Solilokui

Selain Rendang, Apa Perang Dagang Orang Minang?

Apakah posisi Minang dalam keseluruhan perang itu?  Tentu kita bisa bertanya kepada Audrey Kahin, istri dari George Mc Turnan Kahin. Simpulan Audrey, (orang Minang berubah) dari kaum pemberontak (pembangkang) menjadi kaum integrator.

Oleh   : Indra Jaya Piliang*

JERNIH– Sumatera Barat sudah melewati berbagai perang. Sumatera Barat, dari segi perang etnografis, sudah selesai dalam adegan adu kerbau betina Majapahit versus anak kerbau baru menyusui bertanduk runcing Pagaruyung, pada abad ke 13.

Perang bersenjata moderen, berhenti dengan kehadiran senjata-senjata yang dibeli dari Kesultanan Turki Utsmani, pada abad ke 16. Perang ideologis, sudah pula berakhir dengan Bukit Marapalam Agreement pada 1840-an.

Indra J Piliang

Perang sipil (civil war), berbentuk Perang Belasting 1908, Perang Silungkang – Sawalunto 1926, hingga PRRI yang dipasok senjata-senjata terbaru kiriman CIA-ASIO dalam bab akhir kekuasaan Presiden Sukarno.

Apakah posisi Minang dalam keseluruhan perang itu?  Tentu kita bisa bertanya kepada Audrey Kahin, istri dari George Mc Turnan Kahin. Simpulan Audrey, (orang Minang berubah) dari kaum pemberontak (pembangkang) menjadi kaum integrator.

Lalu, apa yang belum selesai?  Gerilya ekonomi, dalam terminologi Gerpolek Tan Malaka. Jauh lebih lama, banyak, dan dalam, Tan hidup dan belajar ekonomi, ketimbang tentang politik, geostrategis, hingga ideologi. Tetapi, peristiwa Kediri membuat ideolog tunggal pergerakan ini terkubur tanpa nisan.

Pikiran-pikiran gerilya ekonomi Tan Malaka tak sempat diurai panjang, sebagaimana nukilan pemikiran yang lain. Tan seakan sosok yang imun dari pikiran-pikiran terkait ekonomi.

Bagaimana bisa? Bukankah Das Kapital atau Manifesto Komunisme bicara tentang ekonomi, perjuangan kelas, alat-alat produksi, ghazwul fikri (perang pemikiran), penguasaan laut dan akses atas laut, dan segala macam masalah perut lain, walau disampaikan dalam diksi ideologi.

Rendang, saya tidak tahu, sejak kapan menjadi ikon Minangkabau. Dokumen mana yang bisa dijadikan rujukan. Keputusan Gubernur-kah, Peraturan Daerah-kah, atau Peraturan Nagari-kah? Yang jelas, rendang hadir meruak ke seluruh area, ketika terjadi bencana alam. Sumbar tak mengirim beras, pasukan Bujang Selamat yang terlatih, perahu dari kayu hitam yang sangat kuat asal Mentawai, rakit terbuat dari bambu makai yang direndam di dalam lumpur, sehingga membangkitkannya butuh ritual adat dan petatah-petitih.

Ya, sudah pasti saya tidak suka rendang. Makanan utama saya sejak kecil, ikan. Bukan saja ibu saya orang pesisir, Pariaman, tetapi ayah saya yang terutama menjadi pemberi titah: orang Jepang cerdas, karena konsumsi yang tinggi atas ikan. Hampir tiap pekan, pada hari Sabtu, ayah berpakaian putih-putih – sebagai Aparatur Sipil Negara-–menyangkutkan tuna-tuna besar di motor Honda paling mentereng di Kota Pariaman, masuk kampung kami. Etek, Emak, dan Anduang se-kampung kecil itu heboh memasaknya. Kampung Tangah dengan lima rumah induk, seperti kenduri mingguan.

Rendang?  Bagian dari ritual. Benar, sekali setahun, sehari sebelum lebaran, guna kebutuhan Ratib Patang Bantai.

Saking tingginya nilai spiritual rendang, ibu pernah bercerita, betapa ada emak-emak yang memotong payudaranya sendiri, demi memasak rendang untuk anak-anaknya di malam takbiran itu. Tambah mengerikan dan berdarahlah rendang di mata saya.

Tapi, tunggu dulu, rendang apa?  Tentu rendang dari sapi atau kerbau yang dikenal umum yang saya maksud.

Bukan tidak ada rendang yang lain, yakni rendang ikan tuna, rendang ikan hiu, rendang jengkol, rendang cempedak, bercampur dengan kentang kecil. Bagian yang paling enak dari rendang ikan tuna yakni yang paling hitam. Apalagi kalau Inyiak Atah, nenek saya asal Kaki Gunung Marapi, menyimpan sampai berbulan-bulan hingga tumbuh cendawan (jamur). Seluruh bumbu alam raya, masuk ke dalam daging rendang dari ikan laut Samudera Hindia, serasa langit dan bumi ditelan jadi satu di jakun.

Tatkala melongok pada kisah ini, ternyata rendang tak bersua dalam – minimal – sejarah masyarakat pesisir Sumatera Barat. Akan tetapi, masyarakat bumi seakan sudah sepakat, bahwa restoran Padang yang ada di bulan, sudah pasti bermenu rendang.

Nah, dalam gerilya ekonomi ke depan, selain rendang, apalagi yang diperdagangkan oleh orang Minang?

It’s economy, stupid! Begitu kira-kira, seluruh akhir dari kapitalisme, akhir sejarah. Mulailah membuat daftar pendek, apa yang mau diajukan dalam perang dagang ini oleh orang-orang Minang. Dan terutama, kaum mudanya. [ ]

*Pernah dagang sate Padang di Pancoran, Glodok

*Tulisan ini saya persembahkan dalam menyambut Musyawarah Anggota Relawan Alang Babega, 19 Juni 2022, di Gedung Saiyo Sakato, Kota Pariaman.

Back to top button