Veritas

Perjanjian Renville: Ketika Republik Dikhianati Amerika dan Putra Sendiri

Veritas-1

Tak hanya AS, Republik dikhianati anak-anaknya sendiri

JAKARTA— Teluk Jakarta, 17 Januari 1948. Setelah sebulan berdebat, diselingi masa-masa ngambek kedua pihak dengan meninggalkan meja perundingan, Perjanjian Renville pun ditandatangani. Jelas sudah, semua kesepakatan yang diambil di sana merugikan posisi Republik Indonesia, negara balita yang untuk berdiri tegak pun masih sulit, apatah lagi berjalan.   

Bagaimana tidak. Karena perjanjian tersebut wilayah Republik Indonesia segera menciut menjadi kurang dari sepertiga area semula. Daerah-daerah yang lepas dan direbut Belanda itu umumnya wilayah-wilayah kaya akan sumber daya alam, baik tanaman bahan makanan, tumbuhan maupun kandungan mineral.

Mengapa hasil perundingan sampai sedemikian merugikan Republik Indonesia, kini masih menjadi bahan yang layak dikaji dan dikaji ulang. Namun lihat saja, bagaimana mungkin orang sekaliber Amir Sjarifuddin, ketua delegasi RI, seorang muda yang lama tinggal dan belajar di Belanda manakala rata-rata Pendidikan penduduk Indonesia belum lagi selevel SD, berunding sebulan penuh hanya untuk mendapatkan semua butir tekanan itu dari Belanda?  

Lihat saja butir-butir yang ia amini dan setuju untuk ditindaklanjuti:

-Belanda masih berdaulat atas seluruh indonesia sampai kedaulatan diserahkan kepada Republik Indonesia Serikat, yang wajib segera dibentuk.

-Republik Indonesia Serikat (yang akan dibentuk itu, red) mempunyai kedudukan yang sejajar dengan Negeri Belanda dalam UNI Indonesia-Belanda.

-Republik Indonesia menjadi bagian dari negara RIS.

-Pasukan Republik Indonesia yang berada di daerah pendudukan harus ditarik masuk ke daerah Republik Indonesia.

Alhasil, intinya setelah perjanjian itu Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta dan Sumatera—selain Sumatra timur, sebagai bagian wilayah Republik Indonesia. Selain itu, karena adanya garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda, maka Tentara Nasional Indonesia harus ditarik mundur dari daerah kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa Barat dan Jawa Timur.

Itulah sebabnya, segera setelah Perjanjian Renville ditandatangani, TNI dari Batalyon Siliwangi harus segera angkat kaki dari Tanah Pasundan, tempat asal mereka, mengungsi ke Solo dan Yogya. Dalam sulitnya transportasi, perjalanan panjang itu ditempuh dengan berjalan kaki, long march, kadang bersama anak-bini, yang hingga kini sesekali ditapaktilasi. Di tahun-tahun 1980-an, manakala para pelaku sejarah anggota Batalyon Siliwangi itu masih ada di masa-masa tua, cerita-cerita mereka selalu saja membuat sesak di dada.    

Kekecewaan akan pemerintah yang saat itu dikepalai Perdana Menteri Amir Sjarifudin pun segera meluas di kalangan rakyat. Rakyat mendesaknya turun. Amir sadar. Tanpa perlawanan ia meletakkan jabatan.  

Tetapi sebenarnya, sejak awal pun seharusnya perjanjian itu sudah wajib dicurigai. Delegasi Indonesia saat itu dipimpin langsung perdana Menteri, Amir Sjarifuddin sendiri. Sementara dari pihak musuh, Negeri Belanda, yang maju justru Abdulkadir Widjojoatmodjo, seorang putra Indonesia yang diberkarier sebagai pejabat Belanda dan memihak penjajah.  Penempatan Raden Abdulkadir Widjojoatmodjo jelas sebuah siasat Belanda untuk menyerukan kepada dunia bahwa pertikaian sejatinya terjadi di antara orang Indonesia. Sebuah masalah dalam negeri, jadi mengapa masyarakat internasional harus turut serta?

Bila mau merunut waktu ke belakang, keduanya boleh dibilang berada di pihak yang sama: anak-anak buah H.J van Mook, sang– katakanlah, gubernur jenderal terakhir Belanda di Indonesia.

Untuk kasus Amir, hubungan itu tidak bermula dari pendidikan Belanda yang sempat dijalaninya.  Sesaat sebelum invasi Jepang ke Indonesia, Amir yang komunis  berusaha menjalankan garis Komunis Internasional (Komintern) agar kaum kiri menggalang aliansi dengan kekuatan Kapitalis untuk menghancurkan Fasisme (Jepang). Menurut Jacques Leclerc dalam ‘Amir Sjarifuddin: Antara Negara dan Revolusi’,Amir kemudian kaki-tangan ‘gubernur jenderal’ untuk menggalang semua kekuatan anti-fasis dan bekerja sama dengan dinas rahasia Belanda dalam menghadapi serbuan Jepang.

