Abdulkadir Widjojoatmodjo, Catatan Kelam Perjanjian Renville
Jakarta – Hari ini 72 tahun lalu, tepatnya 17 Januari 1948, terjadi peristiwa Perjanjian Renville sebagai bagian dari sejarah kemerdekaan. Munculnya nama Abdulkadir Widjojoatmodjo ibarat catatan kelam dalam peristiwa Perjanjian Renville itu.
Siapa tokoh ini? Kenapa menjadi sebuah catatan kelam dalam perjuangan kemerdekaan RI? Dalam perundingan Renville, Abdulkadir adalah ketua delegasi dari pihak Belanda dan menandatangani perjanjian ini mewakili pihak penjajah. Kok bisa?
Priyayi Jawa kelahiran Salatiga 18 Desember 1904 itu berpangkat kolonel. Ia menjabat Direktur Jenderal Umum Urusan Negosiasi Kerajaan Belanda dengan Republik Indonesia. Abdulkadir sendiri sepanjang hidupnya adalah ambtenaar alias pegawai negeri Hindia Belanda. Pascaproklamasi Republik Indonesia, ia adalah pejabat NICA dan sempat menjadi Staff Officer NICA di Papua.
Abdulkadir sebenarnya seorang sipil, namun diberi pangkat Kolonel karena posisi tingginya di NICA. Memang Abdulkadir bukan satu-satunya orang Indonesia yang berada di kubu Belanda selepas proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Ada banyak orang di pihak sipil (pegawai negeri) maupun militer, yang lebih memilih membela Belanda. Salah satunya yang banyak dikenal adalah Mas Slamet, pegawai tinggi di kantor keuangan Jakarta dan menjabat Adjunct Inspecteur van Financien yang kemudian mendirikan Partai Demokrat Antikemerdekaan RI.
Pemilihan Abdulkadir sebagai ketua delegasi Belanda pada Perundingan Renville merupakan sebuah siasat untuk menimbulkan kesan bahwa apa yang terjadi di Indonesia saat itu hanyalah urusan domestik belaka. Dengan cara itu Belanda berharap dunia internasional tidak terlalu menaruh perhatian pada konflik di Indonesia.
Abdulkadir menurut catatan Wikipedia sekolah Belanda dan mengikuti pelatihan Indologis di Universitas Leiden di bawah Christiaan Snouck Hurgronje yang memberi rekomendasinya kepada Dewan Homegrown. Di sana ia bekerja sebagai administrator.
Pada 1919 ia menjadi sekretaris kedutaan besar Belanda di Jeddah di Kerajaan Arab Saudi sejak 1916. Pada 1932 ia menjadi wakil konsul di Mekkah, sebuah jabatan tinggi mewakili Kerajaan Belanda. Tepat sebelum pecahnya Perang Dunia II ia adalah seorang pegawai senior di New Guinea.
Tahun 1941, menurut catatan Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, Abdulkadir melakukan perjalanan dinas ke Amerika dan Inggris. Setelah kembali ke Indonesia, ia menjabat sebagai Ketua Vereniging van Indonesische Ambtenaren (Perhimpunan Pejabat Indonesia).
Jelang kalahnya Hindia Belanda oleh balatentara Jepang, Abdulkadir sempat tugas belajar lagi di Bestuur Academie. Menurut pengakuan mantan Kapolri Hoegeng Imam Santoso dalam Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan (1993), Abdulkadir tak ragu mendatangi diskusi dengan mahasiswa-mahasiswa muda yang kuliah di sekolah hukum Recht Hogeschool (RHS) Jakarta (hlm. 213).
Laki-laki bertubuh kecil, bersuara bariton, dan rendah hati ini, di mata Hoegeng cukup berwibawa. Awal 1942, Abdulkadir ikut serta dengan pejabat-pejabat Belanda yang kabur ke Australia ketika Hindia Belanda diduduki Jepang. Di sanalah Abdulkadir bergabung dan jadi petinggi Nederlandsch Indië Civil Administratie (NICA), sebuah pemerintahan sementara Hindia Belanda. Di NICA, Abdulkadir dapat pangkat kolonel, meski sebenarnya dia pejabat sipil.
Catatan buruk perjalanan hidupnya dalam perjuangan bangsa ini membuat dirinya banyak dicap kalangan nasionalis sebagai pengkhianat bangsa. Abdulkadir sempat tinggal di Indonesia sebelum kemudian kembali ke Belanda dan meninggal di sana di usia 87.
Tak banyak generasi saat ini yang mengenal Abdulkadir. Tak banyak pula artikel yang membahas khusus soal tokoh satu ini. Ada cuitan menarik dari Jubir Menteri Pertahanan Dahnil A Simanjuntak dalam akun Twitternya. “Dalam catatan sejarah kita ada nama Raden Abdulkadir Widjojoatmodjo, seorang Ambtenaar, orang Indonesia yang menjadi ketua delegasi Belanda dalam perundingan Renville, dia dianggap pengkhianat karena lebih setia dengan Ratu Belanda,” cuitnya. [dari berbagai sumber]