Masihkah Kau Ragukan Cinta-Nya?
![](https://jernih.co/wp-content/uploads/Islami-11.jpeg)
Oleh: Prof Dr KH Ahmad Imam Mawardi
ANAK semata wayang itu akhirnya tumbuh menjadi remaja. Berdua dengan ibunya dia tinggal setelah ayahnya meninggal dunia di saat anak itu berusia 7 tahun. Ayahnya meninggal karena kecelakaan kerja saat terlibat dalam sebuah proyek pembangunan besar demi mencari nafkah untuk kelangsungan kesejahteraan keluarganya. Ayah yang sangat bertanggung jawab lahir dan batin.
![](https://jernih.co/wp-content/uploads/AIM-13.jpg)
Saat si anak telah berusia 18 tahun, dia merasa dewasa, dia bertanya kepada ibunya apa yang harusnya dilakukan olehnya nanti terutama saat menginjak usia 20 tahun. Usia 20 tahun dianggapnya usia yang cukup dewasa untuk berpikir mandiri dan merdeka. Ibunya merangkulnya sambil berkata bahwa itu masih 2 tahun lagi, waktu yang lama, tak usah ruwet-ruwet dipikir kini. Ibunya ingin anaknya tenang bahagia serta senang bersama sang ibu.
Saat anak itu berusia 19 tahun lebih mau masuk usia 20 tahun, anak itu sakit dan masuk ke rumah sakit. Ibunya setia sekali menjaganya dan merawatnya. Sang ibu meminta dokter untuk cek lab lengkap. Tim dokter memanggil sang ibu dan memberi tahu bahwa anaknya mengalami gagal jantung. Harapan hidupnya kecil.
Sang ibu kaget namun tetap tampil tenang di depan anaknya. Anaknya bertanya kepada ibunya: “Ibu, apa kata dokter? Saya akan mati ya? Saya belum usia 20 tahun ibu. Ananda menunggu janji nasehat ibu saat saya usia 20 tahun.” Ibunya memaksakan diri untuk tersenyum sambil berkata: “Kamu akan baik-baik saja, anakku.” Anak itu tertidur dalam damai.
Sepertinya sang anak itu tidur agak panjang. Lama juga dia di rumah sakit. Saat tersadar dan bangun dari tidurnya, yang dicarinya pertama kali adalah ibunya. Ibunya tak ada di sampingnya. Dia dijaga oleh suster perawat. Setelah sehat betul dan diijinkan pulang, dia pulang. Sampai di rumah, yang dicari dan dipanggilnya adalah ibunya. Dia akan menagih janji nasehat ibu untuk dirinya yang sudah menginjak berusia 20 tahun.
Ibunya tak ditemukan. Yang ditemukannya adalah sepucuk surat di atas kasur sang Ibu, bertuliskan: “Anakku, kutitipkan jantungku di dalam tubuhmu. Di manapun kamu berada, di sana ada Ibu. Sehat selalu ya anak. Ibu tunggu engkau di pintu surga.” Anak itu menangis tersedu, ternyata ibunya rela menyumbangkan jantungnya untuk hidup sang anak yang sudah sekarat. Masih ragukah akan cinta orang tua kita? Apa yang kita balaskan untuk mereka?
Tulisan ini adalah untuk setiap orang yang tulus berbakti kepada kedua orang tuanya. Terutama kepada mereka yang terus bershadaqah atas nama orang tuanya, walau keduanya sudah meninggal dunia. Semoga kedua orang tua kita selalu dalam rahmat dan ampunan Allah. Salam Jum’at barakah, A. Imam Mawardi. [*]
* Founder and Director di Pondok Pesantren Kota Alif Laam Miim Surabaya