Veritas

Kisah Masker Saat Pandemi Influenza Tahun 1918

Beberapa mengejek aturan penggunaan masker itu dengan merentangkan kain kasa di ventilasi mobil atau memakaikannnya di moncong anjing

Oleh   : Christine Hauser

JERNIH—Masker itu kadang disebut moncong, pelindung kuman, dan perangkap debu. Mereka memberi orang “moncong seperti babi.” Beberapa orang memotong lubang di masker mereka karena ingin mengisap cerutu. Yang lain mengikatnya ke anjing-anjing, sebagai bahan ejekan. Sementara para bandit menggunakannya saat merampok bank.

Lebih dari seabad yang lalu, ketika pandemi influenza 1918 mengamuk di Amerika Serikat, masker kasa dan kain tipis berada di garis depan, menempel di wajah dalam pertempuran melawan virus. Tapi seperti sekarang, masker-masker itu juga memicu perpecahan politik. Kemudian, seperti sekarang, otoritas medis mendesak pemakaian masker untuk membantu memperlambat penyebaran penyakit. Dan sebagaimana pula saat ini, beberapa kalangan maju ke depan dan menentang.

Pada tahun 1918 dan 1919, ketika bar, salon, restoran, teater dan sekolah ditutup, masker memerankan banyak fungsi: menjadi kambing hitam, simbol jangkauan pemerintah, menginspirasi protes, mendatangkan petisi, dan pertemuan minus penutup wajah. Sementara itu, ribuan orang Amerika mati dalam pandemi yang mematikan.

Berbagai karikatur soal masker yang beredar saat pandemi flu Spanyol tahun 1918

1918: Infeksi menyebar

Infeksi pertama diidentifikasi pada Maret 1918, di sebuah pangkalan militer di Kansas, di mana 100 tentara langsung terinfeksi. Dalam sepekan, jumlah kasus flu meningkat lima kali lipat, dan segera penyakit pun menyebar ke seluruh negeri, mendorong beberapa kota segera memberlakukan karantina dan menetapkan  perintah pemakaian masker untuk menghadapinya.

“Pada musim gugur 1918, tujuh kota yakni San Francisco, Seattle, Oakland, Sacramento, Denver, Indianapolis dan Pasadena, California–telah memberlakukan undang-undang wajib masker,”kata Dr. Howard Markel, seorang sejarawan epidemi dan penulis “Quarantine!”

Perlawanan terorganisasi anti-pemakaian masker saat itu pun bukanlah hal yang umum, tetapi itu ada. “Ada flare-up, ada perkelahian dan sesekali ada pertemuan kelompokseperti Liga Anti-Masker,”kata DR Markel. “Tetapi itu adalah pengecualian saja.”

Yang berada di garis depan sebagai ukuran dalam hal keamanan adalah San Francisco. Arsip setempat menunjukkan, seorang pria yang kembali dari perjalanannya ke Chicago ditengarai pulang dengan membawa virus.

Pada akhir Oktober, ada lebih dari 60.000 kasus di seluruh negara bagian, dengan 7.000 di antaranya di San Francisco. Segera kota itu dikenal sebagai “kota masker”.

The Mask Ordinance,” yang ditandatangani Walikota James Rolph pada 22 Oktober, menjadikan San Francisco kota Amerika pertama yang menerapkan aturan menutup wajah, dengan masker  yang tebalnya harus empat lapis sehingga tampak seperti ‘lempengan ravioli’.

Saat itu para menteri mengeluh tentang penampilan, kenyamanan, dan kebebasan, bahkan setelah flu itu menewaskan sekitar 195.000 orang Amerika pada bulan Oktober saja. Alma Whitaker, yang menulis di The Los Angeles Times pada 22 Oktober 1918, mengulas dampak masker pada masyarakat dan selebritas dan mengatakan bahwa orang-orang terkenal menghindarinya karena “sangat mengerikan” dan tak dapat dikenali.

“Restoran besar adalah pemandangan paling lucu, dengan semua pelayan dan pengunjung bermasker. Yang terakhir hanya menaikkan masker mereka untuk menelan makanan mereka,” tulisnya.

