Solilokui

Waktu, Si Bengis Pemangsa Manusia

Tapi birahi Batara Guru kadung memuncak. Sebagai sosok yang paling berkuasa di mayapada, dia pantang ditolak. Dia perkosa istrinya hingga spermanya — atau kama — muncrat ke lautan. Diterima oleh bumi dengan penuh jijik, kama itu akhirnya menjelma menjadi Kala, simbol paling kelam dari kegelapan.

Oleh  : Agus Kurniawan

JERNIH– Konon seorang dewa ditakdirkan menjadi penguasa kelaliman. Namanya Kala, atau Batara Kala. Berujud raksasa sebesar gunung, tapi tak kasat mata. Dugdeng, sakti tak terperi. Pembantai siapa saja yang lalai.

Agus Kurniawan

Cara dia lahir pun sumir. Hasil mesum justru sosok yang dianggap termulia. Batara Guru, ayah Kala–raja-diraja para dewa yang terhormat, tak bisa menahan diri melihat kemolekan tubuh Uma, istrinya, di waktu yang tak pantas. Yakni saat mereka berdua menunggangi kelangenan, sapi terbang Andini.

Istrinya enggan melayani. Malu pada alam yang menonton. Juga dewa-dewi yang lalu lalang menyangga gerak kehidupan. Tapi birahi Batara Guru kadung memuncak. Sebagai sosok yang paling berkuasa di mayapada, dia pantang ditolak. Dia perkosa istrinya hingga spermanya — atau kama — muncrat ke lautan. Diterima oleh bumi dengan penuh jijik, kama itu akhirnya menjelma menjadi Kala, simbol paling kelam dari kegelapan.

Kala lalu bersimaharaja. Meminta jatah manusia untuk dimangsa. Setiap senja dia berpatroli keliling seisi bumi. Manusia yang terlena akan dihabisi. Tak peduli siapa pun. Entah itu penguasa, cerdik pandai, atau rakyat jelata.

Untuk melawannya, secara rutin manusia harus menjalani ruwatan: semalam suntuk mengingat asal usul kejadian–sangkan paraning dumadi. Para juru dongeng–yang dikenal dengan sebutan dalang–akan membantu memanggil ulang memori kedirian itu, yang mungkin sudah lusuh oleh timbunan kesibukan. Ini seperti tamparan pipi yang menyadarkan saat kita melamun.

Dalam Bahasa Jawa, “kala” bisa berarti jerat. Para petani membuat jebakan untuk menangkap burung atau hewan liar. Tapi “kala” juga berarti waktu. Dia bengis, menjerat setiap eksistensi untuk dihabisi.

Entah ada hubungannya atau tidak, Ronggowarsito pernah menulis dalam syair “Kalatida:

Yang lebih beruntung adalah yang waspada dan ingat (akan kesejatiandirinya)”. [ ]

Back to top button