Veritas

“Alih-alih Virus Corona, Lapar akan Membunuh Kami”: Dunia dalam Bayangan Krisis Pangan

Ratusan pekerja migran yang terjebak di New Delhi setelah lockdown Maret lalu, tiap malam duduk di bawah naungan jembatan, menunggu pembagian makanan tiba. Pemerintah Delhi telah menyiapkan dapur umum, namun para pekerja seperti Nihal Singh masih saja kelaparan, ketika kerumunan di pusat-pusat pembagian ini meningkat dalam beberapa hari terakhir

NAIROBI— Di daerah kumuh terbesar di ibukota Kenya, orang-orang yang putus asa karena lapar menyerbu pembagian tepung dan minyak goreng belum lama ini. Sekian banyak mereka yang berdesakan terluka, dua orang tewas di tempat.

Di India, ribuan pekerja mengantre dua kali sehari untuk mendapatkan roti dan tumis sayur, hanya agar mereka tidak mati kelaparan.

Di seluruh Kolombia, rumah tangga miskin menggantung pakaian merah dan bendera dari jendela dan balkon mereka, tanda bahwa mereka lapar.

“Kami tidak punya uang, sementara kami harus bertahan hidup,” kata Pauline Karushi, yang kehilangan pekerjaannya di sebuah toko perhiasan di Nairobi, dan tinggal di dua kamar bersama anaknya dan empat kerabat lainnya. “Kami sangat berhemat untuk makan.”

Pandemi virus corona telah menyebabkan jutaan orang di seluruh dunia kelaparan. Lockdown nasional dan langkah-langkah social distancing telah menguras pekerjaan dan pendapatan, dan kemungkinan akan menghantam produksi pertanian dan rute pasokan, yang membuat jutaan orang khawatir bagaimana makanan bisa mereka dapat.

Virus corona kadang-kadang bisa dianggap equalizer karena telah menghajar baik yang kaya maupun yang miskin. Tetapi ketika urusannya soal makanan, kesamaan itu berakhir. Yang dihajar kini terutama orang-orang miskin, termasuk segmen besar dari negara-negara miskin, yang sekarang pun sudah menderita kelaparan dan menghadapi kemungkinan kematian massal.

“Virus corona bukan juga penyeimbang yang hebat,” kata Asha Jaffar, seorang sukarelawan yang membawa makanan ke keluarga-keluarga di daerah kumuh Kibera, Nairobi, setelah penyerbuan mematikan. “Dia mengungkapkan fakta, menarik kembali tirai yang menutup pembagian kelas dan mengekspos betapa tidak setaranya kita.”

Sudah 135 juta orang selama ini menghadapi kekurangan makanan akut, tetapi dengan pandemi saat ini, ada 130 juta tambahan lagi yang bisa mengalami kelaparan pada tahun 2020, kata Arif Husain, kepala ekonom di World Food Program, sebuah badan PBB. Secara keseluruhan, sekitar 265 juta orang berada di ambang kelaparan pada akhir tahun ini.

“Kami belum pernah melihat yang seperti ini sebelumnya,” kata Husain. “Bukan gambaran  awal yang bagus. Ini bagaikan wilayah yang belum pernah ada dan terjadi sebelumnya, belum dipetakan.”

Dunia telah mengalami krisis kelaparan yang parah sebelumnya, tetapi itu bersifat regional dan disebabkan oleh satu faktor atau lainnya– cuaca ekstrem, penurunan ekonomi yang hebat, perang, atau ketidakstabilan politik.

Sementara krisis kelaparan saat ini, kata para ahli, bersifat global dan disebabkan oleh banyak faktor yang terkait dengan pandemi coronavirus, dan gangguan yang berlanjut pada tatanan ekonomi: hilangnya pendapatan mendadak bagi jutaan orang yang tak terhitung jumlahnya yang sudah hidup dengan tangan ke mulut; jatuhnya harga minyak; kekurangan pendapatan dari sector pariwisata yang ludas; pekerja migran di luar negeri tidak memiliki penghasilan untuk dikirim pulang; selain masalah yang sedang berlangsung di beberapa tempat seperti perubahan iklim, kekerasan, dislokasi populasi dan bencana kemanusiaan.

