Islam adalah agama Tauhid–menyembah satu Allah, mengimani satu Rasul, dan pemeluknya mengimani ajaran yang satu. Lawannya adalah musyrik yang ciri-cirinya disebutkan dalam Al-Ouran sebagai berikut: “Orang yang memecah agamanya menjadi beberapa golongan, kemudian setiap golongan merasa bangga dengan golongannya sendiri.” (QS. 23:53)
JERNIH– ”Aku meminta izin untuk berjumpa dengan Imam Ja’far ash-Shadiq,” begitu Abu Hanifah memulai kisahnya, “tetapi ia tidak memperkenankanku. Kebetulan datanglah rombongan orang Kufah meminta izin, dan aku pun masuk beserta mereka. Setelah aku berada di sisinya, aku berkata:
-Wahai putra Rasulullah, alangkah baiknya jika Anda menyuruh orang pergi ke Kufah dan melarang penduduknya mengecam sahabat Rasulullah SAW. Aku lihat di sana lebih dari 10.000 orang mengecam sahabat.
+Mereka tidak akan menerima laranganku.
-Siapa yang berani menolak Anda, padahal Anda putra Rasulullah?
+Anda orang pertama yang tidak menerima perintahku. Anda masuk tanpa seizinku. Duduk tanpa perintahku. Berbicara tidak sesuai dengan pendapatku. Telah sampai padaku bahwa Anda menggunakan qiyas.
-Benar.
+Celaka Anda, hai Nu’man. Orang yang pertama melakukan qiyas ialah Iblis, ketika Allah menyuruhnya sujud kepada Adam. Lalu ia menolak dan berkata: “Engkau ciptakan aku dari api dan Engkau ciptakan ia dari tanah.” Hai Nu’man, mana yang lebih besar (dosanya): membunuh atau berzina?
-Membunuh.
+Tetapi mengapa Allah menetapkan dua saksi untuk pembunuhan, dan empat orang saksi untuk zina. Anda gunakan qiyas di situ?
-Tidak.
+Mana yang lebih besar (najisnya): kencing atau air mani?
-Kencing.
+Mengapa, untuk kencing diperintahkan wudhu, tetapi untuk mani diharuskan mandi. Anda juga gunakan qiyas di situ?
-Tidak.
+Mana yang lebih besar: salat atau shaum?
-Salat.
+Tetapi mengapa wanita haid harus meng-qadha shaumnya, tetapi tidak harus meng-qadha salatnya. Anda juga gunakan qiyas di situ?
-Tidak.
+Mana yang lebih lemah: wanita atau pria?
-Wanita.
+Mengapa Allah berikan warisan dua bagian bagi pria dan satu bagian bagi wanita. Apakah Anda juga gunakan qiyas di situ?
-Tidak.[1]
Dialog ini kita hentikan di sini. Menurut riwayat, Imam Abu Hanifah — mujtahid besar Ahlu Sunnah ini — kemudian berguru kepada Imam Ja’far ash-Shadiq, imam keenam dalam mazhab Syi’ah. Terkenal ucapan Abu Hanifah: Law la sanatan, lahalaka Nu’man (bila tidak ada dua tahun bersama Ja’far, akan celakalah Nu’man). Yang berguru kepada Ja’far bukan saja Abu Hanifah. Juga Malik bin Anas, Yahya bin Sa’id, Sufyaniyun, Ibn Juraih, Syu’bah, dan Ayyub as-Sajastani.[2]
Tentang gurunya, Malik berkata: “Tidak ada yang dilihat mata, didengar telinga, lebih utama dari Ja’far ash-Shadiq dalam hal keutamaannya, ilmunya, ibadahnya, dan waranya.”
Islam agama tauhid
Kepada Malik berguru Imam Syafi’i. Kepada Syafi’i berguru Imam Hambali. Secara singkat, mazhab-mazhab besar ini semuanya bersumber kepada sumber yang sama. Namun mengapa terjadi perpecahan di antara pengikut mereka? Mengapa pengikut Hambali mengecam pengikut Syafii? Mengapa pengikut Syafi’i menentang pengikut Abu Hanifah? Mengapa Ahlu Sunnah mengafirkan Syi’ah?
Perpecahan yang meruncing sering terjadi di kalangan umat Islam hanya karena setiap orang merasa bahwa pendapatnyalah yang paling benar. Tidak jarang hal ini menjurus ke arah sedemikian, sehingga mengafirkan orang lain yang berbeda pendapat. Dalam sejarah, umat Islam amat sering dirugikan oleh sikap semacam ini.
