
Ketakutan Israel terhadap narasi Abu Ubaidah bukan tanpa alasan. Hal ini merupakan hasil dari strategi “Perang Saraf” (Psychological Warfare) yang sangat canggih, yang mampu menyentuh titik terlemah dari struktur sosial dan militer Israel.
WWW.JERNIH.CO – Di tengah kancah konflik yang tak berkesudahan, muncul sosok yang kehadirannya tak hanya berupa kekuatan fisik, melainkan juga kekuatan kata-kata. Abu Ubaidah, dengan wajah tersembunyi di balik Keffiyeh merah yang ikonik, telah membuktikan bahwa suara bisa menjadi senjata paling mematikan.
Orasi-orasinya tidak hanya laporan militer; ia adalah instrumen “Perang Saraf” yang dirancang dengan sangat teliti, menggunakan pilihan kata puitis namun tajam, serta menyisipkan ayat-ayat Al-Qur’an dan referensi sejarah yang menggugah emosi jutaan pendengarnya.
Orasinya yang terkenal, “Kami Telah Menyiapkan Maut untuk Kalian,” adalah sebuah peringatan yang dingin namun tegas. Ini membuat para petinggi Israel ciut nyali.
“Dunia akan melihat bagaimana tentara-tentara kalian yang pengecut akan lari ketakutan atau pulang di dalam peti mati. Kami telah menyiapkan jenis kematian yang tidak pernah kalian bayangkan di setiap sudut jalan di Gaza,” ujarnya, menciptakan gelombang ketakutan di satu sisi dan membakar semangat perlawanan di sisi lain.
Lebih mengguncang lagi adalah pidato pasca-Operasi “Badai Al-Aqsa” pada 7 Oktober 2023. Dengan tenang namun penuh keyakinan, ia mengumumkan, “Benteng besi yang kalian banggakan runtuh seperti sarang laba-laba di hadapan tekad para pejuang kami. Hari ini adalah awal dari akhir pendudukan kalian di tanah suci kami.” Kata-kata ini bukan hanya meruntuhkan tembok fisik, tetapi juga benteng psikologis.
Namun, di balik semua ketegasan itu, ada pesan yang mendalam bagi rakyatnya yang menderita. Abu Ubaidah paham bagaimana merajut kata untuk rakyatnya, “Wahai rakyat kami yang sabar dan teguh, luka-luka kalian adalah lencana kehormatan kami. Kemenangan hanyalah kesabaran sesaat, dan fajar kemerdekaan sudah sangat dekat.”
Kalimat-kalimat ini menjadi penawar dahaga harapan bagi mereka yang berada di garis depan penderitaan. Setiap orasinya selalu diakhiri dengan trademark yang menginspirasi: “Dan itu adalah jihad, kemenangan atau syahid.” Sebuah pernyataan singkat yang merangkum filosofi perjuangan yang tak kenal menyerah.
Pengaruh Abu Ubaidah melintasi batas geografis Gaza, menyentuh jutaan orang di seluruh dunia. Di dunia Arab dan Muslim, ia dielu-elukan sebagai “Simbol Harapan” dan “Ikon Budaya Populer,” wajah perlawanan yang terpampang di mural, kaos, hingga profil media sosial.
Anonimitasnya justru menciptakan aura misteri yang tak terpecahkan, membuatnya menjadi “Legenda Hidup Gaza”. Ia adalah “Master of Psychological Warfare,” yang mampu mengikis kepercayaan publik Israel terhadap narasi resmi pemerintah mereka, bahkan sering kali memicu kepanikan dengan ancaman serangannya yang terbukti.
Secara global, ia adalah “The Voice of Truth,” yang melalui media sosial dan terjemahan pidatonya, berhasil “Membangkitkan Isu Palestina” di mata dunia, melampaui sensor media arus utama.
Rahasia efektivitas orasi Abu Ubaidah terletak pada tiga pilar utama; penggunaan Bahasa Arab Fushah yang elegan dan penuh wibawa, kredibilitas yang tak terbantahkan karena janji-janjinya sering kali terwujud, dan tentu saja, anonimitasnya yang menciptakan aura tak tersentuh oleh intelijen lawan.
Ia telah mengubah cara perlawanan dilakukan, dari sekadar kontak senjata menjadi perang narasi yang sangat efektif.
Perang Psikologis ke Israel
Dalam palagan konflik di Timur Tengah, kekuatan militer bukan lagi satu-satunya penentu kemenangan; narasi telah menjelma menjadi senjata yang sama mematikannya dengan peluru.
