Kebersamaan itu Barokah
Kenikmatan yang hanya dirasakan sendiri akan sangat kalah dengan kenikmatan yang dirasakan oleh banyak orang dalam waktu dan tempat yang sama.
Oleh: Prof Dr KH Ahmad Imam Mawardi
MENGAPA Rasulullah Muhammad senang makan bersama dan menganjurkan makan bersama? Ada keberkahan dalam kebersamaan. Keberkahan dalam kebersamaan sesungguhnya tak hanya dalam hal makan, melainkan dalam banyak hal. Ini menguatkan banyak teori tentang pertalian rasa atau psikologi sosial. Kenikmatan yang hanya dirasakan sendiri akan sangat kalah dengan kenikmatan yang dirasakan oleh banyak orang dalam waktu dan tempat yang sama.
Bagi sebagian orang, yang dirindu mungkin adalah makanan “mewah” dan modern. Pizza, spaghetti, atau produk olahan modern menjadi impian dan harapan. Namun tak sedikit orang yang merindukan makanan tradisional dan klasik (kuno) terutama yang biasa dimakan pada waktu kecil dan sudah lama tidak dirasakan karena pindah tempat atau pindah gaya hidup. Singkong, ubi rebus, es tape dan sambal terasi kadang sangat diharap dan diburu oleh para perindu.
Lihat saja popularitas warung, resto, dan kedai yang menjual nama kampung atau desa yang sangat ramai pengunjung, menjual nama masakan tradisional, atau identitas lain yang berkonotasi masakan desa tradisional. Bukan hanya itu, restoran atau warung di tengah sawah atau di pinggir sungai atau kolam menjadi lebih favorite dibandingkan yang di tengah kota. Pertanda apa ini? Kerinduan terhadap masa lalu atau memang masakan tradisional lebih murah dan sehat?
Semalam, di pondok kami di Surabaya, kami dan santri disuguhi buka bersama es cincau atau es cao hitam itu. Ini menu wajib buka puasa di desa jaman saya kecil. Para santri senang sekali, bahkan banyak yang berkehendak nambah, sementara ini cincau limited edition. Saat usai shalat tarawih, semuanya makan bersama singkong rebus yang dimakan dengan sambel khas desa, campuran petis, cuka, garam dan cabai.
Minumannya adalah air siwalan alias la’ang atau legen yang “diimpor” dari negara Madura bagian timur. Semua kami senang, bahagia, dahi berkeringat dan bibir memerah karena rasa pedas cabe. Ada banyak yang ketagihan. Ini karena rindu masa lalu atau memang karena lapar?
Pernah saya mendengar teori tentang rindu masa kecil, rindu kampung halaman dan rindu masa lalu. Biasanya teori ini menjadi dasar pijakan saat berbicara tentang mudik. Mengapa larangan atau pembatasan mudik banyak dikeluhkan dan tidak disepakati banyak orang? Jawabannya adalah karena menghalangi kerinduan masa kecil dan masa lalu, kerinduan kampung halaman.
Nah, masa kecil kita, di manapun kita hidup pada waktu itu, dipenuhi dengan rasa senang, rasa bahagia dan rasa tanpa beban? Tidak rindukah dengan masa itu, saat kita bermain dan makan jajanan bersama teman-teman? Kalau rindu, kembalilah seperti anak kecil yang tidak egois dan tidak tamak, tidak berniat jelek kepada siapapun, serta tak menjadikan hidup sebagai beban. Percayalah pada keindahan pengaturan Allah, bertaubatlah dari dosa dan kesalahan dan berbagilah kebahagiaan dengan yang lain. Inilah yang disebut kerinduan dan mudik ke masa kecil yang riang gembira. Semoga kita senantiasa senyum bahagia. Salam, A. I. Mawardi. [*]
* Founder and Director di Pondok Pesantren Kota Alif Laam Miim Surabaya