
Namun di balik semua keributan itu, tersimpan kesetiaan yang tak bisa dibantah. Saat ibu saya wafat, Yan adalah orang pertama yang datang malam itu juga. Dan ketika ibunda Yan dirawat di rumah sakit, setiap malam saya menemani Yan dan keluarganya berjaga.
Oleh : Geisz Chalifah
JERNIH– Ada banyak orang yang bersahabat karena selalu sependapat, selalu merasa cocok dalam hampir semua hal. Berbeda dengan saya dan Yan Hiksas.
Hampir di setiap perkara, kami selalu berseberangan. Bertengkar bukan lagi kebiasaan, tapi sudah jadi tradisi. Puluhan, mungkin ratusan kali.
Saya mengenalnya sejak masih mahasiswa tingkat awal. Jurusan berbeda, tapi sama-sama aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Semua kawan di kampus tahu, saya dan Yan hampir tak pernah akur dalam setiap perdebatan. Namun mereka juga tahu: bila kami sedang bersilang pendapat, lebih baik jangan ikut campur. Sebab siapa pun yang mencoba menengahi bisa jadi justru terkena “peluru nyasar.”
MS Kaban, yang kelak jadi menteri kehutanan, pernah berseloroh: “Kalau dua orang itu lagi ribut, jangan dileraikan. Lebih enak ditonton. Kalau kalian coba melerai, malah kalian yang babak belur.”
Tapi entah kenapa, pertengkaran-pertengkaran itu tak pernah menjelma jadi permusuhan. Mungkin karena kami berdua sama-sama ada “gilanya”. Dan di tengah semua perbedaan itu, ada satu hal yang pasti: kepercayaan.
Setiap kali ada pemilihan ketua umum—baik Senat maupun Presiden Kappija (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia–Jepang?—red) —saya selalu mendukung Yan. Saat itu kami bisa begitu akur, berdiri di barisan yang sama. Tapi begitu pemilihan selesai dan ia menang, kami pun kembali ke kebiasaan lama: bertengkar lagi.
Namun di balik semua keributan itu, tersimpan kesetiaan yang tak bisa dibantah. Saat ibu saya wafat, Yan adalah orang pertama yang datang malam itu juga. Dan ketika ibunda Yan dirawat di rumah sakit, setiap malam saya menemani Yan dan keluarganya berjaga.
Malam tadi, saya dan Yan berbincang lagi. Menjelang bubaran saya berkata pelan:
“Kita sudah tua ya, Yan.”
Ia menoleh, lalu bertanya: “Memangnya kenapa?”
Saya tersenyum dan menjawab: “Karena kita sudah tidak pernah bertengkar lagi.” [ ]