Veritas

COVID Kembali ‘Meledak’ di Cina, UGD Penuh, Pasien Berebut Infus

Di Rumah Sakit Tongren di pusat kota Shanghai, wartawan AFP pada Selasa (3/1) melihat para pasien menerima perawatan medis darurat di luar pintu masuk bangsal ICU yang penuh sesak. Koridor dipenuhi lusinan pasien lanjut usia yang berbaring di tempat tidur yang berdesakan, terhubung ke infus. Di rumah sakit lain, AFP menyaksikan pertengkaran antara seorang wanita dan seorang pria yang lebih tua, keduanya berebut infus.  

JERNIH– Meski COVID-19 kembali merebak di wilayahnya, pemerintah Cina menyatakan meningkatnya pembatasan dunia kepada para pelancong dari negaranya sama sekali tidak dapat diterima. Pembatasan sedikitnya selusin negara terhadap para turis yang datang dari Cina sejak Selasa (3/1) itu terjadi di tengah meledaknya infeksi COVID di negara tersebut, terutama di Provinsi Shanghai dan sekitarnya.

Amerika Serikat, Kanada, Jepang, dan Prancis termasuk di antara negara-negara yang berkeras untuk mengetes terlebih dulu para turis yang datang dari Cina sebelum memasuki negara mereka. Kekhawatiran itu muncul karena terjadinya lonjakan kasus COVID di Cina di hari-hari terakhir ini.

Peningkatan infeksi yang tajam di Cina terjadi setelah Beijing tiba-tiba mencabut pembatasan garis keras selama bertahun-tahun, bulan lalu. Segera setelah itu rumah-rumah sakit dan tempat pembakaran mayat (crematorium) kewalahan menerima pasien.

Tetapi Beijing telah mendorong pembukaan kembali yang telah lama ditunggu-tunggu warganya. Pekan lalu mereka bahkan mengumumkan diakhirinya karantina wajib pada saat kedatangan, dalam sebuah langkah yang mendorong orang-orang Cina untuk kembali merencanakan perjalanan ke luar negeri.

“Beberapa negara telah mengambil pembatasan masuk yang menargetkan Cina,” kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Mao Ning, dalam sebuah pengarahan rutin. “(Sikap) itu memiliki dasar ilmiah dan beberapa praktik tidak dapat diterima.”  Mao Ning juga memperingatkan bahwa Cina dapat,“Mengambil tindakan balasan berdasarkan prinsip timbal balik.”

Sebaliknya, Amerika Serikat menjawab bahwa mereka telah mengambil tindakan sebagai tanggapan atas data yang “kurang memadai dan transparan” dari Cina dan kekhawatiran bahwa beban kasus yang berat justru dapat melahirkan varian baru.

“Ini adalah pendekatan yang semata-mata didasarkan pada sains,” kata Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS, Ned Price, menjawab Cina melalui para wartawan di Washington,DC.

Ditanya tentang reaksi Cina, Perdana Menteri Prancis, Elisabeth Borne, membela aturan baru tersebut. “Saya pikir kami justru melakukan tugas kami untuk memberlakukan tes,” kata Borne kepada radio Franceinfo. “Kami akan terus melakukannya.”

Aturan yang diberlakukan itu dikenakan kepada semua pelancong yang datang dari Cina — bukan hanya warga negara RRC— sementara Beijing terus membatasi pengunjung yang masuk dan tidak mengeluarkan visa untuk turis atau pelajar internasional.

Cina hanya mencatat 22 kematian akibat Covid sejak Desember dan secara dramatis mempersempit kriteria untuk mengklasifikasikan kematian semacam itu. Artinya, statistik Beijing sendiri tentang gelombang yang belum pernah terjadi sebelumnya itu, sekarang secara luas dianggap tidak mencerminkan kenyataan.

Di tengah ‘perang’ memerangi lonjakan kasus itu, seorang dokter senior di salah satu rumah sakit terkemuka Shanghai mengatakan kepada media pemerintah Cina, 70 persen populasi megacity itu sekarang mungkin telah terinfeksi COVID-19. Dokter tersebut, Chen Erzhen, adalah wakil direktur Rumah Sakit Ruijin dan anggota panel penasihat ahli COVID-19 Provinsi Shanghai. Ia memperkirakan bahwa mayoritas dari 25 juta orang di kota itu mungkin telah terinfeksi.

“Sekarang penyebaran epidemi di Shanghai sangat luas, dan mungkin telah mencapai 70 persen dari populasi, yaitu 20 hingga 30 kali lebih banyak dari pada bulan April dan Mei,” katanya kepada media milik dan corong Partai Komunis Cina, People’s Daily.

Shanghai mengalami penguncian dua bulan yang melelahkan sejak April, di mana lebih dari 600.000 penduduk terinfeksi dan banyak yang diangkut ke pusat-pusat  karantina massal. Tapi sekarang varian omikron menyebar dengan cepat ke seluruh kota.

Di kota-kota besar lainnya, termasuk Beijing, Tianjin, Chongqing, dan Guangzhou, pejabat kesehatan Cina menyatakan bahwa gelombang telah mencapai puncaknya.

Di provinsi tetangga Shanghai, Zhejiang, otoritas pengendalian penyakit mengatakan pada Selasa lalu, ada satu juta infeksi COVID baru dalam beberapa hari terakhir dan provinsi itu memasuki puncaknya.

Chen menambahkan, rumah sakitnya di Shanghai menerima 1.600 rawat inap darurat setiap hari, atau dua kali lipat dari jumlah sebelum pembatasan dicabut-– dengan 80 persen di antaranya adalah pasien COVID-19. “Lebih dari 100 ambulans keluar-masuk rumah sakit setiap hari,”kata Chen. Ia menambahkan bahwa sekitar setengah dari pasien darurat itu adalah orang yang rentan, berusia di atas 65 tahun.

Di Rumah Sakit Tongren di pusat kota Shanghai, wartawan AFP pada Selasa (3/1) melihat para pasien menerima perawatan medis darurat di luar pintu masuk bangsal ICU yang penuh sesak. Koridor dipenuhi lusinan pasien lanjut usia yang berbaring di tempat tidur yang berdesakan, terhubung ke infus.

Di rumah sakit lain, AFP menyaksikan pertengkaran antara seorang wanita dan seorang pria yang lebih tua, keduanya berebut infus.  “Aku di sini lebih dulu,” kata Si Wanita. “Aku di sini untuk diinfus juga.”

Pemerintah Cina sekarang bersiap menghadapi gelombang virus yang akan menyerang pedalaman perdesaan negara itu, yang kekurangan sumber daya, di tengah jutaan orang siap-siap untuk melakukan perjalanan pulang kampung halaman mereka untuk liburan umum Tahun Baru Imlek selama seminggu, mulai 21 Januari.

Pejabat Komisi Kesehatan Nasional, Jiao Yahui, mengakui bahwa mereka akan menghadapi lonjakan yang diperkirakan terjadi di daerah pedesaan, dan itu  akan menjadi “tantangan besar”.

“Apa yang paling kami khawatirkan adalah dalam tiga tahun terakhir tidak ada yang pulang ke rumah untuk Tahun Baru Imlek, lalu mereka akhirnya bisa melakukannya tahun ini,” kata Jiao kepada stasiun penyiaran CCTV. “Akibatnya, mungkin aka nada gelombang ‘balas dendam mudik’ yang tentu sangat kami khawatirkan,”kata dia. [Arab News/AFP]

Back to top button