Spiritus

Catatan Menjelang Buka (30) : Pulang

Lihatlah prosesi thowaf dalam ritual berhaji: putarannya melawan arah jarum jam, bukan? Kita terus berputar melingkari, sekaligus menuju titik pusat: titik Batu, tempat di mana Yang Mahasetia menunggu. Tidak ada yang tidak bisa pulang. Sebab kita adalah  Pulang itu sendiri.

Oleh  : Acep Iwan Saidi

JERNIH–Sekali lagi, saya sedang berada di kereta menuju Jakarta, saat menulis catatan ini. Umumnya pegawai, negeri atau pun swasta, sudah libur hari ini. Sepanjang perjalanan dari rumah ke stasiun tadi, Bandung sudah sangat sepi.

Acep Iwan Saidi

Sebagian perantau di kota ini kiranya sudah banyak yang mudik sejak pekan lalu. Saya sendiri ke Jakarta. Masih bekerja. Stasiun televisi CNN meminta untuk menjadi narasumber. “Ini tapping, Pak, bukan live”, demikian kata seorang staf redaksi, melalui WA, beberapa hari lalu. Sebelum mengiyakan, saya bilang harus mencari tiket kereta dulu, terutama untuk pulang ke Bandung.

Pulang? Saya kemudian merenung. Hari-hari menjelang lebaran kata “pulang” memang selalu naik daun, khususnya dalam gabungannya dengan kata “kampung” menjadi “pulang kampung”. Lebih populer kita mengenalnya dalam istilah “mudik”. Nyaris dalam setiap kesempatan kita menemukan kata itu tersebar di mana-mana: di rumah, di komplek perumahan, di kantor, di pasar, di warung-warung, hingga di masjid.

Di masjid, dalam beberapa kali ceramah yang saya ikuti, Pak Ustad selalu menghubungkan mudik atau pulang kampung dengan kepulangan sebenarnya, yakni pulang mengahadap Tuhan. “Kita semua akan pulang. Mudik adalah gambaran bagaimana pulang sebaiknya dilakukan. Mudik yang menyenangkan adalah dengan membawa banyak buah tangan”. Demikian kurang lebih kata Sang Penceramah. Berikutnya kita pasti akan tahu, kemana arah petuah akan dilanjutkan.

Saya selalu mendengarkan tiap ceramah dengan seksama. Saya selalu teringat Imam Ali. Sahabat Nabi yang paling cerdas ini selalu mendengar.  Jika pun telah beribu kali “Perpustakaan Berjalan” di zaman Rasul itu mendengar kata yang sama, Ia akan tetap menyimak. Demi Allah ilmu itu memang milik Allah. Bukan hanya ilmu, tapi manusia yang memiliki ilmu itu sendiri  bukankah juga milik Allah? Sebab itu Allah bisa menganugerahkan ilmu kapan saja sesuai kehendak-Nya. Ilmu dan pengetahuan-baru bisa didatangkan dari sesuatu yang telah kita anggap usang  sekali pun.

“Penemuan itu milik Tuhan”, demikian Cokorda Raka Sukawati, Sang Penemu teknik konstruksi  Sosrobahu yang fenomenal itu.

Begitulah juga, buat saya, tentang definisi pulang. Seperti terhadap sebuah benda asing, saya tidak henti membolak-balik kata sederhana yang terus diulang oleh banyak ustad dan banyak orang itu. Imajinasi saya mengatakan bahwa sesungguhnya kita bukan akan pulang, tapi memang sedang pulang. Pulang adalah kata yang melekat di dalam tubuh kita. Kita adalah Si Pulang.

Karena sedang pulang, langkah kita sesungguhnya tidak menuju ke depan, melainkan ke arah sebaliknya, yakni ke belakang.  Kita berjalan ke belakang punggung kita sendiri. Masa depan kita, jika begitu, terletak di belakang. Langkah kita berlawanan dengan putaran jarum jam.

Dengan begitu, mungkinkah waktu yang sedang berjalan ke depan. Allah saja yang tahu. Kita sendiri, dengan melangkah ke belakang, berarti sedang menuju pada Keabadian. Sebab dari Yang Baqa kita berasal. Lantas, kalau kita melangkah ke arah keabadian berarti waktu akan habis dalam kefanaan. “Yang fana adalah waktu/Kita abadi”, demikian tulis Sapardi Djoko Damono dalam sebuah sajaknya.

Tapi, mengapa kamu selalu berbicara tentang masa depan. “Masa depan adalah harapan, masa depan adalah kejayaan!”teriakmu. Itulah ilusi yang dihembuskan waktu. Faktanya, bukankah masa depanmu adalah ketuaanmu? Dalam tua, bukankah kamu hanya rangka.

Jika kita sedang pulang sedemikian, lalu apa makna mudik? Apa pula arti kepulangan saya nanti dari Jakarta ke Bandung. Itu hanyalah momen-momen flashback dalam narasi, peristiwa dalam fungsi katalisator. Kisah kita yang sesungguhnya terletak pada fungsi utama cerita, yaitu Pulang.

Lihatlah prosesi thowaf dalam ritual berhaji: putarannya melawan arah jarum jam, bukan? Kita terus berputar melingkari, sekaligus menuju titik pusat: titik Batu, tempat di mana Yang Mahasetia menunggu. Tidak ada yang tidak bisa pulang. Sebab kita adalah  Pulang itu sendiri. Selamat berbuka. Semoga bahagia. [  ]

*Ketua Forum Studi Kebudayaan FSRD–ITB

Back to top button