasi tambang, bisnis ini sangat prospektif. Pembagian keuntungan yang menyertakan sedekah membuat keuntungan dunia didapat, keuntungan akhirat juga didapat,” ujarnya. “Pertimbangan ini yang membuat saya dan para jamaah mau beramai-ramai menyetor modal.”
See? Betapa mulianya kumpulan investor berhati berlian yang sulit ditemukan penjelasannya pada teori-teori investasi berbasis ekonomi murni. Mengingat kasus ini sedang bergulir di pengadilan, mari pindah ke penutup tulisan, tentang portal aplikasi pembayaran.
Tak bisa disangkal, nama dan karisma ‘Sultan Sedekah’ membuat portal pembayaran uang e-money miliknya sangat viral. Selain fungsi luas untuk bayar listrik, tagihan PAM, pulsa telepon dan internet, beli tiket pesawat dan kereta api, serta segudang kemudahan lain—jangan lupa, termasuk juga untuk, yes, sedekah—nama portal pembayaran ini sangat nge-tren. Apalagi portal ini pun diposisikan sebagai pilihan umat. Maka, umat pun berduyun-duyun gunakan portal ini karena positioning yang makjleb.
Hari berganti, waktu berlalu. Diam-diam portal pembayaran sempoyongan. Bukan karena lonjakan konsumen dan pelanggan, melainkan mulai ditinggalkan konsumen setia—para jamaah. Lalu, sebuah berita mengejutkan meledak melalui somasi seorang karyawan perempuan yang mengaku sudah 20 bulan tak digaji oleh portal pembayaran kebanggaan ‘Sultan Sedekah’ yang sempat digadang-gadang sebagai ‘perusahaan manajemen investasi syariah pertama di Indonesia’ itu.
Kabar ini mencemaskan. Bagaimana bisa ‘Sultan Sedekah’ tak bayar hak karyawan selama itu sementara ajaran yang disampaikannya adalah pesan Baginda Nabi yang sangat penting, “Bayarlah upah buruh sebelumnya keringatnya kering”?
Mundur sejenak ketika portal aplikasi pembayaran ini berdiri 3,5 tahun lalu, target yang dibidik adalah 10 juta pelanggan dengan pengelolaan dana Rp 30 triliun per bulan. Angka yang membuat mata terbelalak? Bagi jamaah mungkin iya, tetapi bagi ‘Sultan Sedekah’ ternyata tak. Dengarkan bagaimana impiannya berlanjut. “Kalau kita berhasil kumpulkan 60 juta pengguna, kita bisa kelola dana sampai Rp 120 triliun. Itu masih kecil,” katanya. Whew!
Kini ‘Sultan Sedekah’ sudah bulat tekad melepaskan 100 persen saham miliknya di portal pembayaran itu. Apalagi setelah dana kelola per Februari 2022 tinggal Rp 1,6 miliar alias terjun bebas dari dana kelola periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 13 miliar. Bagaimana kelanjutannya? Just wait and see jurus apa lagi yang ditampilkan ‘Sultan Sedekah’ kali ini.
‘Ala kulli hal, semoga datangnya bulan suci mendinginkan semua yang panas menyengat, melancarkan semua yang mampat tersumbat. Marhaban ya Ramadhan. Selamat beribadah Ramadhan bagi pembaca yang menjalankan. Lupakan ambisi-keinginan menjadi ‘Sultan, King, dan Juragan’ jika jadikan orang lain sebagai korban pijakan. Sebab tak ada artinya kekayaan yang diperoleh dari menginjak-injak perikemanusiaan dan mencampakkan keadilan. [ ]
*Sosiolog, novelis