Ekonom Achmad Nur Hidayat menyatakan tidak adil jika Permendag 8/2024 dianggap sebagai pemicu runtuhnya Sritex. Menurut Achmad, industri tekstil nasional menghadapi berbagai tantangan berat, salah satunya adalah tingginya biaya produksi, termasuk harga listrik dan bahan baku. Di negara-negara seperti Vietnam dan Bangladesh, biaya produksi jauh lebih rendah, yang membuat produk mereka lebih kompetitif di pasar global.
JERNIH– Beberapa waktu terakhir, muncul pemberitaan bahwa kebangkrutan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) disebabkan oleh Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 8 Tahun 2024. Namun, sejumlah ahli menilai pandangan tersebut terlalu simplistis dan tidak tepat. Kendati beberapa pengusaha tekstil merasa terdampak, para pakar menjelaskan, pailitnya Sritex lebih dipengaruhi faktor-faktor kompleks yang terjadi jauh sebelum Permendag 8/2024 diterapkan.
Permendag 8/2024 sebenarnya adalah revisi dari Permendag 36/2023. Fokus peraturan ini adalah pengendalian impor barang tekstil dengan tujuan melindungi industri dalam negeri dari produk asing yang membanjiri pasar domestik. Permendag 8/2024 baru berlaku Mei 2024. Para pakar menggarisbawahi bahwa kondisi finansial Sritex telah mengalami banyak tantangan berat, bahkan sebelum peraturan ini diberlakukan.
Ekonom dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, misalnya, menekankan bahwa permasalahan industri tekstil lokal tidak hanya soal regulasi baru, tetapi lebih banyak terkait tantangan lama yang belum terselesaikan, seperti tingginya harga energi dan bahan baku yang memengaruhi daya saing. Ia menyoroti perlunya subsidi energi atau insentif lain untuk meringankan beban produsen tekstil dalam negeri, agar mampu bersaing lebih baik di pasar global. Hal itu, menurutnya, akan lebih efektif dalam menciptakan lingkungan usaha yang stabil dan berdaya saing tinggi.
Opini yang tak adil
Achmad Nur Hidayat juga menyatakan tidak adil jika Permendag 8/2024 dianggap sebagai pemicu runtuhnya Sritex. Menurut Achmad, industri tekstil nasional menghadapi berbagai tantangan berat, salah satunya adalah tingginya biaya produksi, termasuk harga listrik dan bahan baku. Di negara-negara seperti Vietnam dan Bangladesh, biaya produksi jauh lebih rendah, yang membuat produk mereka lebih kompetitif di pasar global.
“Pemerintah bisa membantu menurunkan biaya produksi dengan subsidi energi atau insentif bagi produsen tekstil agar dapat bersaing lebih baik di pasar,” ujar Achmad.
Selain itu, Achmad juga menyoroti masalah akses bahan baku berkualitas yang kerap dihadapi produsen tekstil dalam negeri. Banyak perusahaan tekstil Indonesia terpaksa mengimpor bahan baku, karena kualitas bahan lokal sering tidak memenuhi standar. “Pemerintah bisa mendukung pengembangan industri bahan baku dalam negeri atau memperkuat kerja sama dengan pemasok lokal untuk mengurangi ketergantungan pada impor,” kata dia.
Sependapat dengan Achmad, Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, Dedi Irawan, menilai tuduhan Permendag 8/2024 sebagai penyebab pailitnya Sritex tidaklah benar. Dedi mengingatkan, kondisi finansial Sritex sudah bermasalah jauh sebelum regulasi tersebut diterapkan. “Sulit membayangkan perusahaan sebesar Sritex bisa hancur hanya karena peraturan yang baru berumur lima bulan,”ujar Dedi dalam sebuah wawancara dengan media. “Ini lebih terkait dengan kesalahan manajemen.”
Demikian pula pandangan ekonom dari Indef, Ahmad Heri Firdaus. Menurut Ahmad, dampak dari Permendag 8/2024 boleh jadi ada. Namun, itu tentu bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan kebangkrutan Sritex. “Kita perlu melihat latar belakang dari masalah-masalah yang menumpuk di sektor tekstil, termasuk persaingan dengan produk impor murah dan manajemen perusahaan,” kata Ahmad.
Menurut Ahmad sebagaimana dikutip beberapa media massa, pengendalian impor memang dapat melindungi produsen dalam negeri, namun juga bisa menjadi tantangan bagi pelaku usaha yang masih bergantung pada bahan baku impor. Karena itu ia mengajak semua pihak melihat masalah kebangkrutan Sritex itu perspektif yang lebih luas, bukan justru menjadikan Permendag 8/2024 sebagai kambing hitam.
Tantangan manajerial dan tekanan eksternal
Berdasarkan catatan Bursa Efek Indonesia (BEI), Sritex tercatat memiliki utang sebesar Rp 12,7 triliun ke 28 bank, yang menambah tekanan pada perusahaan ini. Dedi Irawan menilai, kondisi keuangan tersebut menuntut tim manajemen yang kuat. Rencana diversifikasi lini bisnis seperti produksi alat pelindung diri (APD) dan masker kain pada awal tahun 2024, meskipun berpotensi, membutuhkan investasi besar hingga Rp 280,5 miliar, yang turut menambah beban keuangan Sritex.
Seakan menyimpulkan, Direktur Center for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi, menyatakan masalah kebangkrutan Sritex perlu dilihat lebih luas. Ia menggarisbawahi pentingnya kebijakan yang mendukung efisiensi biaya produksi agar industri tekstil dapat bertahan dalam persaingan global. Menurut Uchok, pemerintah perlu meninjau kembali kebijakan-kebijakan terkait untuk memastikan iklim usaha yang kondusif bagi para pelaku industri tekstil lokal. Senyampang itu, pemerintah bisa memberikan dukungan lebih besar lagi pada sektor tekstil. Misalnya dengan memberikan subsidi energi atau pengembangan bahan baku lokal, guna membantu industri lokal berdaya saing tinggi di pasar global. [ ]