Veritas

KIBS: Perhelatan Budaya Sunda Sedunia

Rekomendasi KIBS berbunyi, “Sistem pendidikan nasional mewarisi sistim pendidikan yang berlaku pada zaman kolonial. Oleh karena itu, perlu ada perombakan total sistim pendidikan nasional. Sistem pendidikan nasioal ke depan harus diorientasikan kepada pembentukan watak yang mandiri dan kreatif serta dapat menjadi lembaga pewarisan kebudayaan.”

Oleh   : Atep  Kurnia

JERNIH– Kontribusi penting Ajip Rosidi lainnya adalah menggagas Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) pertama pada 2001 dan kedua pada 2011. Ihwal lahirnya gagasan penyelenggaraan hajat kesundaan mendunia yang pertama itu dapat disimak dari buku Ajip, Hidup Tanpa Ijazah (2008).

Konon, sejak penyusunan Ensiklopedi Sunda sedang berlangsung, terbersit dalam benak Ajip bahwa umumnya orang Sunda tidak tahu tentang kebudayaannya sendiri. Tidak ada pewarisan budaya yang terencana dan berlangsung terus-menerus. Karena sistem sekolah di Indonesia tidak membuatnya demikian.

Sadar bahwa ada keterputusan pewarisan budaya Sunda dari generasi terdahulu kepada generasi yang lebih kemudian. Proses tersebut berlangsung puluhan tahun dan belum atau tidak kelihatan ada usaha untuk memperbaikinya. Kesadaran itu, menurut Ajip, menimbulkan pikiran untuk menyelenggarakan konferensi internasional yang membahas masalah pewarisan budaya Sunda.

Maka, Ajip kemudian mengajukan proposal kepada The Toyota Foundation untuk menyelenggarakan Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS). Gagasan itu dibicarakannya dengan Edi S. Ekadjati yang menyambutnya dengan antusias. Dan setelah The Toyota Foundation mengiyakannya, Ajip dan Edi menyusun panitia pelaksana. Ajip meminta Dr. A. Chaedar Alwasilah sebagai ketua Panitia; Edi S. Ekadjati sebagai ketua Panitia Pemandu; dan Erry Riyana Hardjapamekas diajak untuk membantu mencarikan dana tambahan untuk KIBS.      

Pada tahun 2000, saat liburan musim semi, Ajip bersama dengan Panitia KIBS lainnya menyampaikan sosialisasi kepada Gubernur Jawa Barat saat itu, R. Nuriana. Sekaligus meminta izin menggunakan Gedung Merdeka di Jalan Asia-Afrika sebagai tempat penyelenggaraan KIBS.

Rapat Panitia KIBS pertama diselenggarakan di UPI. Saat itu ada yang bertanya soal biaya penyelenggaraan KIBS, Ajip menjawab sesuai dengan rencana bahwa dana yang diperlukan sekitar Rp 60 juta. Saat itu pun, Ajip mengusulkan ide bahwa setiap peserta harus ikut memberi iuran untuk penyelenggaraan KIBS. Ide tersebut diterima secara pesimistis, mengingat khawatir tidak ada yang meminatinya. Kemudian kita tahu, iuran tersebut ditetapkan jumlahnya sebagai berikut: Rp 300.000 untuk umum; Rp 200.000 untuk dosen; dan Rp 50.000 untuk mahasiswa.

Erry Riyana mengadakan beberapa kali sosialisasi KIBS dengan mengundang para pengusaha, baik di Jakarta maupun di Bandung. Erry berhasil mengumpulkan dana baik melalui kesempatan mengadakan reklame pada waktu KIBS, penjualan Ensiklopedi Sunda dengan harga 10 kali lipat, atau sumbangan murni dari pribadi-pribadi.

Menurut rencana, KIBS diikuti oleh 400 orang peserta. Sampai seminggu sebelum acara, peserta masih jauh dari jumlah itu. Tetapi tiga hari terakhir sebelum penutupan pendaftaran, kian banyak orang yang datang mendaftar. Setelah tercapai jumlah 400 orang, pendaftaran ditutup, tetapi orang-orang memaksa untuk ikut. Menyaksikan begitu banyak yang hendak mengikuti KIBS, Ajip akhirnya memutuskan agar mereka didaftarkan sebagai peserta. Jumlahnya mendekati 700 orang peserta.

