Bacaan Anak-anak Karya Inlander: dari ‘Budak Teuneung’ Hingga ‘Si Doel Anak Betawi’
Pengantar:
Hari ini, 18 Februari, pada 1885, novel petualangan remaja The Adventures of Huckleberry Finn, yang ditulis Mark Twain, terbit. Tentu saja, itu bukan novel petualangan remaja pertama yang diterbitkan di AS. Tetapi, novel itu tak hanya menyebar dan disukai dunia, melainkan menjadi buku yang dianggap karya tulis terbesar di AS. Berkaitan dengan penerbitan pertama novel remaja itu, kami menulis beberapa artikel di Veritas. Selamat membaca.
Hanya sedikit yang tahu ‘Budak Teuneung’ adalah buku cerita anak-anak pertama karya penulis pribumi, dan ditulis dalam bahasa lokal, yaitu Bahasa Sunda
JAKARTA– Alkisah, pada suatu hari di Tatar Sunda, hidup seorang bocah yatim bernama Si Warji. Usianya sebelas tahun. Ia tinggal bersama sang ibu di sebuah gubuk kecil tak layak huni.
Meski hidup serba kekurangan, sang ibu mengajarkan Warji tentang kejujuran, selalu berusaha berbuat baik kepada siapa pun, dan rajin.
Warji menjalankan semua nasehat sang ibu. Ia berusaha tak membalas ketika Si Begu dan Si Utun, dua anak orang kaya di desa, kerap mengolok-oloknya.
Nasib Warji berubah ketika dia menolong Asep Onon, anak lurah, yang terperosok ke dalam sumur kering. Sejak itu Warji berteman dengan Asep. Ia juga diberi pekerjaan sebagai penggembala kerbau.
Asep mengajarkan Warji membaca dan menulis. Tidak butuh waktu lama bagi Warji untuk bisa membaca dan menulis, karena dia terus berlatih bersama Asep.
Warji tidak hanya cerdas, tapi juga berani. Ia mengakhiri petualangan kejahatan Si Begu dan Si Utun dan menyerahkannya ke polisi. Pak Lurah sekali lagi harus beterima kasih kepada Warji.
***
Cerita di atas adalah sinopsis novel anak-anak berjudul Budak Teuneung. Buku ditulis Samsoedi, terbit kali pertama tahun 1930, dan beredar di Jawa Barat.
Buku kali pertama diterbitkan Balai Pustaka tahun 1931, dan sempat menghilang karena tidak ada cetak ulang sampai memasuki 1980. Tahun 1982, barulah Budak Teuneung dicetak ulang.
Situs jeffryrynaldy.blogspot.com menyebutkan pemodal, mungkin maksudnya penerbit, buku ini adalah Girimukti Pusaka. Kini, ‘Budak Teuneung‘ relatif mudah dicari di toko online, karena masuk kategori buku klasik berbahasa Sunda, dan mengalami tiga kali cetak ulang setelah 1982.
Namun hanya sedikit yang tahu ‘Budak Teuneung’ adalah buku cerita anak-anak pertama karya penulis pribumi, dan ditulis dalam bahasa lokal, yaitu Bahasa Sunda.
Buku dipenuhi banyak gambar yang membentuk imajinasi anak-anak pembacanya. Namu, gambar yang tersaji masih belum jelas dan mungkin sangat mengganggu anak-anak Saat itu.
Patut dimaklumi, ilustrasi dalam buku sepenuhnya dibuat pribumi. Tidak ada intervensi kolonial sedikit pun dalam penulisan dan penerbitan buku ini.
Seluruh buku bercerita tentang urang Sunda dan kehidupannya. Samsoedi seolah tak menghendaki adanya persinggungan dengan orang Belanda, dengan tidak menghadirkan sosok kulit putíh di dalam buku.
Tidak ada yang tahu apakah buku cukup populer di masyarakat Sunda kala itu. Yang pasti Budak Teuneung tidak masuk buku ajar, atau bacaan wajib di sekolah-sekolah bentukan Belanda, dak tirai menjadi bagian sekolah rakyat yang didirikan pribumi.
Sejarawan Ajip Rosidi tidak pernah membahas Budak Teuneung, begitu pula sarjana sastra Sunda lainnya. Asumsi sederhananya adalah Budak Teuneung tidak mengandung nilai sastra.
Budak Teuneung juga bukan bacaan anak-anak pertama dalam Bahasa Sunda. Tahun 1911, sebuah penerbit di Den Haag meluncurkan Boekoe Batjaan pikeun Moerid-moerid di Sakola Soenda, yang kemudian diubah menjadi Roesdi djeung Misnem.