Pengumuman pertemuan kalamngan anti-masker

Ketika Whitaker sendiri menolak untuk mengenakan masker, ia  terpaksa dibawa ke sebuah markas  Palang Merah dan dianggap “pemalas,” selain diperintahkan untuk secepatnya membuat masker dan mengenakannya saat keluar rumah.

The San Francisco Chronicle mengatakan, jenis masker paling sederhana adalah kain kasa yang dilipat, yang ditempel dengan selotip. Ada ruang untuk kreativitas. Beberapa penutup wajah tersebut disebut-sebut se[erti “mesin yang tampak menakutkan”, yang mendatangkan “aspek seperti babi” ke wajah pemakainya.

Pengadilan masker

Adanya peraturan meniscayakan pula adanya hukuman. Hukuman bagi pelanggar aturan kewajiban mengenakan masker adalah 5 dolar hingga 10 dolar AS, atau 10 hari penjara.

Pada 9 November, The San Francisco Chronicle melaporkan ada 1.000 orang ditangkap. Isi penjara kota membengkak menjadi ruangan yang hanya bisa diisi orang-orang yang  berdiri.  Polisi bertugas dalam shift ketat dan sesi pengadilan ditambahkan untuk membantu mengelola membengkaknya mereka yang ditahan.

“Di mana maskermu?” tanya Hakim Mathew Brady kepada para pelanggar hukum di Aula Kehakiman, tempat sesi-sesi pengadilan diubah hingga malam hari. Beberapa orang memberikan nama palsu, mengatakan mereka membuka masker hanya karena ingin mengisap menyalakan cerutu.

Ketentuan penjara 8 jam hingga 10 hari diberikan. Mereka yang tidak bisa membayar 5 dolar AS dipenjara selama 48 jam.

Pada 28 Oktober, seorang pandai besi bernama James Wisser berdiri di Jalan Powell dan Market di depan sebuah toko obat, mendesak kerumunan untuk membuka, bahkan membuang masker mereka. Seorang inspektur kesehatan, Henry D. Miller, membawanya ke apotik dan memaksanya membeli masker.

The San Francisco Chronicle melaporkan, selangkah dari pintu took obat, Wisser memukul Miller dengan sekantung koin dolar perak dan menjatuhkannya ke tanah. Ketika sedang “dipukuli,” Miller  menembakkan revolvernya empat kali. “Para pejalan kaki bergegas mencari perlindungan,” The Associated Press.

Wisser terluka dalam insiden tersebut, demikian pula dua orang yang menyaksikannya. Dia didakwa mengganggu keamanan, menentang seorang perwira dan penyerangan. Sementara inspektur Miller didakwa dengan tuduhan melakukan serangan senjata mematikan.

“To Mask or Not to Mask”

Itulah tajuk utama yang diterbitkan The Los Angeles Times, ketika para pejabat kota bertemu pada bulan November untuk memutuskan apakah akan meminta penduduk untuk mengenakan “germ scarers” atau “flu-scarers.”

Respons publik pun ditantang. Beberapa kalangan mendukung pemakaian masker agar teater, gereja, dan sekolah dapat beroperasi. Lawannya mengatakan masker hanyalah “perangkap debu, dan lebih banyak merusak daripada membawa kebaikan.”

Sebuah berita berkaitan dengan penampilan orang-orang saat memakai masker

“Saya telah melihat beberapa orang mengenakan masker mereka untuk sementara waktu, menggantungnya di leher mereka, dan kemudian menerapkannya ke wajah mereka, lupa bahwa itu mungkin mendatangkan kuman,” kata Dr. EW Fleming di Los Angeles Times.

Pada bulan Desember, Dewan Pengawas Kota San Francisco kembali mengusulkan persyaratan pemakaian masker. Mereka berhadapan dengan kalangan oposisi yang gigih menolak.

Sekitar akhir tahun, sebuah bom dijinakkan di luar kantor kepala petugas kesehatan San Francisco, Dr. William C. Hassler. “Segala sesuatunya kini menjadi keras dan agresif, tetapi itu karena orang-orang kehilangan uang,” kata Brian Dolan, seorang sejarawan medis di University of California, San Francisco. “Ini bukan tentang masalah konstitusional; ini hanya masalah orang tak punya uang.”