Karena tema KIBS adalah pewarisan budaya Sunda, maka sempat terjadi ketegangan antara Panitia dan petugas dari Gubernuran, karena acara seperti itu biasanya selalu diresmikan oleh Gubernur. Namun Ajip bersikukuh meminta agar peresmian dilakukan secara simbolik: pewarisan kepandaian memainkan waditra karawitan Sunda dari generasi tua kepada generasi muda. Nano S,yang saat itu ditugaskan mengatur kesenian untuk KIBS, mengajukan Mang Endang, pemain kecapi, secara simbolis menurunkan kepandaiannya memetik kecapi kepada Gangan Gumilar, murid SMP di Sumedang.

Selama lima hari kegiatan,  KIBS mendapat tempat yang cukup besar baik di dalam pers cetak, radio, maupun televisi. Tokoh-tokoh yang menjadi panitia dan pembicara KIBS banyak yang diwawancarai mengenai KIBS.

Acara KIBS dibagi dua macam. Yang pertama ceramah yang meliputi enam macam, disampaikan di ruang pleno. Yang kedua adalah penyampaian 68 makalah yang disebar di beberapa ruang terpisah, secara paralel. Oleh karena itu, pada sesi makalah, para peserta KIBS tidak dapat mengikuti penyampaian makalah secara keseluruhan.

Sebagai kesimpulan umum, rekomendasi KIBS berbunyi, “Sistem pendidikan nasional mewarisi sistim pendidikan yang berlaku pada zaman kolonial. Oleh karena itu, perlu ada perombakan total sistim pendidikan nasional. Sistem pendidikan nasioal ke depan harus diorientasikan kepada pembentukan watak yang mandiri dan kreatif serta dapat menjadi lembaga pewarisan kebudayaan.”

Segera setelah KIBS selesai ada laporan keuangan dari akuntan publik yang berupa pertanggungan jawab uang yang kami terima, baik dari sumbangan The Toyota Foundation, Pemda Jawa Barat, para pengguna ajang promosi, sumbangan perseorangan, dan uang dari peserta yang ikut memberikan iuran. Ternyata masih ada sisa yang oleh Yayasan Rancage digunakan untuk melaksanakan beberapa hal dari reklomedasi. Laporan keuangan itu kami terbitkan bersama dengan laporan tentang KIBS yang kami kirimkan kepada para peserta, para pemakalah, para penyumbang, lembaga-lembaga pemerintah, pers dan relasi yang lain.

Keterangan yang juga rinci melaporkeun penyelenggaraan KIBS 1 terbaca dalam Mangle N0. 1808 (2001). Di situ, tertera keterangan bahwa abstrak makalah yang masuk ke panitia KIBS 1 sebanyak 105 naskah, sementara panitia sebenarnya hanya membutuhkan 77 naskah.

Pada pelaksanaannya antara 22-24 Agustus 2001, KIBS 1 menjaring 700 peserta yang terdiri dari 546 peserta, 100 pemakalah, dan sisanya panitia. Para peserta itu kebanyakannya peserta dari kalangan muda. Dari jumlah itu, 200 orang yang berpendidikan S1; 32 orang mahasiswa S2; 61 orang dosen; 61 orang guru; 3 orang peserta asing; 24 orang wartawan; dan masyarakat umum sejumlah 190 orang.

Pada hari Rabu, 22 Agustus 2001 pada saat pembukaan KIBS, sejumlah agenda acara dihelat. Ada registrasi peserta. Laporan Ketua Panitia A. Chaedar Alwasilah. Sambutan-sambutan oleh Ketua Yayasan Kebudayaan Rancage Ajip Rosidi, Managing Director The Toyota Foundation, Sesepuh Tokoh Sunda Achdiat K. Mihardja, dan Gubernur Jawa Barat R. Nuriana. Selain itu ada penyerahan Hadiah Sastera Rancage 2001, penyerahan buku puisi Sunda modern bilingual, dan peresmian Konferensi secara simbolis.

Para penerima Hadiah Sastera Rancage 2001 kepada Dyah Padmini dan Mohamad E. Hasim (Sunda), Suparto Brata dan Esmiet (Jawa), dan Agung Wyat S. Ardhi dan I Ketut Suwidja (Bali). Buku puisi Sunda modern bilingual itu diterbitkan Pustaka Jaya, khusus untuk menyambut KIBS 1. Kumpulan puisi itu berjumlah tiga buah: Sunda-Indonesia yang diterjemahkan Ajip Rosidi (Puisi Sunda Modern dalam Dua Bahasa), Sunda-Inggris (Modern Sundanese Poetry: Voices from West Java in Sundanese and English) oleh Wendy Mukherjee, dan Sunda-Perancis (Poemes Soundanais Anthalogie Bilingue) oleh Henri Chambert-Loir.

