Veritas

Indonesia Pernah Menjadi Nadi Dunia, Kini Harus Menata Ingatan: Yudi Latif Luncurkan Buku Baru

“Kita harus belajar merdeka lagi,” kata Yudi. “Mengembalikan kesadaran bahwa kita pernah jadi pusat dunia — dan bisa lagi.” Sebuah pesan yang tegas, sederhana, dan keras kepala: bangsa ini bukan ditakdirkan menjadi pengikut. Ia pernah menjadi pemimpin. Untuk kembali ke sana, ingatan adalah energi, dan sejarah adalah senjata.

JERNIH–Indonesia pernah menjadi pusat arus gagasan, pengetahuan, dan teknologi dunia—sebelum kolonialisme memutus ingatan, melemahkan percaya diri nasional, dan mendorong bangsa ini menjadi pengekor. Pesan itu mengemuka dalam peluncuran buku terbaru cendekiawan Yudi Latif,”Apa Jadinya Dunia Tanpa Indonesia?” di Hotel Sultan, Jakarta, Rabu (29/10/2025) lalu.

“Kita ini bangsa pengada yang dipaksa lupa. Sejarah kita dipangkas, mental kita diperkecil,” ujar Yudi. “Saatnya mengambil kembali martabat sejarah, agar kita kembali menjadi bangsa pelopor, bukan konsumen.”

Buku setebal itu diluncurkan bertepatan dengan 15 tahun Aliansi Kebangsaan, di hadapan tokoh-tokoh seperti Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti, Wakil Menteri Atip Latipulhayat, dan Wakil Pemred Harian Kompas Adi Prinantyo.

Menghidupkan Ingatan Besar Nusantara

Yudi menegaskan bahwa sejak era pra-Masehi sampai abad ke-16, Nusantara merupakan episentrum kecakapan maritim global. Ketika bangsa lain ragu melintasi samudra, pelaut Nusantara telah menyeberangi lautan luas dengan kapal dan teknologi penangkapan ikan yang belum dikenal dunia.

Di bidang arsitektur, Borobudur berdiri sebagai bukti presisi teknik dan kalkulasi rumit yang bahkan hari ini dianggap mustahil tanpa teknologi komputasi. “Itu dibuat oleh tangan dan pikiran Nusantara,” kata Yudi. “Tapi kolonialisme sengaja meretakkan kepercayaan kita pada diri sendiri.”

Menurutnya, kolonialisme tak hanya menghisap sumber daya, tapi mengebiri daya cipta bangsa lewat pemaksaan sistem produksi, pendidikan, dan budaya. “Pengetahuan rakyat diputus. Kita tercerabut dari akar-akar sosial,” ujarnya.

Buku ini melanjutkan trilogi kebangsaan Yudi—dari Negara Paripurna hingga Wawasan Pancasila. Namun kini fokusnya melebar: bukan hanya apa arti Pancasila bagi Indonesia, tetapi apa arti Indonesia bagi dunia. “Yang belum saya tulis adalah kontribusi Pancasila untuk dunia,” kata Yudi.

Ia mengingatkan, Konferensi Asia-Afrika 1955 adalah bukti Pancasila menjadi inspirasi gerakan anti-kolonial global. Kini, menurut Yudi, Pancasila relevan untuk melawan neokolonialisme baru dalam wacana globalisasi dan menjembatani tradisi-modernitas di tengah krisis kemanusiaan global.

Harapan dari Para Tokoh

Menteri Abdul Mu’ti mengakui, dunia sering mengenal Indonesia sebagai lokasi bencana dan tragedi. “Padahal kita punya nilai yang besar,” ujarnya. “Diplomat-diplomat asing justru meminta kita menjaga Pancasila.”

Pontjo Sutowo berharap buku ini “mengembalikan keyakinan bangsa pada signifikansi peradaban Nusantara.”

Sementara Adi Prinantyo dari Kompas menyebut karya Yudi menegaskan setidaknya 22 simbol Indonesia sebagai penentu arah peradaban dunia. “Ini penanda bahwa kita bukan bangsa pinggiran, tapi nadi peradaban,” ujarnya.

Peluncuran buku ini hadir di tengah fenomena menyusutnya imajinasi kebangsaan: bangsa besar yang terlalu sering merasa kecil. Yudi mengingatkan, bangsa tanpa ingatan adalah bangsa yang mudah diarahkan, dan bangsa yang tidak percaya diri akan terus berjalan terpincang-pincang di bawah bayang-bayang bangsa lain.

“Kita harus belajar merdeka lagi,” katanya. “Mengembalikan kesadaran bahwa kita pernah jadi pusat dunia — dan bisa lagi.”

Sebuah pesan yang tegas, sederhana, dan keras kepala: bangsa ini bukan ditakdirkan menjadi pengikut. Ia pernah menjadi pemimpin. Untuk kembali ke sana, ingatan adalah energi, dan sejarah adalah senjata. [ ]

Back to top button