Setetes Embun: Tiga Lembar Hukum Kasih
Penulis: P. Kimy Ndelo CSsR
Kita mengasihi sesama dan diri kita sendiri karena sesama dan diri sendiri adalah gambar dan rupa Allah. Ini adalah cara satu-satunya untuk mengasihi Allah secara benar.
JERNIH-Seorang wanita datang kepada seorang Guru dan bertanya: “Bagaimana saya tahu kalau sebuah agama itu benar?”. Guru itu menjawab dengan mengulangi kisah ini.
Ada seorang raja bijaksana dengan tiga putera. Raja ini mempunyai satu warisan ajaib: sebuah cincin yang memberi dia kemampuan berbelaskasih, murah hati dan keramahan yang besar. Menjelang ajalnya, masing-masing dari tiga putera ini datang dan meminta cincin ajaib ini. Sang Raja menjanjikan hal yang sama kepada ketiga puteranya. Tapi bagaimana itu mungkin?
Dia lalu meminta tukang emas membuat dua cincin tiruan yang persis sama dengan cincin asli. Cincin itu dibagikan kepada mereka. Lalu raja itu wafat. Ternyata mereka lalu sadar mempunyai cincin yang sama. Mereka datang kepada hakim dan minta agar memutuskan mana cincin yang asli. Hakim pun tak sanggup.
Seorang hakim tua lalu berkata: dia yang hidup sesuai dengan khasiat cincin itu, dialah yang memakai cincin yang asli. Lalu mereka pun berusaha hidup dengan belaskasih, kemurahan hati, dan keramahan.
Guru itu berkata kepada wanita: “Jika engkau ingin tahu mana agama yang benar, perhatikanlah siapa yang mewujudkan kasih Tuhan kepada dunia”.
“Hukum manakah yang paling utama?” (Mrk 12,28).
Ini adalah pertanyaan seorang Ahli Taurat kepada Yesus. Pertanyaan ini melengkapi daftar pertanyaan yang diajukan oleh para lawan Yesus untuk memojokkan atau menjebak Yesus karena segala ucapan dan tindakannya dianggap menyerang agama Yahudi dan para tokohnya. Ini adalah ujian atas pengetahuan dan kemampuan keagamaan Yesus.
Mengapa yang ditanyakan soal hukum utama padahal tidak dicatat secara eksplisit tentang hal ini dalam Kitab Taurat? Hal ini berangkat dari kebiasaan tokoh-tokoh agama Yahudi dengan dua kecenderungan. Yang satu ingin memperbanyak 613 hukum dalam Kitab Taurat menjadi ribuan aturan-aturan kecil. Yang lainnya yang ingin membuat simpel Kitab Taurat menjadi beberapa kalimat saja.
Model yang kedua ini dibuat Daud, sebagai contoh, dengan membuat hukumnya terdiri dari 11 kalimat saja (Mazmur 15). Yesaya membuatnya menjadi 6 saja (Yes 33,15), kemudian jadi sisa 2 (Yes 56,1). Nabi Micah membuatnya jadi 3 saja (Mic 6,8). Dan nabi Habakuk menjadikannya 1 saja: “orang benar hidup oleh iman” (Hab 2,4).
Ketika Yesus ditanya, Dia menjawab dengan memgambil rumusan utama yang dikenal sebagai “Shema O Israel”: Dengarlah Hai Orang Israel. Dia mengutip secara lurus kitab Ulangan (6,4) yang menjadi inti seluruh ajaran dan hukum Israel: Mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa dan kekuatan. Akan tetapi kasih terhadap Allah ini harus diwujudkan dalam kasih terhadap sesama. Maka Yesus menambahkan bagian kedua dari kitab Imamat: kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri (Im 19,18).
Maka hukum utama versi Yesus terletak pada tiga lembaran ajaib: mengasihi Allah, mengasihi sesama, dan mengasihi diri sendiri. Tiga lembaran ajaib ini membentuk satu buku kasih yang menjadi inti terdalam sebuah agama, khususnya agama Kristen.
Kita mengasihi Allah karena hanya dengan cara itu kita menyempurnakan gambaran Allah dalam diri kita. Kita mengasihi sesama dan diri kita sendiri karena sesama dan diri sendiri adalah gambar dan rupa Allah. Ini adalah cara satu-satunya untuk mengasihi Allah secara benar.
Dari ketiga hal ini, mengasihi sesama adalah bagian yang paling menantang. Siapakah sesamaku? Jawaban Yesus terletak pada kisah tentang Orang Samaria yang baik hati, dikisahkan tepat setelah episode Hukum Utama ini dalam Injil Lukas (Luk 10,25-37).
Akan tetapi hal ini tetap tidak membuatnya menjadi mudah. Menemukan sesama yang membutuhkan kasih kita tidak serta merta membuat kita mudah melakukannya. Selalu ada godaan untuk menutup mata, mencari alasan, atau menghindar dari kewajiban ini.
Karena itu Yesus memberi contoh kerendahan hati seperti Dia: “Sama seperti Aku telah mengasihi kamu, demikianlah kamu harus saling mengasihi” (Yoh 13,34).
Yesus adalah model bagaimana mengasihi. Sebagai model kita harus mengenal Dia sehingga bisa meneladani Dia: Imitatio Cristi.
(Setetes Embun, by P. Kimy Ndelo CSsR; ditulis di Biara Novena – Weetebula, Sumba tanpa Wa).