Lebih dari 500 Ribu Muslim Uighur Dikerjapaksakan Memetik Kapas di Xinjiang
Laporan Center for Global Policy yang diterbitkan Senin (14/12) lalu mengatakan, pada 2018 tiga wilayah Uighur di Xinjiang mengirim setidaknya 570 ribu orang untuk memetik kapas, sebagai bagian dari kerja paksa yang dikelola negara.
JERNIH–Ratusan ribu warga dari etnis minoritas Uighur di wilayah Xinjiang, Cina, dipaksa memetik kapas dengan tangan telanjang. Mereka dipaksa melakukan hal itu melalui sistem kerja paksa yang diadakan pemerintah Republik Rakyat Cina.
Aktivis hak asasi manusia mengatakan, wilayah Xinjiang barat laut adalah rumah bagi jaringan luas kamp interniran di luar hukum, yang telah memenjarakan setidaknya satu juta orang. Kamp itu selama ini diakui pemerintah Cina sebagai pusat pelatihan kejuruan untuk melawan ekstremisme, atau kamp reedukasi.
Sebuah laporan lembaga think tank yang bermarkas di Washington, Center for Global Policy, yang diterbitkan Senin (14/12) lalu, mengatakan bahwa pada 2018, tiga wilayah Uighur di Xinjiang mengirim setidaknya 570 ribu orang untuk memetik kapas, sebagai bagian dari pemindahan tenaga kerja paksa yang dikelola negara.
Para peneliti memperkirakan, jumlah total yang terlibat dalam pemetikan kapas di Xinjiang (yang sangat bergantung pada tenaga kerja manual) “beberapa ratus ribu” lebih banyak dari angka laporan tersebut.
Xinjiang adalah pusat dunia untuk tanaman kapas, yang memproduksi lebih dari 20 persen kapas dunia. Asia Times dalam laporannya menyatakan peringatan adanya “konsekuensi yang berpotensi drastis” untuk rantai pasokan global. Sekitar seperlima dari benang yang digunakan di Amerika berasal dari Xinjiang.
Beijing mengatakan, semua tahanan telah “lulus” dari pusat-pusat “kamp reedukasi” tersebut. Tetapi laporan menunjukkan, banyak mantan tahanan telah dipindahkan ke pekerjaan pabrik berketerampilan rendah, seringkali terkait dengan kamp yang mereka huni sebelumnya.
Namun laporan lembaga think tank tersebut mengatakan, peserta skema transfer tenaga kerja sangat diawasi oleh polisi, dengan perpindahan para pekerja yang memakai “manajemen gaya militer” dan pelatihan ideologis, sebagaimana dokumen pemerintah.
“Jelas bahwa pemindahan tenaga kerja untuk pemetikan kapas tersebut melibatkan risiko kerja paksa yang sangat tinggi,”kata Adrian Zenz, yang mengungkap dokumen tersebut, dalam sebuah artikel Asia Times.
“Beberapa minoritas mungkin menunjukkan tingkat persetujuan sehubungan dengan proses ini, dan mereka dapat memperoleh keuntungan secara finansial. Namun, tidak mungkin untuk menentukan di mana paksaan berakhir dan di mana persetujuan lokal dapat dimulai,” tulis artikel tersebut.
Laporan itu juga mengatakan, ada insentif ideologis yang kuat untuk menegakkan system tersebut, karena peningkatan pendapatan pedesaan memungkinkan para pejabat mencapai target pengentasan kemiskinan yang diamanatkan negara.
Selama ini pemerintah Cina selalu membantah keras tuduhan kerja paksa yang melibatkan orang Uighur di Xinjiang. Sebaliknya, mereka menuduh AS ingin “menekan perusahaan Xinjiang”. Beijing juga mengatakan, program pelatihan, skema kerja, dan pendidikan yang lebih baik telah membantu memberantas ekstremisme di wilayah tersebut.
Awal bulan ini AS melarang impor kapas yang diproduksi Xinjiang Production and Construction Corps (XPCC), sebuah perusahaan paramiliter, produsen dari sekitar sepertiga hasil kapas dari seluruh wilayah tersebut.
RUU lain yang diusulkan terkait larangan semua impor dari Xinjiang, masih dalam pembahasan di Senat AS.
Beberapa merek internasional termasuk Adidas, Gap, dan Nike telah dituduh menggunakan hasil dari kerja paksa Muslim Uighur dalam rantai pasokan tekstil mereka. Data itu terbit ke permukaan berdasarkan laporan Australian Strategic Policy Institute, Maret lalu. [Asia Times]