Buku adaptasi Ot en Sein itu ditulis Antonie Cornelis Deenik dan Raden Kanduruan Djajadiredja. Buku disesaki 158 gambar karya WK de Bruin. Wawan ‘Hawe’ Setiawan secara khusus membahas buku ini sebagai tesis di Program Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB).
Dibanding Budak Teuneung, ‘Roesdi djeung Misnem’ lebih melegenda. Penyebabnya, Roesdi djeung Misnem menjadi bacaan wajib anak-anak Sekolah Sunda yang berasal dari kalangan bangsawan. Budak Teuneung sebaliknya, yaitu bacaan kelas menengah bawah masyarakat Sunda Saat itu.
Sebagai karya anak bangsa, dan terbebas dari pengaruh kolonial, Budak Teuneung seharusnya mendapat tempat khusus. Budak Teuneung adalah bukti bahwa pribumi mampu menulis dan mendidik diri dengan nilai-nilai universal.
***
Sulit untuk tidak mengatakan Budak Teuneung mempengaruhi kelahiran buku-buku karya pribumi berikutnya, meski mungkin tidak langsung. Salah satunya, dan yang paling monumental, adalah Si Doel Anak Betawi.
Bacaan anak-anak itu ditulis Aman Datuk Modjoindo dan diterbitkan Balai Pustaka tahun 1932. Aman Datuk bukan orang Betawi, tapi berasal dari Sumatera Barat.
Ia datang ke Batavia untuk menjadi penulis, dan bekerja di Balai Pustaka. Ia sastrawan angkatan Pujangga Baru, tapi karyanya tidak pernah dipertimbangkan sebagai sastra.
Alasannya, Si Doel Anak Betawi tidak ditulis dalam Bahasa Melayu Tinggi, tapi Bahasa Betawi (Tengah). Bahasa Betawi, tengah atau pinggir, sering disebut Bahasa Melayu Pasar — bahasa yang digunakan penulis-penulis Melayu Tionghoa saat itu.
Aman Datuk tahu benar tentang Bahasa Betawi (tengah), Ia banyak menggunakan kosa kata serapan dari Bahasa Arab, dengan huruf ‘e’ sebagai pengganti ‘a’.
Si Doel Anak Betawi mengalami cetak ulang lima kali, dengan berbagai judul. Terakhir, pada cetakan kelima, Aman Datuk memberi judul Si Doel Anak Djakarta.
Dalam pengantarnya, Aman Datu memberi alasan pergantian Betawi menjadi Djakarta. Yaitu, kata Betawi sudah hilang dari perasaan. Yang terlintas adalah Djakarta.
Apakah buku itu dikonsumsi anak-anak Betawi masa itu?
Tentu tidak. Pada masa itu, anak-anak Betawi yang tinggal di kampung-kampung Batavia dan Jakarta hanya sedikit yang bersekolah, atau bisa membaca. Kalau pun ada yang bisa membaca mungkin hanya anak-anak yang bekerja dengan Belanda.
Tujuan Aman Datu menggunakan Bahasa Betawi, menurut Wikipedia, semata ingin memperkenalkan bahasa penduduk asli Batavia ke pembaca di luar Jakarta. Namun tidak ada catatan Si Doel Anak Betawi populer di luar Jakarta.
Namun bukan tidak mungkin buku ini populer. Terbukti masih ada cetakan berikutnya; Si Doel Anak Jakarta, dan akhirnya kembali ke nama lama; Si Doel Anak Betawi.
Kebanyakan masyarakat Jakarta justru menikmati Si Doel Anak Betawi bukan sebagai buku, tapi film. Sjuman Djaja kali pertama mengangkat Si Doel Anak Betawi ke dalam film, dan populer.
Tahun 1994, Si Doel — nama asli tokohnya adalah Abdul Hamid — menjadi Anak Sekolahan dan tampil sebagai serial televisi.
***
Budak Teuneung dan Si Doel Anak Betawi adalah dua karya sastrawan inlander untuk anak-anak inlander. Budak Teuneung relatif melewati waktu dengan menyedihkan, sampai akhirnya diterbitkan kembali.
Si Doel Anak Betawi bermutasi seiring waktu, sampai diangkat ke layar lebar. Si Doel relatif populer sebagai film, bukan karya sastra.
Sebagai karya sastra, Si Doel dan Budak Teuneung relatif bernasib sama, tidak banyak dijamah anak-anak etnis yang menjadi pasarnya.