POTPOURRI

Mengenal Ketuk Tilu, Ritual Sakral Yang Berubah Menjadi Seni Hiburan

JERNIH – Salah satu tarian kuno yang berkembang mengikuti jaman adalah Seni Tari Ketuk Tilu. Nama ketuk Tilu diambil dari nama waditra “ketuk” (semacam bonang) yang berjumlah tiga buah dan ditabuh tiga kali saat akan memulai pertunjukan.

Sejauh ini belum ada sumber pasti kapan kesenian ini lahir. Namun berdasarkan penyajiannya kemungkinan besar kesenian ini muncul seiring dengan pemuliaan terhadap padi. Daerah yang dianggap menjadi tempat penyebarannya diantaranya daerah Galuh dan pesisir pantai utara Jawa Barat.

Ketuk Tilu asalnya merupakan kesenian rakyat pedesaan yang berfungsi  dalam upacara menyambut panen padi sebagai ungkapan rasa syukur pada Yang Maha Kuasa yang dipresentasikan kepada Dewi Sri sebagai karuhun yang tidak bisa dilepaskan dalam budaya sawah. Masyarakat Sunda menyebutnya Nyai Pohaci Sanghyang Asri yang disakralkan terutama oleh masyarakat pedalaman.

Suhari Gandamihardja dalam Swara Cangkurileun, edisi 123/1980 menuliskan bahwa Ketuk Tilu ditampilkan dalam bentuk upacara yang dilakukan malam hari dengan mengarak seorang gadis tanggung yang cantik sebagai lambang Dewi Sri.

Setelah tiba di tempat yang telah ditentukan, si gadis sebagai lambang Dewi Sri didudukan di kursi bambu, di dekat obor yang menjadi penerangan kegiatan di malam hari  

Para penabuh yang mengarak Derwi Sri juga turut mengambil tempat duduk di tanah sambil terus menabuh alat musiknya. Maka di situlah puncak acara Ketuk Tilu dilaksanakan. Masyarakat yang hadir bergembira dan para pemudanya menari mengelilingi gadis Sri pohaci yang diam tidak ikut menari.

Namun seiring perkembangan jaman, si gadis sebagai Sri Pohaci yang pada mulanya diam, lambat laun mulai berinteraksi dengan para pemuda, kemudian ikut menjadi menari. Di beberapa tempat disebut ronggeng. Waditra (alat kesenian) maupun nayaga juga mengalami perkembangan.

Penabuh musik yang asalnya bisa siapa saja dari para penonton, lambat laun menjadi panjak yang matuh. Alat musiknya juga berkembang, selain tiga buah ketuk, juga ditambah seperangkat kendang, goong besar, rebab dan kecrek. Maka seni Ketuk tilu yang asalnya berfungsi sebagai bentuk penghormatan terhadap Dewi Sri, berubah dinamis menjadi tarian pergaulan dan hiburan bagi masyarakat.

Pada proses perubahan ini, di wilayah Galuh pakidulan berkembang seni Ronggeng Gunung yang memiliki kemiripan dalam tata cara awal penyajian Ketuk Tilu. Seorang Ronggeng Gunung juga digambarkan sebagai gadis perawan yang tampil dalam syukuran padi.  

Dalam pertunjukannya, Ronggeng Gunung tidak menari secara khusus, namun lebih kepada bernyanyi (sinden). Ada kesamaan struktur penyajian antara Ketuk Tilu dan Ronggeng Gunung, yaitu ketika para pemuda menari mengelilingi gadis simbol Dewi Sri, sama halnya dengan para penari ronggeng gunung yang menari mengelilingi Sang Ronggeng Gunung.

Pun demikian dengan alat musik ketuk Tilu yang digunakan dan dapat dimainkan oleh para penonton, memiliki kesamaan dengan konsep awal pertunjukan Ronggeng Gunung, di mana penonton juga dapat menjadi nayaga dadakan.

Disinyalir kesenian Ketuk Tilu merupakan pengembangan dari Seni Ronggeng Gunung dari Galuh Pakidulan, atau bisa juga sebaliknya. Hal tersebut didasari bahwa pemuliaan terhadap Dewi Sri yang menjadi ruh dari Seni Ketuk Tilu muncul lebih awal dari terciptanya Seni Ronggeng Gunung yang berlatar belakang masa Pajajaran.

Yoyo Yohana seorang tokoh Ketuk Tilu dari Ujungberung menyatakan bahwa Ketuk Tilu, merupakan salah satu bentuk seni pertunjukan yang mandiri. Artinya, tidak terikat atau bukan merupakan bagian dari cabang seni lain.

Pada perkembangan selanjutnya, Ketuk Tilu menjadi bagian dari suatu pertunjukan teater rakyat. Misalnya: Ronggeng Gunung di daerah Ciamis, Banjet di daerah Karawang, Topeng Betawi di beberapa daerah di kawasan Jabotabek, begitu juga Ubrug di Banten.

Jika Seni Ronggeng Gunung masih ketat dalam aturan-aturan buhun, maka Ketuk Tilu berkembang lebih dinamis sehingga tiap daerah memiliki ciri khasnya masing-masing. Salah satu tari kreasi pengembangan dari Ketuk Tilu adalah Tari Jaipongan yang terkenal.

Gerakan yang dilakukan dalam ketuk Tilu diantaranya goyang, pencak, muncid, gitek dan geol. Gerakan tersebut memiliki nama sendiri seperti depok, bajing luncat, oray orayan, lengkah opat, ban karet dan lain-lain.

Saat memulai pertunjukan, biasanya diawali alunan musik dan lagu pengiring untuk mengumpulkan para penonton. Para penari kemudian memasuki panggung dengan  gerak jajangkungan dan dilanjutkan dengan gerak wawayangan yaitu saat penari brenyanyi sambil ngibing.

Setelah itu muncul penari primadona dan di lanjutkan dengan ngibing tunggal atau ibing jago dengan iringan tiga lagu, yaitu Cikeruhan , Cijagran, dan Mamang. Para penari kemudian mengajak para penonton untuk ngibing berpasangan.

Ketuk Tilu Cikeruhan dikembangkan oleh salah seorang pangeran dari Sumedang. Awalnya merupakan tarian tunggal yang kemudian  menjadi tarian berpasangan. Cikeruhan memadukan gaya Ketuk Tilu Kaleran dengan ketuk Tilu Kidulan termasuk dengan Pencak Silat.

Sehingga dalam Cikeruhan akan terlihat gerak tajong (tendang), siku, tungkup, tangkis, ngelit, kepret dan sebaginya. Nama Cikeruhan diambil dari nama lagu untuk mengiringi Ketuk Tilu gaya Bandung (pakidulan). Lagu inilah yang menjadi ciri khas Ketuk Tilu Cikeruhan yang membedakan dengan daerah lainnya.

Back to top button