Islam adalah agama Tauhid–menyembah satu Allah, mengimani satu Rasul, dan pemeluknya mengimani ajaran yang satu. Lawannya adalah musyrik yang ciri-cirinya disebutkan dalam Al-Ouran sebagai berikut:
“Orang yang memecah agamanya menjadi beberapa golongan, kemudian setiap golongan merasa bangga dengan golongannya sendiri.” (QS. 23:53)
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, dan diterima dari Muadz bin Jabal, disebutkan: ”Serulah umat berbuat ma’ruf, dan laranglah berbuat munkar sampai nanti ada suatu saat ketika orang mengikuti kebatilan, menaati hawa nafsunya, dan mengistimewakan dunia. Dan di zaman itu, orang merasa ijab* dengan pendapatnya sendiri.”[3]
Perbedaan pendapat antar-Mazhab
Memiliki pendapat, meyakininya dan menyebarkannya tidak dilarang dalam Islam. Yang diharamkan ialah menjadikan perbedaan pendapat itu sebagai bibit perpecahan atau untuk mengklaim bahwa pendapat kita adalah satu-satunya kebenaran.
Seperti Voltaire, seorang Muslim yang mukhlish, akan berkata, ”Aku akan mempertahankan pendapatku mati-matian, Tetapi aku pun akan mempertahankan hak Anda untuk mengemukakan pendapat Anda mati-matian pula.”
Di dalam Islam perbedaan pendapat telah melahirkan perbedaan mazhab. Lebih cermat lagi, perbedaan mazhab fikih. Fikih artinya pemahaman atau pengertian. Dalam bahasa Arab, mazhab berasal dari kata dzahaba, yang berarti pergi atau mengikuti pendapat orang lain. Sedangkan arti mazhab ialah tempat rujukan, tempat orang merujukkan pendapatnya. Tetapi, kemudian mazhab berkembang menjadi semacam paket fikih berdasarkan kesimpulan tokoh pemikir Islam. Di dalam Islam– paling tidak sekarang ini–diakui ada enam mazhab besar, antara lain mazhab Syafi’i, mazhab Hanafi, mazhab Hambali, dan mazhab Maliki (sebagai mazhab-mazhab Sunni), mazhab Ja’fari dan mazhab Zaidi (mazhab-mazhab Syi’ah). Di samping itu, banyak pula mazhab kecil yang bermunculan di sana-sini.
Di Indonesia pun berkembang pula mazhab-mazhab kecil ini, dan setiap orang boleh saja mengembangkannya, dengan syarat setiap orang jangan terlalu takjub dengan mazhabnya sendiri, dan mencoba membuka pemikiran terhadap mazhab yang lain.
Kalau kita teliti, mazhab-mazhab itu tidak begitu banyak berbeda, malahan ada orang mengatakan bahwa perbedaan di antara empat mazhab Sunni lebih besar daripada perbedaan antara mazhab Sunni dan Syi’ah. Secara statistik, kita dapat mengatakan bahwa ragam di dalam (variance within) lebih besar dari ragam antara (variance between). Ini berarti tidak ada perbedaan signifikan antara Sunnah dengan Syi’ah.
Kesimpulan di atas mendorong kita untuk memikirkan kemungkinan pendekatan di antara berbagai mazhab. Tetapi pendekatan memerlukan upaya saling mengenal. Di sini kemusykilan terjadi. Tidak mudah bagi kita untuk mempelajari berbagai mazhab secara lengkap lewat buku-buku rujukan mazhab tersebut. Tentu saja, lebih sulit lagi memperbandingkan semua mazhab ini dalam satu ceramah atau sebuah makalah.
Di sini kita akan menceritakan sebab musabab terjadinya perbedaan mazhab dan mengemukakan beberapa contoh sebagai bahan bandingan. Meskipun yang kita bicarakan di sini adalah ibarat menyentuh kulitnya saja, tapi diharapkan bahwa dengan sentuhan yang sedikit ini cakrawala berpikir kita dapat terbuka. Perbedaan mazhab dapat dilacak dalam perbedaan penafsiran nash, yakni Al-Ouran dan as-Sunnah, perbedaan periwayatan hadis, dan perbedaan ushul fiqh yang mengakibatkan perbedaan prosedur penarikan kesimpulan hukum.
Perbedaan penafsiran Nash
Sebetulnya, di zaman Rasulullah pun sudah terjadi perbedaar pendapat. Misalnya, perbedaan pendapat antara Umar bin Khattab dan Abu Bakar. Abu Bakar melakukan salat witir sebelum tidur, sedangkan Umar melakukannya sesudah tidur. Hal ini disampaikan kepada Rasulullah, lalu beliau berkata: “Abu Bakar adalah orang yang berhati-hati, dan Umar adalah orang yang kuat kemauannya.”[4] [Bersambung]
Dari “Islam Alternatif: Ceramah-ceramah di Kampus”, Jalaluddin Rakhmat, alm.Mizan, November 1986
[1] Abdul Halim Jundi, Al-Imam Ja’far Ash-Shadiq, Kairo: Majlisul ‘Ala, tanpa tahun.
[2] Lihat komentar Ibnu Hajar tentang Ja’far dalam As-Sawaiq al-Muhriqah, Kairo: Maktabah al-Qahirah,1385
[3] Ijab artinya perasaan takjub yang disertai dengan rasa bangga: dengan demikian cenderung merendahkan pendapat orang lain.
[4]Hadis riwayat Al-Khithabi, Thabarani, Abu Dawud, dan lain-lain. Lihat juga AsySyaukani, Nail al-4uthar, Juz III, Beirut: Dar al-Jail, 1973, h. 56.