Kini, dari Honduras, Afrika Selatan dan India, protes dan penjarahan telah meledak di tengah frustrasi akan lockdown dan kekhawatiran tentang kelaparan. Dengan ditutupnya kelas, lebih dari 368 juta anak-anak kehilangan makanan bergizi dan makanan ringan yang biasanya mereka terima di sekolah.

Tidak ada kekurangan pangan secara global, atau kelaparan massal akibat pandemic pun belum terjadi. “Tetapi masalah logistik dalam menanam, memanen dan mengangkut makanan akan membuat negara-negara miskin bisa terkena akibatnya dalam beberapa bulan mendatang, terutama yang bergantung pada impor,” kata Johan Swinnen, direktur jenderal International Food Policy Research Institute di Washington.

Sementara sistem distribusi dan penjualan makanan di negara-negara kaya diatur dan diotomatisasi, menurut dia, sistem di negara-negara berkembang adalah “padat karya,” yang membuat “rantai pasokan ini jauh lebih rentan terhadap Covid-19 dan regulasi jarak sosial.”

Sekali pun tidak ada lonjakan besar dalam harga pangan, situasi ketahanan pangan bagi orang miskin di dunia, kemungkinan akan memburuk secara signifikan. Ini terutama berlaku untuk negara-negara seperti Sudan dan Zimbabwe, yang sebelum wabah merebak pun sudah berjuang keras untuk survive. Atau negara-negara seperti Iran, yang semakin terpepet menggunakan pendapatan minyaknya untuk membiayai barang-barang penting seperti makanan dan obat-obatan.

Di Venezuela, pandemi ini memberikan pukulan besar lanjutan bagi jutaan orang yang telah hidup dalam keruntuhan ekonomi terbesar di dunia, di luar masa perang. Di daerah kumuh yang luas di Petare, pinggiran ibu kota Caracas, lockdown  nasional telah menyebabkan Freddy Bastardo dan lima orang lainnya di rumah tangganya tak punya lagi pekerjaan. Jatah yang disediakan pemerintah, yang tiba hanya sekali setiap dua bulan sebelum krisis, telah lama habis.

“Kami sudah berpikir untuk menjual barang-barang yang tidak kami gunakan di rumah untuk bisa makan,” kata Bastardo, 25 tahun, seorang penjaga keamanan. “Aku punya tetangga yang sama sekali tidak punya makanan, dan aku khawatir kalau huru-hara terjadi, kami tidak akan bisa keluar dari sini.”

Ketidakpastian atas makanan juga meningkat di India, di mana pekerja harian tanpa jaring pengaman sosial menghadapi ancaman kelaparan yang lebih nyata daripada virus.

Ketika upah tak lagi mengalir, setengah juta orang India diperkirakan meninggalkan kota-kota untuk pulang kampung, memicu  apa yang disebut Amitabh Behar, kepala eksekutif Oxfam India, “migrasi massal terbesar bangsa ini sejak kemerdekaan.”

Suatu malam, baru-baru ini, ratusan pekerja migran yang terjebak di New Delhi setelah lockdown Maret lalu, duduk di bawah naungan jembatan, menunggu pembagian makanan tiba. Pemerintah Delhi telah menyiapkan dapur umum, namun para pekerja seperti Nihal Singh masih saja kelaparan, ketika kerumunan di pusat-pusat pembagian ini meningkat dalam beberapa hari terakhir.

“Alih-alih virus corona, kelaparan akan membunuh kami,”kata Nihal Singh, yang berharap untuk menikmati makanan pertamanya hari itu. Para migran yang menunggu dalam barisan makanan itu sebelumnya bagaikan saling bertarung memperebutkan sepiring nasi dan lentil yang mereka tunggu. Singh mengatakan bahwa dia malu untuk meminta makanan, tetapi tidak memiliki pilihan lain.

Lockdown ini telah menginjak-injak martabat kita,” katanya.

Pengungsi dan orang-orang yang tinggal di zona konflik cenderung terkena dampak paling parah. Jam malam dan pembatasan pergerakan sudah menghancurkan pendapatan para pengungsi di Uganda dan Ethiopia yang sangat sedikit. Kini begitu pula pengiriman benih dan alat pertanian di Sudan Selatan dan distribusi bantuan makanan di Republik Afrika Tengah. Tindakan pengurungan di Niger, yang menampung hampir 60.000 pengungsi yang melarikan diri dari konflik di Mali, telah menyebabkan harga makanan melonjak tanpa kira-kira.