Karena tema KIBS adalah pewarisan budaya Sunda, maka yang dipilih untuk membuka secara resmi KIBS 1 bersifat simbolik. Mang Endang, pemain kecapi, secara simbolis menurunkan kepandaiannya memetik kecapi kepada Gangan Gumilar, murid SMP di Sumedang.

Setelah itu, disusul keynote speech dari Mochtar Kusumaatmadja yang dimoderatori Ramadhan K.H. Setelah pagelaran kesenian dan istirahat, acara kemudian dilanjutkan dengan penyajian tiga pleno: Ajip Rosidi mengangkat topik “Mengapa KIBS?”, Ali Sastramidjaja mengenai “Kala Sunda”, dan Ully Sigar Rusady membicarakan “Konversi Alam di Tatar Sunda.”

Pada hari Kamis, 23 Agustus A. Teeuw menyampaikan ceramahnya mengenai “Puisi Sunda Kuno” pada sidang pleno jam 08-09.15 di Ruang Utama. Disusul kemudian dengan penyajian makalah-makah yang bersifat paralel, yang disampaikan oleh Christine Campbell, Mikihiro Moriyama, HR. Baskara, Tatang Sumarsono, Yayat Sudaryat, Suhudi Edi Sutrisno, Wendy Mukherjee, Edi S. Ekadjati, RP. Koesoemadinata, I Made Suastika, Titiek Pudjiastuti, Saikin Suriawidadjaja, Dadang Kahmad, Agus Aris Munandar, Tommy Christomy, Husen Hasan Basri, Iwan Suryolaksono & Alfathri Adlin, Mason C. Hoadley, Mubiar Purwasasmita, Arata Mariko, Yugo Sariyun, Duduh Durahman, Henry Spiller, Shota Fukuoka, Enoch Atmadibrata, Dieter Mack, Deni Hermawan, Ernst Heins, RE. Soeriatmadja, Kusnaka Adimihardja, Roza R. Mintaredja, Suwarno D., dan Juniarso Ridwan.

Pada hari Jum’at, 24 Agustus Irawati Durban menyampaikan ceramahnya mengenai sepak terjang Raden Tjetje Somantri pada sidang pleno jam 08-09.15 di Ruang Utama. Disusul kemudian penyajian makalah-makah yang bersifat paralel, yang disampaikan oleh E. Aminuddin Aziz, Wahya, Hawe Setiawan, Memen Durachman, Tony Djubiantono, Tubagus Nadjib, Richdiana K., Nina H. Lubis, Elis Suryani NS., Moh. Ali Fadillah, Judistira K. Garna, Libra Hari Inagurasi, Kalsum, Eep Saefullah Fatah, Saini K.M., Herman Suwardi, Setia Permana, Maman Suryaman, Wim van Zanten, Andrew Weintraub, Arthur S. Nalan, Gending Raspuzi, Adil Fadila Kusuma, Sri Rahayu B.U.K., Setiawan Sabana, dan Endang Caturwati.

Pada hari Sabtu, 25 Agustus Unus Suriawiria menyampaikan ceramahnya mengenai makanan Sunda pada sidang pleno jam 08-09.15 di Ruang Utama. Disusul kemudian penyajian makalah-makah yang bersifat paralel, yang disampaikan oleh Abdullah Mustappa, Taufik Ampera, Reiza D. Dienaputra, Moh. Iskandar, Robert Wessing, Ayatrohaedi, Komaruddin S., Jakob Sumardjo, Madoka Fukuoka, Apung S. Wiratmadja, R.M.S. Koesoemadinata, dan Tedi Permadi.

Selain membahas makalah, KIBS 1 juga diisi dengan dua pameran, di Gedung YPK dan di Museum Negeri Jawa Barat. Di YPK memamerkan aneka kriya, lukisan etnis Sunda, fotografi, buku, dan makanan khas Sunda. Sementara di Museum Jawa Barat diadakan pameran tradisi tulis Sunda dan pagelaran seni Sunda. [  ]

*Peminat literasi dan budaya Sunda, tinggal di Bandung.

Back to top button