Pada akhir 1918, jumlah kematian akibat influenza telah mencapai setidaknya 244.681, sebagian besar terjadi dalam empat bulan terakhir.

1919: tahun baru

Pada Januari 1919, komisi kota Pasadena mengeluarkan peraturan masker. Polisi dengan enggan menegakkannya, menindak perokok cerutu dan penumpang di dalam mobil. Enam puluh orang ditangkap pada hari pertama, sebagaimana laporan The Los Angeles Times pada 22 Januari, dalam sebuah artikel berjudul “Pasadena Snort Under Mask“.

“Ini adalah hukum paling tidak populer yang pernah ada dalam catatan kota Pasadena,” kata A.S. McIntyre, kepala kepolisian setempat. “Kami dikutuk dari semua sisi.”

Beberapa mengejek aturan itu dengan merentangkan kain kasa di ventilasi mobil atau memakaikannnya di moncong anjing. Vendor cerutu mengatakan mereka kehilangan pelanggan, meskipun ada penggemar berat cerutu yang giat membuat lubang di kain masker itu. Tukang cukur kehilangan pendapatan karena orang tak mau bercukur, takut. Pedagang mengeluh lalu lintas turun karena lebih banyak orang tinggal di rumah.

Petisi diedarkan di stan cerutu. Penangkapan meningkat, bahkan lebih giat. Ernest May, presiden Bank Nasional Pasadena dan lima tamu “terkemuka”-nya ditangkap di Hotel Maryland pada suatu hari Minggu. Mereka memiliki masker, tetapi enggan menggunakannya.

Liga anti-masker

Ketika penularan pindah ke tahun kedua, begitu pula skeptisisme. Pada 17 Desember 1918, Dewan Pengawas San Francisco memasang kembali peraturan pemakaian masker setelah kematian mulai meningkat, sebuah tren yang meluas ke tahun baru dengan 1.800 kasus flu dan 101 kematian dilaporkan di sana dalam lima hari pertama Januari.

Keputusan dewan itu mengarah pada penciptaan Liga Anti-masker, tanda bahwa resistensi terhadap masker muncul kembali ketika kota-kota mencoba untuk memaksakan kembali aturan untuk memakainya manakala infeksi datang kembali.

Liga dipimpin oleh seorang wanita, E.J. Harrington, seorang pengacara, aktivis sosial dan lawan politik walikota. Sekitar setengah lusin wanita lain mengisi peringkat teratas organisasi itu. Delapan laki-laki juga bergabung, beberapa dari mereka mewakili serikat pekerja, bersama dengan dua anggota dewan pengawas yang memilih melawan masker. “Masker berubah menjadi simbol politik,” kata Dr. Dolan.

Pada 25 Januari, liga mengadakan pertemuan organisasinya yang pertama, terbuka untuk umum di Dreamland Rink, di mana mereka bersatu di belakang tuntutan pencabutan peraturan masker dan pengunduran diri walikota dan pejabat kesehatan.

Keberatan mereka termasuk kurangnya bukti ilmiah bahwa masker terbukti berguna dan gagasan bahwa memaksa orang untuk memakai penutup wajah itu tidak konstitusional.

Pada 27 Januari, liga melakukan protes pada saat pertemuan Dewan Pengawas Kota, tetapi walikota menahan diri. Ada teriakan “Freedom! Freedom! ” tulis Dr. Dolan dalam makalahnya tentang epidemic, kala demo itu terjadi.

Aturan itu dicabut pada 1 Februari, ketika Walikota Rolph menyatakan ada penurunan jumlah korban terinfeksi.

Tapi gelombang ketiga flu merebak di akhir tahun itu. Jumlah korban tewas terakhir mencapai sekitar 675.000 di seluruh negeri, atau 30 orang untuk setiap 1.000 orang di San Francisco. Itu menjadikannya salah satu kota yang paling terpukul pandemic di Amerika. [The New York Times]

Christine Hauser adalah reporter NYT yang meliput berita nasional. Sebelumnya bekerja di ruang redaksi meliput pasar keuangan dan di desk Metro, menulis berita-berita Kepolisian.

Back to top button