Sebuah dokumen NEFIS (Netherlands Expeditionary Forces Intelligence Service), instansi rahasia yang dipimpin Van Mook, tertanggal 9 Juni 1947, menulis tentang Amir. “Ia mempunyai pengaruh besar di kalangan massa dan orang yang tak mengenal kata takut.” Memang Amir hidup sebagai mitos setelah ia sempat menjalani tahanan Jepang, bahkan menerima putusan mati. Kabar bagaimana ia menghadapi siksaan fisik dan moral yang dijatuhkan Jepang, terutama soal bagaimana ia tertawa ketika para penyiksa menggantungnya dengan kaki di atas, memang tersebar luas.

Apalagi Amir sempat bekerja pada bagian ekspor Departemen Perekonomian yang dikepalai H.J. van Mook, yang pengangkatannya pada jabatan itu disambut hangat Sanusi Pane yang menuliskannya dalam ‘Kebangoenan’. Di tahun 1945 kelak H.J. van Mook kembali ke Jakarta sebagai Letnan Gubernur Jenderal, Amir otomatis berada dalam lingkarannya.

Pada 1948, Amir yang sejatinya boneka Van Mook itu telah memegang kendali kekuasaan RI tertinggi. Wajar bila kemudian ia sendiri yang turun ke gelanggang diplomasi.  Padahal, dalam ‘Out of Exile’ Sjahrir tak segan berbicara sarkastis tentang Amir, yang dilukiskannya tidak lebih sebagai seorang kacung Belanda belaka.

Sementara Raden Abdulkadir Widjojoatmodjo, sudah jelas-jelas seorang ambtenaar karier sejak muda. “Dia dididik untuk dinas kepegawaian dan melewati jenjang jabatan dari tingkat rendah sampai tinggi,” Het Nieuws: Algemeen Dagblad tertanggal 17 Januari 1948 mencatatnya. Sementara Nederlandsche Dagbladpers te Batavia mencatat bahwa pada 1941 Abdulkadir melakukan perjalanan dinas ke Amerika Serikat dan Inggris. Sekembali ke Hindia BelandaIndonesia, ia menjabat ketua Vereniging van Indonesische Ambtenaren (Perhimpunan Pejabat Indonesia). Belakangan, ia bergabung menjadi petinggi Nederlandsch Indië Civil Administratie (NICA), dengan pangkat kolonel. Terang benderang, ia anak buah Van Mook.

Francis Gouda, penulis ‘Indonesia Merdeka Karena Amerika?: Politik Luar Negeri AS dan Nasionalisme Indonesia, 1920-1949’ menulis peran Abdulkadir secara sarkastis. Baginya,”Abdulkadir Widjojoatmodjo—anak didik van Mook yang setia—sebagai ketua komisi yang dibentuk pemerintah Belanda merupakan suatu langkah licik Belanda untuk menguatkan tampilan perseteruan antara Belanda dan Republik Indonesia sebagai urusan keluarga.” Gouda juga mencatat bahwa radio Voice of Free Indonesia (VOPI) menyebut Abdulkadir “bukan orang Indonesia sejati”.

Namun bukan hanya itu pengkhianatan yang dialami Republik selama dan sebelum perundingan Renville. Amerika Serikat, salah satu anggota Komisi Tiga Negara (KTN) yang seharusnya netral, ternyata diam-diam berpihak. Indonesianis asal AS, George McTurnan Kahin, dalam ‘Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia’ mencatat banyak keganjilan dalam manuver AS di perundingan itu.

Pada awalnya, AS sebenarnya satu gerbong dengan Inggris sebagai pihak yang tak menyetujui agresi Belanda. Keduanya juga mengakui kemerdekaan Indonesia secara de facto, meski dukungan itu bukan solusi konflik Indonesia-Belanda.

Sebagai dua raksasa Barat, AS dan Inggris memilih tidak melaksanakan tindakan efektif untuk menghentikan agresi Belanda. Di tahap ini, kecurigaan menyebar di kalangan elit politik Indonesia. Mereka menganggap AS bersikap licik dan sebenarnya memihak Belanda. Mereka juga tak mau mengajukan konflik Indonesia-Belanda ke Dewan Keamanan Persatuan Bangsa-Bangsa (DK PBB).

