Di India, Virus Korona Menjadi Dewi dan Dipuja
- India punya banyak dewa-dewi penyakit, yang muncul saat terjadi epidemi.
- Dewi Hariti dan Sitala paling populer, karena muncul saat wabah cacar dan kolera.
- Kini, muncul Dewi Korona di tiga tempat berbeda di India.
“Saya menyembah virus korona sebagai dewi, dan melakukan puja setiap hari untuk keselamatan tenaga profesional kesehatan, personel polisi, dan ilmuwan yang bekerja keras menemukan vaksin,” kata Anilan, seorang pendeta di kuil Kadakkal di Distrik Kollam di Kerala.
Di Distrik Biswanath, di utara Assam, sekelompok wanita berkumpul di tepi sungai untuk melakukan puja ke Corona Ma, yang mereka yakini akan menghancurkan virus pembunuh ribuan orang di seluruh dunia
Gambar wanita yang berdoa kepada Dewi Corona ma juga muncul di Sidri, dan Bokaro, di Jharkhand.
Media sosial marah. Kaum milenial, yang tak pernah belajar sejarah, melontarkan sumpah serapah. Mereka tidak pernah tahu beralih keyakinan pada saat-saat sulit adalah reaksi manusia yang melekat sejak awal peradaban.
Polymath Inggris Betrand Russel, dalam ceramah di London tahun 1927 yang berjudul Mengapa Saya Bukan Seorang Kristen, mengatakan ketakutan adalah fondasi agama. Ketakutan terhadap apa pun; ular, penyakit, atau ketakutan akan kalah dalam perang.
Ketakutan terhadap penyakit juga memunculkan manifestasi keagamaan. Wabah pertama dalam sejarah manusia disebut Wabah Justinian, muncul di abad keenam masehi, dan dipandang sebagai kemarahan dewa.
“Tidak ada respon tunggal atau dapat diprediksi terhadap epidemi. Juga tidak benar untuk berasumsi bahwa tanggapan agama selalu apokaliptik,” tulis sejarawan Duane J Osheim dalam makalah penelitian berjudul Agama dan Penyakit Epidemi.
Respons keagamaan terhadap epidemi paling baik dilihat sebagai bingkai, kerangka yang berubah, dan secara halus mempengaruhi penyakit, dan respon manusia terhadapnya.
Dewi Pelindung Anak
Tradisi ikonografi India paling awal adalah tentang Dewi Hariti, yang disembah untuk menangkal penyakit. Patung Dewi Hariti dengan anak-anaknya ditemukan di wilayah yang diperintan Dinasti Kushana pada abad-abad awal era Kristen.
Kushana mewarisi agama Greaco-Buddha dari kerajaan Indo-Yunani yang mereka gantikan. Ini juga menjelaskan popularitas Hariti dalam tradisi Budha.
Wabah cacar kali pertama di dunia terjadi pada abad kelima sebelum Masehi, dan melanda Eropa. Ketika kali pertama mencapai India, pengelana I-Tsing dan Xuanzang — singgah di India pada abad keenam dan ketujuh Masehi — bercerita tentang popularitas Dewi Hariti.
Patung Dewi Hariti ada di setiap biara Buddha di anak benua. Hariti disembah masyarakat yang ingin anak-anak mereka selamat dari epidemi cacar, ibu-ibu hamil yang ingin selamat, serta wanita mandul.
Sejarawan Sree Padma, dalam Hariti: Asal-usul desa, elaborasi Budha, dan akomodasi Saivite, mencatat Dewi Hariti memiliki asal-usul di Andhra Pradesh. Di ‘kampung halamannya’ Hariti dikenal dengan nama Dewi Erukamma.
“Dewi cacar dan penyakit menular lainnya juga ada di mana-mana di Andhra Pradesh, dengan setiap daerah punya nama sendiri; Mutyalamma, Pochamma, Peddamma, Nukalamma, Ankalamma,” katanya.
Padma juga menunjukan beberapa yang dianggap dewi adalah manusia yang didewakan, yang meninggal selama kehamilan atau melahirkan anak-anak.
Masyarakat percaya arwah wanita itu akan membawa petaka bagi anak-anak, kecuali didekati dengan persembahan dan doa yang layak.
