SpiritusVeritas

Cinta dalam Pandangan Tasawuf

Dari cinta mesti lahir kesabaran untuk bersusah payah mencari. Cinta juga membuahkan kerelaan akan semua keinginan kekasih. Al-Hussyain Ibnu Mansyur Al-Hallaj berkata,”Cinta adalah keberadaanmu bersama kekasihmu dengan menanggalkan sifat-sifatmu, sebab keseluruhan diri sang pencinta serasi dengan keseluruhan diri sang kekasih. Ketidakhadirannya adalah ketidakhadiran sang kekasih, dan keberadaannya adalah keberadaan sang kekasih.”

JERNIH—Cinta merupakan pangkal dari semua tingkatan spiritual (maqam) dan segenap keadaan jiwa (ahwal). Seluruh tingkatan berada di bawah naungan cinta.

Ia bisa merupakan jalan bagi tingkatan atau merupakan salah satu dari hasil-hasil tingkatan rohani seperti keinginan, kerinduan, rasa takut, berharap, zuhud, sabar, kerelaan,tawakal, tauhid dan makrifat. Orang yang mempunyai kesempurnaan dalam tingkatan ini adalah junjungan para nabi, imam para rasul, baginya (Muhammad SAW) sebaik-baik shalawat dan salam. Di antara  para nabi hanya beliau yang dianugerahi rahasia tingkatan ini.

Untuk menegaskan keistimewaan ini pada diri beliau, AllahSWT berfirman:

“Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah.” (An-Nisa : 80)

“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah.”  (Al-Fath : 10)

Katakanlah:”Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu”.” (Ali Imran  : 31)

Seorang Muslim cukup menaati Rasul sebagai bukti ketaatan kepada-Nya dan mencintai beliau sebagai syarat bagi mencintai-Nya. Hal itu tidak lain karena beliau mempunyai bagian yang sangat banyak dari cahaya-Nya yang Dia limpahkan kea lam dunia ini dengan perantaraan beliau. Karena itu, Dia menamai beliau sebagai cahaya yang terang benderang dan menyinari serta menjadikannya sebagai rahmat bagi segenap alam. Dengan cahaya yang dimilikinya itu beliau menyeru manusia kepada Tuhan untuk menuntun mereka dengan cahaya menuju “cahaya”. Inilah “cahaya” yang hanya dipahami oleh ahlinya, yaitu orang-orang yang telah sampai  pada hakikat pengalaman rohani.

“Saat kami sedang duduk di taman nan asri

Seseorang datang tawarkan minuman anggur

Ketika kami mereguknya dan terbawa oleh kekuatannya

Kami sampai di tempat rahasia. Kukatakan padanya,

Berhentilah! Aku takut cahaya rahasia itu menguasaiku

Dan teman-temanku melihatnya, sedang mereka tak paham…”

Di antara dalil bahwa cinta mencakup seluruh jenjang sufistik adalah bahwasanya manusia tidak mencintai seseorang kecuali setelah tahu kesempurnaan diri oarng yang akan dicintainya itu. Pengetahuan ini semakin kuat dan semakin bertambah, sehingga menjadi makrifat yang memunculkan keinginan, lalu kerinduan terhadap keindahan diri orang yang dicintainya.

Dari cinta mesti lahir kesabaran untuk bersusah payah mencari, dan di sela-sela itu muncul rasa takut kalau yang sedang dicari tak dijumpai, serta harapan bahwa yang sedang dicari sudah dekat dan segera dijumpai.  Selanjutnya cinta membuahkan kerelaan terhadap semua keinginan kekasih, menutup diri dari selain kekasih, meyakini bahwa hanya kekasih yang memiliki kesempurnaan, sementara yang lain dianggap tidak ada; dan menyandarkan segala urusan kepadanya dengan penyerahan serta tawakal.

Adapun keadaan-keadaan jiwa yang mengiringi cinta adalah seperti merasa begitu dekat, keterbukaan dan merasa dalam genggaman sang kekasih, merasa dipantau, takut dan ‘lebur’ dalam diri sang kekasih, kekal bersama Sang Kekal, dan menyaksikan Sang Kekasih di alam rohani.Cinta mencalkup segala tingkatan dan keadaan jiwa ini. Semuanya berangkat dari cinta dan berjalan menujunya; dari dan untuk cinta.

Al-Hussyain Ibnu Mansyur Al-Hallaj berkata,”Cinta adalah keberadaanmu bersama kekasihmu dengan menanggalkan sifat-sifatmu, sebab keseluruhan diri sang pencinta serasi dengan keseluruhan diri sang kekasih. Ketidakhadirannya adalah ketidakhadiran sang kekasih, dan keberadaannya adalah keberadaan sang kekasih.” [dsy]

Sumber : “Masyariq Anwar al-Qulub wa Mafatih Asrar al-Ghuyub,” karya Abdurrahman bin Muhammad al-Anshari (Ibnu al-Dabbagh)

Back to top button