Veritas

Covid-19: Khawatir Musnah, Indian Amerika Selatan Lari ke Hutan

Rio de Janeiro — Wabah virus korona mulai menjarah Amerika Selatan, menjangkiti ribuan warga di semua negara, dan menimbulkan kematian. Kelompok pribumi, atau suku-suku Indian Amerika Selatan, merespon dengan lockdown tradisional.

The Guardian melaporkan banyak desa warga tradisional mengunci diri, dan warganya mundur ke hutan tradisional serta rumah-rumah pegununungan.

Situasi itu terjadi di Brasil, Kolombia, Ekuador, dan Peru, sejak Covid-19 menjangkiti 8.000 warga di empat negara itu. Mereka menyebut wabah itu sebagai ‘bahaya sejarah’.

Ianucula Kaiabi, pemimpin adat di Taman Nasional Xingu, Brasil, mengatakan; “Virus korona dapat memusnahkan kami.”

Taman Nasional Xingu adalah rumah bagi 6.000 orang dari 16 suku berbeda di selatan tepi Sungai Amazon. Kaiabi mengatakan warga meninggalkan rumah mereka, dan masuk dalam kelebatan hutan.

Sampai Minggu 29 Maret 2020, kematian akibat Covid-19 di Brasil mencapai 136. Saat itu Kaiaba menutup taman nasional, dan mendesak penduduk tidak bepergian ke luar habitat mereka jika tidak penting.

Lebih jauh ke utara, di perbatasan Brasil, Kolombia, dan Venezuela, Sao Gabriel da Cachoeira — kota penduduk pribumi — dikabarkan terkunci total. Semua penerbangan dan lalu-lintas kapan ditangguhkan.

Marivelton Bare, presiden Federasi Negro Adat Sungai, mengatakan; “Ini wilayah sangat sensitif.”

Sao Gabriel da Cachoeira terletak tiga hari perjalanan dengan kapal dari Manaus. Kota tanpa sistem kesehatan, yang membuat tindakan mengisolasi setiap suku sangat penting.

Sofia Mendonca, dokter kesehatan masyarakat di Xingu, mengatakan suku-suku asli Amerika Selatan punya pengalaman buruk dengan wabah apa pun; cacar, campak, dan virus flu.

Wabah datang dan menghancurkan masyarakat adat. Terutama bagi lebih 100 kelompok suku yang terisolasi di Brasil.

Tanpa Masker dan Disinfektan

Saat ini, menurut Mendonca, persoalan terbesar adalah menghentikan virus mencapai desa-desa masyarakat asli. Jika virus masuk desa, akan ada kematian dalam jumlah besar.

Tahun 1970-an, penduduk asli di Panara nyaris musnah akibat wabah. Penyakit datang setelah pemerintahan otoriter membuldoser jalan yang melewati desa orang Panara.

“Itulah genosida sejati,” kata Mendonca.

Masyarakat asli Brasil tahu cerita itu, dan menyimpannya dalam ingatan. Tidak hanya di Brasil, genosida Panara menjadi pelajaran bagi semua suku, betapa mereka bisa musnah oleh wabah.

Giorgio Diaz Mirabal, kepala jaringan regional Organisasi Adat Lembah Sungai Amazon, mengatakan; “Jika Covid-19 mencapai populasi penduduk asli, dampaknya akan mengerikan.”

Diaz Mirabal berinisiatif mengunci desa-desa penduduk asli, dan mengevakuasi mereka yang tinggal di luar desa.

Ada cukup alasa antropologis mengata Covid-19 berpotensi menghancurkan suku-suku asli. Salah satunya, cara hidup suku asli berbasis komunitas. Setiap individu memiliki kedekatan dengan yang lain, yang membuat penularsan sangat cepat.

“Penularan yang cepat akan membuat angka kematian sangat tinggi,” kata Diaz Mirabal.

Segundo Chukipiondo, juru bicara Federasi Adat Amazon Peru, mengatakan telah mendesak 2.000 lebih komunitas untuk menutup perbatasan desa.

Namun, dari sekian ratus suku asli di Amerika Selatan, Tawasap — pemukiman 70 suku mapan di selatan Santiago Morona, Ekuador — yang kali pertama mengisolasi diri.

Akhir Februari 2020, beberapa pekan sebelum Presiden Ekuador Lenin Moreno mengumumkan lockdown nasional, seorang pemimpin adat Shuar meletakan tanda penguncian di pintu masuk desanya.

“Mohon jangan masuk sebagai tindakan pencegahan kesehatan,” bunyi larangan itu.

