Tersangka Kasus Brigadir J; Ibarat Menunggu Godot
Tampaknya berawal dari ‘kegatalan’ menyaksikan dan menunggu semua ini maka versi-versi sampingan dari narasi utama pembunuhan Brigadir Yoshua ini pun terangkat dan tersebar. Didukung masyarakat yang hampir di setiap tangan mereka tergenggam gawai pintar, info-berita-video-meme-tangkapan layar-foto-foto itu pun dengan massif beralih tangan. ‘Sas-sus binti hush-hush’ pun segera tersiar luas dan menjadi ‘berita’ di kalangan awam.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH–Sudah hampir sebulan waktu bergulir sejak mencuatnya kasus tewasnya Brigadir Yoshua (Brigadir J) dan melibatkan—setidaknya–rumah perwira tinggi Kepolisian, Irjen Ferdy Sambo. Selama itu pula belum ada satu pun tersangka yang secara resmi ditetapkan Kepolisian. Di era digital yang serba cepat, kala publik tak lagi bisa diminta menahan diri untuk menunggu datangnya kelanjutan sebuah serial televisi–terbukti dengan banyaknya orang yang memilih tv berlangganan versi terbaru, Disney Hot Star dan Netflix, misalnya, yang memberikan pemirsa segembol episode sebuah serial bersambung sekaligus—gerak polisi mengungkap kasus ini mulai dianggap publik lamban.
Lalu ekses pun mulai datang. Tengoklah media sosial. Di sana dengan segera kita bisa menemukan ‘kelanjutan serial’ kasus Brigadir J itu dalam aneka versinya. Spekulasi liar? Mungkin saja. Tetapi laiknya cerita, semua versi memiliki sisi-sisi rasionalisasinya sendiri.
Lantas karena budaya bergegas—mungkin bisa pula disebut serba ingin instant—itu mulai menjadi kebiasaan, publik pun melahap semuanya dengan rakus. Kadang, karena kehendak untuk dianggap menjadi ‘’yang pertama tahu”—di satu medsos lokal dikenal sebagai “Pertamax””– pun mulai pula jadi snobisme tersendiri, info-info itu pun segera berseliweran di media sosial, berlanjut ke media massa yang tergopoh-gopoh didesak ‘kemajuan informasi’ media sosial untuk ikut pula menjadikannya ‘berita’.
Valid? Bisa ya, lebih sering tidak. Yang jelas, verifikasi yang sejatinya menjadi dasar jurnalisme pun kini kian alpa dilakukan. Alhasil, sesegera sebuah versi berita muncul, hanya dalam hitungan hari, bahkan kadang jam, muncul pula versi ‘check fakta’-nya di beberapa media. Alhasil, bila orang tak ingin terperosok ke dalam lubang informasi palsu, ia pun harus rajin-rajin meng-Googling versi check fakta berita tersebut segera setelah membaca sebuah info. Dari sini, kita sadar bahwa fungsi media yang salah satunya adalah clearing house of informatian, saat ini masih tinggal di negeri Utopia.
Namun lepas dari urusan budaya instan yang kian mengungkung kebiasaan publik kita, sejatinya wajar saja bila masyarakat mulai mempertanyakan Polri. Pasalnya, kasus ini jelas kasus besar yang langsung menohok kredibilitas Polri. Setidaknya, karena yang menjadi korban adalah aparat Polri, sementara—kalau mengambil asumsi kejadian sebagaimana versi awal Polisi, locus delicti-nya pun rumah seorang perwira tinggi polisi dengan jabatan strategis. Para penyidik yang diturunkan untuk membedah-mengurai-membelejeti kasus ini pun jelas bukan penyidik ‘kaleng-kaleng’ kalau memakai idiom anak milenials. Lalu mengapa penyingkapannya begitu merayap lamban, ibarat jalannya Garry Si Keong dalam serial kartun SpongeBob SquarePants? Mungkin harus digarisbawahi: hingga saat ini Polisi belum menetapkan satu pun tersangka dalam kasus ini.
Tampaknya berawal dari ‘kegatalan’ menyaksikan dan menunggu semua ini maka versi-versi sampingan dari narasi utama pembunuhan Brigadir Yoshua ini pun terangkat dan tersebar. Didukung masyarakat yang hampir di setiap tangan mereka tergenggam gawai pintar, info-berita-video-meme-tangkapan layar-foto-foto itu pun dengan massif beralih tangan. ‘Sas-sus binti hush-hush’ pun segera tersiar luas dan menjadi ‘berita’ di kalangan awam.