Dewi-dewi rakyat dimasukan ke dalam tradisi Buddhis, dan dihormati sebagai pelindung anak dan kesuburan. Bukti arkeologis memperlihatkan gambar Hariti muncul selama periode Buddha Mahayana antara 150M dan 100M, dan menyebar ke luar India; Asia Tengah, Timur, dan Tenggara.
Entienne Lamotte, cendekiawan Buddhis di Belgia dalam History of Indian Buddhism, mencatat Hariti masih dipuja di Nepal, dan para bikkhu diharapkan memastikan makanan hariannya. Di Peshawar, gambar Hariti — dari era tidak diketahui — juga ditemukan.
Sitala: Dewi Cacar yang dingin
Pada abad ke-19, dokter Inggris menempatkan cacar di antara penyakit epidemi paling umum dan merusak. Sejarawan David Arnold, dalam Colonising the body: State medicine and epidemic diseases in nineteenth century India, mencatat cacar menyumbang sekian juta kematian pada akhir abad ke-19, dengan rata-rata seratus ribu kasus fatal per tahun.
Diyakini sebagai inkarnasi Dewi Durga, Dewi Sitala secara luas disembah di Bengal dan India Utara pada abad ke-19. Ia dianggap dapat menyembuhkan cacar.
Antropolog Ralph W Nicholas, dalam makalah penelitian The Goddess Śītalā and Epidemic Smallpox in Bengal, menulis tidak ada bukti kehadiran Dewi Cacar sebelum abad ke-10 hingga abad ke-12. Sitala mendapatkan signifikansi sebagai dewi desa di Bengal barat daya pada abad ke-18.
Meski ada Dewi Cacar lain pada abad ke-19, Sitala telah menikmati posisi khusus. Yang menarik adalah demam yang membakar dan pastula yang menandai cacar menuntut ritual, bukan repon terapeutik. Padahal, dia dipuja sebagai dewa penyembuh penyakit cacar.
Sitala adalah dewi yang dingin. Ia harus ditenangkan dengan zat pendingin seperti dadih, pisang raja, nasi dingin, dan permen. Ketika serangan cacar terjadi pada seseorang, minuman pendingin ditawarkan kepada penderita. Tubuh yang demam dimandikan air dingin, atau dibasahi dengan neen, pohon favorit Sitala.
Pengobatan modern memberantas cacar pada tahun 1970-an, tapi Dewi Sitala masih menempati tempat terhormat.
Dewi Kolera
Epidemi mematikan lain dari India pada abad ke-19 adalah kolera. Referenesi tentang kolera terdapat dalam karya-karya medis kuno; Hindu, Arab, Cina, Yunani, dan Romawi abad keempat SM.
Pada abad ke-19, kolera memperoleh status yang sama sekali baru, ketika lima pandemi kolera merenggut jutaan nyawa di seluruh dunia.
Ritual kolera diyakini dimulai setelah pandemi 1817, namun hanya di Bengal Delta terdapat pemujaan terhadap dewa kolera tertentu, yang oleh umat Islam disebut Ola Bibi, dan orang Hindu menyebutnya Olai Chandi.
Laporan misionaris Eropa, yang disebut dalam buku Arnold, menyebutkan pemujaan terhadap Dewi Ola Bibi/Chandi. Sang dewi digambarkan masih muda dan cantik.
Selain di Bengal, dewi kolera juga dipuja di Rajahstan. Dewi Olai Chandi/Ola Bibi tidak hanya menyelamatkan manusia dari kolera, tapi juga penyakit kuning, diare, dan penyakit perut lainnya.
Dewi Penyakit Lainnya
Dewi-dewi lain yang muncul akibat ketakutan terhadap penyakit adalah Ghentu-debata, atau dewa penyakit kulit, dan Raktabati atau dewi infeksi darah.
Agama-agama tertentu mengajarkan hanya percaya pada satu kekuatan yang mengendalikan semesta dan kehidupan, yang membuat manusia tidak perlu lagi menghadirkan sosok imajiner sebagai penyembuh.
Di sisi lain, sains mengajarkan manusia untuk tidak perlu mencari dukungan imajiner, menciptakan sekutu di langit, tapi berupaya mengatasi setiap penyakit dan menjadikan dunia tempat cocok ditinggali.
Namun, semua itu tidak pernah menghentikan manusia untuk takut terhadap penyakit baru, dan menciptakan imajinasi sendiri.