“Kami memtuuskan menutup pintu kami dan tidak membiarkan siapa pun masuk atau keluar,” kata Tzamarenda Estalin, pemimpin adat Shuar berusia 49 tahun. “Kami ingin merawat warga kami sendiri.”

Tindakan Estalin diikuti 349 desa Shuar lainnya, untuk menyelamatkan 3.800 penduduk. Tidak ada yang membangkang, karena pemimpin adat telah memberi contoh.

“Kami punya pengalaman buruk dengan wabah; influenza, campak, cacar air, dan lainnya. Wabah membunuh jutaan orang di Amerika Latin, dan nyaris memusnahkan kami,” kata Estalin.

Studi terbaru menunjukan cacar dan campak, penyakit yang dibawa kolonialis Eropa, kemungkinan memusnahkan 90 persen populasi pra-Kolumbia di Amerika. Sekitar 55 juta dari 60 juta populasi Amerika Selatan pada abad ke-15 sampai 17 tewas.

Estalin, yang melacak garis keturunannya ke Kirup — pejuang yang memimpin pengusiran Suku Inca dan Spanyol dari wilayah Shuar pada abad ke-16 — mengatakan Tawasap akan ditutup sampai Mei 2020.

“Kami tahu wabah itu tidak ada obatnya,” kata Estalin. “Kami juga tidak bisa menyembuhkan diri sendiri. Kami menutup diri.”

Ia juga mengatakan tidak memiliki masker atau alkohol. “Tapi kami bisa menggunakan tanaman obat untuk melindungi kami,” katanya.

Tak Percaya Pemerintah

Di Kolombia, yang memiliki 608 kasus Covid-19 dengan enam kematian, masyarakat adat juga mengisolasi diri. Desa-desa membuat penghalang di pintu masuk, di luar reservasi, dan melarang kunjungan ke tanah leluhur.

Kolombia adalah rumah bagi 1,5 juta penduduk asli dari 87 suku.

Luis Fernando Arias, koordinator organisasi adat nasional Kolombia dan anggota Kankuamo dari Pegunungan Sierra Nevada, mengatakan; “Senin lalu kami mengadakan pertemuan untuk memutuskan bahwa cara terbaik melindungi diri sendiri adalah kembali ke tanah kami.”

Di selatan Kolombia, komunitas semi monaden Nukak mengisolasi 40 keluarga, sekitar 200 orang, di reservasi terpencil.

“Komunitas lain juga mengambil keputsuan mengisolasi diri,” kata kelly Pena, yang bekerja untuk taman nasional Guaviare, wilayah adat Nukak.

Yang sulit adalah banyak desa tidak memiliki telepon dan persediaan makanan. Akibatnya, diperlukan koordinasi ketat dengan pemerintah setempat untuk mengatur pengiriman.

“Beberapa masih menunggu persediaan, sebelum masuk dan mengisolasi diri,” kata Pena.

Mendonca, yang bekerja di Universitas Federal Sao Paolo, mengatakan mengasingkan diri dengan masuk ke dalam hutan atau ke ketinggian adalah prakten yang berlangsung lama bagi masyarakat adat Amerika Selatan.

“Teknik bertahan hidup dari generasi ke generasi, atau diperoleh dari penderitaan pribadi,” kata Mendonca. “Semua itu adalah bagian dari ingatan leluhur mereka.”

Namun, katanya, teknik semacam itu membawa risiko ketika digunakan untuk menghadapi wabah H1N1 tahun 2016.

“Jika mereka yang berada di kota kelak kembali ke kampung halaman, tragedi H1H1 akan terulang,” katanya. “Saat wabah H1N1, mereka kembali dari kota ke desa tanpa lebih dulu menjalani tes. Sesampai di desa, mereka menularkan ke banyak orang.”

Jadi, menurut Mendoca, pihak berwenang harus belajar dari tragedi 2016. Salah satu yang harus dilakukan adalah mengusir penambang liar dari wilayah Yanomami, di perbatasan Brasil dan Venezuela.

“Jika tidak mengeluarkan orang-orang ini dari habitat penduduk asli, peluang penularan Covid-19 sangat besar,” katanya.

Kaiabi punya ketakutan lain. Yaitu, sistem kesehatan masyarakat adat di bawah rejim Presiden Jair Bolsonaro benar-benar tidak memadai, karena mengalami pemotongan anggaran secara dramatis.

“Itulah sebabnya kami mengambil tindakan sendiri, memblokir desa-desa kami, untuk melindungi diri,” ujarnya.

“Kami tidak ingin bagian tergelap dalam sejarah kami terulang kembali,” Kaiabi mengakhiri.

Back to top button