Abu Ubaidah, juru bicara legendaris Brigade Al-Qassam, memahami hal ini dengan sempurna. Kehadirannya melalui layar digital bukan sekadar untuk menyampaikan laporan teknis, melainkan untuk melancarkan strategi “Perang Saraf” (Psychological Warfare) yang sistematis. Salah satu pencapaian terbesarnya adalah menciptakan krisis kepercayaan (credibility gap) yang mendalam di dalam masyarakat Israel. Ketika publik di Tel Aviv mulai merasa bahwa pernyataan pria bermasker ini lebih akurat dibandingkan siaran pers resmi militer mereka sendiri, saat itulah kekalahan psikologis mulai merayap.
Ketepatan data mengenai kerugian di lapangan dan ketepatan waktu ancaman serangan roket telah mengubah suara Abu Ubaidah menjadi lonceng peringatan yang memaksa warga lawan berlindung di bunker sebelum peluru pertama ditembakkan.
Lebih jauh lagi, Abu Ubaidah secara cerdik berhasil membongkar mitos “tak terkalahkan” yang selama puluhan tahun dibangun oleh Israel. Narasi ini diperkuat dengan bukti visual yang menayangkan kehancuran tank Merkava—simbol kebanggaan teknologi Israel—oleh senjata-senjata rakitan.
Efeknya sangat destruktif bagi moral lawan; ia menghancurkan rasa aman psikologis warga dan sekaligus mengoyak kepercayaan diri tentara yang berada di garis depan. Bagi Israel, narasi ini bukan lagi jenis propaganda, melainkan serangan langsung terhadap fondasi eksistensi keamanan mereka.
Ketakutan Israel juga dipicu oleh faktor ketidakpastian identitas atau the fear of the unknown. Keberhasilan Abu Ubaidah menjaga misteri identitasnya selama puluhan tahun merupakan simbol kegagalan besar bagi lembaga intelijen sekelas Mossad atau Shin Bet.
Ketidaktahuan akan siapa sosok di balik keffiyeh merah itu menciptakan aura legenda yang seolah tak tersentuh, memberikan kesan bahwa perlawanan tersebut ada di mana-mana dan tidak bisa dibungkam. Hal ini berbanding lurus dengan upaya agresifnya dalam mempengaruhi moral tentara lawan.
Dengan mengeksploitasi isu sensitif seperti tawanan perang dan menyebut tentara lawan hanya berani bertempur dari balik lapisan baja, Abu Ubaidah berhasil menyentuh saraf paling traumatis dalam masyarakat Israel, yang sering kali memicu protes domestik terhadap kepemimpinan politik mereka sendiri.
Efektivitas narasi ini didukung oleh penggunaan media yang agresif dan adaptif. Meskipun sensor militer diberlakukan dengan ketat, pesan-pesan Abu Ubaidah selalu menemukan celah melalui Telegram dan media sosial untuk sampai langsung ke tangan publik Israel.
Perbedaan gaya bahasa yang mencolok—di mana militer Israel cenderung bersifat teknis-birokratis sementara Abu Ubaidah tampil dengan bahasa puitis yang ofensif—mempertegas kontras antara kedua pihak.
Pada akhirnya, Abu Ubaidah telah mengubah peta pertempuran; dari kontak fisik di parit-parit Gaza, menjadi perang ideologis dan mental yang menempatkan “ketangguhan tekad” sebagai tandingan utama bagi “keunggulan teknologi”.
Lewat segala kecerdasan tingkat tinggi narasi dan orasi Abu Ubaidah bukan cuma seorang juru bicara. Ia adalah “The Face of Resistance” yang tak berwajah, “The Knight of the Keffiyeh” yang melampaui simbolisme, dan “Guardian of Al-Aqsa” yang suaranya menjadi penjelmaan perjuangan.
Di tengah ketidakpastian dunia, ia membuktikan bahwa keyakinan, strategi komunikasi yang cerdas, dan keberanian dapat mengguncang hegemoni dan kecongkakan Israel dan sekutunya. Ia menginspirasi generasi dan menancapkan panji perlawanan di hati jutaan manusia.
Hingga akhir hayatnya, Abu Ubaidah tetaplah sebuah pelajaran tentang kekuatan kata dan ketabahan jiwa.(*)
BACA JUGA: Abu Ubaidah Wajah Perlawanan Palestina di Era Modern