Efek pembatasan, kata Kurt Tjossem, wakil presiden regional Afrika Timur di International Rescue Committee,”dapat menyebabkan lebih banyak penderitaan daripada penyakit itu sendiri.”

Ahmad Bayoush, seorang pekerja konstruksi yang berpindah ke Provinsi Idlib di Suriah utara, mengatakan dia dan banyak lainnya telah mendaftar untuk menerima makanan dari kelompok-kelompok bantuan. Tetapi bantuan itu belum lagi tiba.

“Saya yakin akan terjadi kelaparan massal jika terus seperti ini di utara,” katanya.

Pandemi juga telah memperlambat upaya untuk menangani wabah belalang yang telah merusak lahan-lahan pertamian di Afrika Timur dan Tanduk Afrika. Wabah ini merupakan yang terburuk yang pernah terjadi di kawasan tersebut dalam beberapa dasawarsa dan terjadi setelah ditandai dengan kekeringan dan banjir ekstrem tahun lalu. “Tetapi kedatangan miliaran kawanan baru belalang itu akan semakin memperdalam kerawanan pangan,” kata Cyril Ferrand, kepala tim Food and Agriculture Organization’s di Afrika timur.

Larangan perjalanan dan penutupan bandara, kata Ferrand, mengganggu pasokan pestisida yang membantu membatasi populasi belalang dan menyelamatkan padang rumput dan tanaman.

Karena banyak yang kelaparan, di sejumlah negara telah muncul kekhawatiran bahwa kekurangan makanan akan menyebabkan perselisihan sosial. Di Kolombia, penduduk wilayah pantai La Guajira telah mulai memblokir jalan untuk mencari perhatian tentang kekurangan pangan yang melanda mereka. Di Afrika Selatan, para perusuh menyerbu kios-kios penjual makanan, dan mau tak mau berhadapan dengan polisi.

Jangan salah, bahkan aksi amal pembagian makanan pun dapat membuat orang terkena virus ketika kerumunan muncul. Seperti yang terjadi di kota kumuh Kibera, Nairobi awal bulan ini.

“Orang-orang saling berteriak, dan bergegas datang,”kata Valentine Akinyi, yang bekerja di kantor pemerintah kabupaten tempat pembagian makanan dilakukan. “Orang-orang yang telah kehilangan pekerjaan itu menunjukkan betapa laparnya mereka.”

Untuk meredakan dampak krisis ini, beberapa pemerintah mematok keras harga makanan, mengirimkan makanan gratis dan membuat rencana untuk mengirim transfer uang ke kalangan rumah tangga termiskin.

Namun komunitas-komunitas di seluruh dunia juga membawa masalah ke tangan mereka sendiri. Beberapa mengumpulkan uang melalui platform crowdfunding, sementara yang lain telah memulai program pembelian makanan untuk keluarga yang membutuhkan.

Suatu sore baru-baru ini, Nona Jaffar dan sekelompok relawan berjalan di jalanan Kibera, membawa barang-barang seperti gula, tepung, beras dan pembalut wanita ke banyak keluarga. Warga asli daerah itu, Nona Jaffar mengatakan dia memulai berkeliling membagikan makanan setelah mendengar begitu banyak cerita dari banyak keluarga, mengatakan bahwa mereka dan anak-anak mereka tidur dengan perut lapar.

Perjalanan Jaffar membagikan makanan sejauh ini telah mencapai 500 keluarga. Tetapi dengan begitu banyaknya permintaan dari banyak keluarga miskin lain, dia berkata, “Itu hanya setetes air di lautan.” [The New York Times]

*Laporan untuk artikel ini disumbangkan Anatoly Kurmanaev dan Isayen Herrera dari Caracas, Venezuela; Paulina Villegas dari Mexico City; Julie Turkewitz dari Bogotá, Colombia; Ben Hubbard dan Hwaida Saad dari Beirut, Lebanon; Sameer Yasir dari New Delhi; dan Hannah Beech dari Bangkok.

Back to top button