Di sisi ini, muncullah kasus sampingan yang antara lain melibatkan sebuah situs berita daring, Media Cakra. Jangan kaget bila namanya baru Anda dengar saat ini. Asal tahu saja, pada 2017 lalu Dewan Pers menyatakan, di tahun itu saja sudah ada 43 ribu portal media online yang terdata, dengan hanya 500 yang terdaftar oleh Dewan Pers, dan tahun itu baru tujuh yang terverifikasi. Meski matahari sudah lima kali 365 hari bergulir, kemajuan yang dicapai belumlah signifikan mengingat jumlah puluhan ribu itu.
Ceritanya, Media Cakra yang berkantor di wilayah Salatiga, Jawa Tengah, dan dikomandani pimpinan redaksi Prabu Galuh Susilo itu memuat beberapa cerita sampingan dari narasi utama pembunuhan Brigadir J. Misalnya, beberapa hari lalu Media Cakra menulis berita panjang dengan judul seram “Membongkar Satgassus Merah Putih Beroperasi di Dalam Polri”. Di dalamnya diceritakan banyak hal yang membawa-bawa pula nama pati Polri yang tengah berada dalam sorotan publik: Irjen Ferdy Sambo.
Tulisan yang ternyata juga dimuat di laman Opposite6890 itu menceritakan bagaimana “Satgassus Merah Putih” tersebut berdiri, terbangun dan beroperasi.
Sebagaimana Opposite6890 menampilkannya, Media Cakra pun menampilkan foto Surat Perintah (Sprint) Kapolri nomor Sprin/1246/V/HUK.6.6/2020, tanggal 20 Mei 2020, di mana nama Ferdy Sambo yang saat itu masih berpangkat brigjen, ditetapkan sebagai kepala Satgassus tersebut.
Tulisan juga mengulas bagaimana dan dari mana dana-dana non-budgeter untuk operasional satuan tugas tersebut didapat. Pokoknya, ceritanya seremlah. Persoalannya, cerita yang ditulis dengan gaya teori konspirasi itu minim konfirmasi dan verifikasi.
Namun, yang (akan) membuat tulisan tersebut (seolah) mendapatkan justifikasinya, tulisan itu kini telah hilang dari laman Media Cakra. Setidaknya, bila kita mendapatkan link berita dengan judul tersebut dari WA, saat kita klik, yang akan kita temukan di halaman itu hanya tulisan: “Ooops…Kesalahan 404. Maaf, tapi halaman yang Anda cari tidak ada.” Entah siapa yang melakukan hal tersebut. Setidaknya, jajaran redaksi Media Cakra mengaku tidak menghapusnya.
“Iya, kami kena hack. Sudah dua hari hilang, tiba-tiba saja per tanggal 31 Juli lalu, ”kata Pemimpin Redaksi Media Cakra, Prabu Galuh Susilo kepada Inilah.com, setelah berkali-kali menghubunginya via telepon. Prabu menengarai hal itu berkenaan dengan tulisan yang mereka aplod sebelumnya, soal Satgassus tersebut. “Tapi ini baru mungkin,ya,”kata Prabu.
Menurut pimred situs yang diakuinya sudah terverifikasi Dewan Pers itu, sampai Rabu (3/8) pagi ketika bertelepon, admin Media Cakra belum bisa masuk Content Management System (CMS) media daring tersebut. Prabu mengatakan, kejadian ini bukan pertama kalinya dialami Cakra. “Tapi yang terparah memang kali ini, dulu-dulu sih cuma hilang, tapi (CMS) masih bisa kami masuki. Masih bisa kami update.”
Tentu saja kejadian tersebut ujung-ujungnya merugikan citra Polisi, pihak yang paling mungkin dituding melakukan hal tersebut. Padahal, pihak mana pun yang memiliki kemampuan teknologi informasi tinggi dalam meretas, menginfiltrasi dan merusak situs berita tersebut, bisa saja melakukannya.
Itulah sebabnya, sekali lagi Polri harus segera membikin benderang kasus ini sejelas-jelasnya. Bukan rahasia lagi kalau publik sudah sangat berharap terjadinya kondisi yang dalam peribahasa Melayu lama dibilang “ayam putih terbang siang, hinggap di kayu merangas, bertali benang, bertambang tulang”, alias jelas sejelas-jelasnya.
Apalagi Presiden Jokowi pun sudah lebih dari tiga kali menyatakan bahwa dirinya ingin agar kasus ini terbuka jelas, tuntas dan jujur. Yang terakhir, keinginan itu beliau sampaikan dalam Rapat Terbatas dengan Kementerian Koordinator Politik Hukum Keamanan, 2 Agustus lalu. Lalu apa lagi yang ditunggu Kapolri? [dsy]