Harian New York Times edisi 25 Juli 1947 memuat pernyataan Perdana Menteri India Pandit Jawaharlal Nehru. Nehru mempertanyakan,” Apa yang terjadi dengan Piagam PBB? Semangat Asia baru tidak akan toleran dengan hal-hal semacam itu. Tidak satu pun bangsa Eropa mana pun, berhak menggunakan tentaranya terhadap bangsa Asia. Asia tidak bisa terima.”

Justru Australia yang menegaskan Belanda telah melanggar Pasal 39 Piagam PBB dan mendesak keluarnya resolusi agar Belanda-Indonesia menghentikan kontak senjata dan menyerahkan kesepakatan perdamaian pada pihak ketiga—sebagaimana tercantum dalam Perundingan Linggarjati.

AS yang justru menolak usulan tersebut. Sementara Soviet, bersama Polandia mengusulkan agar Belanda mundur dari wilayah-wilayah yang direbut setelah agresi. Bagi Soviet, terlaksananya usulan tersebut akan membuat kedudukan Belanda dan Indonesia menjadi setara selama proses menuju perdamaian. Sayangnya, usulan ini juga ditolak DK PBB.

Alih-alih membantu, pada 9 Oktober 1947 AS justru mengirim wakilnya ke DK PBB yang mendukung penolakan Belanda untuk mundur. Dalihnya, hal itu akan “melanggar Piagam PBB dengan kemungkinan mencurigai hak masing-masing pihak dalam pertikaian itu.”

RI saat itu menduga, Menlu AS George Marshall sebenarnya telah berunding dengan van Mook saat sang gubernur jenderal de facto itu berkunjung ke Washington, September 1947. Memang tersiar kabar bahwa Marshall menolak rencana van Mook untuk menghancurkan sisa-sisa Indonesia. Namun, sikap AS selama perundingan di DK PBB memperlihatkan bahwa AS cenderung mendukung Belanda.

“Lebih-lebih, pada umumnya orang Indonesia merasa bahwa serangan militer Belanda melawan Republik (Indonesia), tidak dapat terlaksana tanpa perlengkapan militer dari Amerika dan Inggris,” demikian catatan Kahin. Wajar bila Kantor Berita Nasional Antara pada 12 November 1947 memuat pidato Wakil Menteri Perekonomian dan Ketua Partai Katolik Indonesia, Mr. IJ Kasimo. Dalam pidato di hadapan anggota parlemen Indonesia itu Kasimo menyatakan, “Amerika Serikat yang jelas pilih kasih” kepada Belanda. Itu sebelum perundingan.

Di akhir proses perundingan yang digelargeladak kapal perang AS USS Renville, manakala RI cenderung akan tetap menolak usulan Belanda, Wakil AS di Komisi Tiga Negara (KTN), Dr. Frank Graham, menekan Indonesia. Ia menegaskan bahwa Indonesia harus menerima syarat-syarat yang diajukan Belanda. Jika mau, pemerintah AS lebih mungkin untuk membujuk Belanda benar-benar menepati isi perjanjian final. Jika menolak, pemerintah AS tak akan berusaha keras menahan Belanda menggunakan senjata.

Kita tahu, Indonesia akhirnya menyetujui gencatan senjata berdasarkan Garis van Mook dan tuntutan-tuntutan Belanda lainnya yang merugikan. Pemerintah Amir Sjarifuddin pun jatuh, dan membuat sang Perdana Menteri bergabung dalam Pemberontakan Muso, setahun kemudian. Perjanjian Renville juga menjadi sebab utama meletusnya pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia di Jawa Barat, yang diikuti banyak daerah lainnya di Indonesia.  

Tapi tak hanya Republik yang kemudian cedera. Para pelaku utama perundingan pun seolah hilang berkah. Amir Sjarifuddin, setelah bergabung dalam Pemberontakan Muso di Madiun, tertangkap TNI. Setelah sempat diarak keliling Yogya, pada tahun itu pula ia ditembak mati. Konon atas suruhan Kolonel Gatot Subroto.

Sementara Abdulkadir Widjojoatmodjo, setelah Konferensi Meja Bundar sempat pulang ke Indonesia. Selama 17 tahun kemudian ia tinggal di Jalan Surabaya, Jakarta, hidup di tengah tudingan warga sebagai pengkhianat bangsa.   

“Selama sekitar 17 tahun [Abdulkadir] berada dalam keadaan sulit di Indonesia. Lalu dia datang sakit dan kelelahan ke Belanda,” tulis Handelsblad edisi 8 Januari 1993, setelah kematian Abdulkadir. Didera usia tua dan sakit, ia memang tetirah ke Belanda, dan meninggal pada 24 Desember 1992, dalam usia 87 tahun.[]

Back to top button