Veritas

Polling Yang Kian Membuat Trump Resah Gelisah Gundah

Jumlah orang yang berpikir bahwa di tangan Trump negara sedang menuju ke arah yang salah– pada semua sektor, kian bertambah.

Oleh   : John Cassidy

Dalam beberapa minggu terakhir, ketika protes atas pembunuhan George Floyd telah mengguncang negara, sejumlah jajak pendapat menunjukkan Donald Trump  kini menjadi buntut di belakang pilihan untuk Joe Biden dalam perebutan kursi kepre-sidenan. Sebuah survei CNN yang dirilis Senin (8/6) lalu menempatkan Biden unggul 14 persen poin— sebuah temuan yang oleh Trump di Twitter disebut sebagai,” “PALSU, sama dengan laporan mereka.”

Setelah apa yang terjadi pada 2016, sangat penting untuk menafsirkan hasil jajak pendapat dengan hati-hati. Tetapi gertakan Presiden tidak bisa menyembunyikan fakta bahwa kaum Republikan semakin khawatir tentang apa yang sedang terjadi. Berikut adalah beberapa tanda buruk bagi Trump, yang mengejutkan saya setelah sempat menghabiskan beberapa waktu menggali basis data pemungutan suara yang tak ternilai, yang dikelola oleh RealClearPolitics (RCP) dan FiveThirtyEight.

Dalam dua bulan terakhir, Trump belum memimpin jajak pendapat nasional. Basis data pemilihan umum FiveThirtyEight berisi hasil ratusan survei, dan yang terakhir menunjukkan secara nasional Trump berada di depan Biden saat polling dilakukan oleh Change Research pada 2 dan 3 April. Saat itu Bernie Sanders masih bersaing di Primary Demokrat. Kembali pada tahun 2016, Trump juga mengekor Hillary Clinton di sebagian besar survei nasional.

Tetapi, selama periode dua bulan, dari 9 April hingga 9 Juni tahun itu, Trump memimpin lima dari jajak pendapat yang ada, termasuk jajak pendapat di bulan Mei yang digelar ABC News/Washington Post yang mendapat sedikit perhatian. Sejak awal April tahun ini, setiap jajak pendapat nasional tunggal dalam database FiveThirtyEight, termasuk beberapa yang cenderung mendukung Partai Republik, menunjukkan Biden selalu di depan.

Biden tumbuh memimpin. Dua bulan lalu, rata-rata jajak pendapat RCP menunjukkan mantan Wakil Presiden itu memimpin Trump dengan 6,3 persen poin secara nasional. Sejak Senin, Biden telah unggul delapan persen poin. Selama satu setengah pekan terakhir, empat survei menunjukkan Biden unggul dua digit. Tiga di antaranya– dari Monmouth University, ABC News/Washington Post, dan CNN, seluruh atau sebagian dilakukan melalui telepon yang dianggap sebagai metode yang lebih andal daripada survei online. Dua survei telepon terbaru lainnya — dari NBC News / Wall Street Journal dan Marist College/NPR/PBS — menunjukkan Biden unggul tujuh poin.

Trump sedang berjuang untuk mempertahankan dukungan pemilih yang lebih tua. Pada 2016, Trump membawa pemilih usia 65 atau lebih, dengan tujuh persen poin, menurut exit polls. Keuntungan ini memungkinkannya mengatasi kemenangan Clinton dengan empat belas persen poin di antara pemilih berusia 44 tahun ke bawah. Mengingat Trump sangat tidak populer pada pemilih muda saat ini, sangat penting baginya untuk mempertahankan dukungan dari orang-orang tua Amerika. Sebuah survei Economist/YouGov menunjukkan Biden membuntuti Trump dengan hanya tiga poin di antara pemilih berusia 65 lebih tua, sementara jajak pendapat Monmouth menunjukkan Biden unggul empat poin pada warga senior. Tampaknya penanganan pandemic Covid yang dilakukan Trump belum mengesankan kalangan orang-orang yang paling rentan terhadap penyakit tersebut.

Ada lebih banyak bukti independen yang menentang Trump. Menurut jaringan exit poll pada tahun 2016, Presiden mencetak kemenangan tipis atas Clinton di antara beberapa jajak pendapat independen. Jajak pendapat Economist/YouGov terbaru menunjukkan bahwa Biden memegang dua poin dalam demografi ini, dan ada bukti lain yang menunjukkan bahwa reaksi Trump terhadap virus corona dan rangkaian protes terhadap kebrutalan polisi, telah merusak posisinya.

Dalam survei Marist/NPR/PBS, 43 persen kalangan independen mengatakan, mereka sangat tidak setuju dengan kinerja pemerintahan Trump, atau naik dari 33 persen pada Maret. Hampir tiga perempat independen mengatakan bahwa reaksi Trump terhadap protes telah meningkatkan ketegangan.

Jumlah orang yang berpikir bahwa di tangan Trump negara sedang menuju ke arah yang salah– pada semua sector, kian bertambah. Pesimisme massal bukanlah hal baru. Selama beberapa dekade terakhir, orang Amerika secara konsisten mengatakan kepada lembaga survei bahwa mereka menganggap negara “berada di jalur yang salah” daripada “di jalur yang benar.”

Namun, sejak awal Maret, ketika pandemi mulai terjadi, penilaian mereka menjadi lebih gelap. Pada 28 Februari, menurut rata-rata jajak pendapat RCP, 40,2 persen orang Amerika berpikir negara berada di jalur yang benar, dan 54,5 persen berpikir negara telah salah arah. Pada Selasa lalu, jumlahnya 27,1 persen untuk jalur yang benar, dan 66,9 persen untuk jalur yang salah. Angka terakhir adalah yang tertinggi yang kami lihat sejak Trump berkuasa, dan telah meningkat dalam dua minggu terakhir.

Jajak pendapat di negara-negara bagian utama juga hanya membuat Trump resah. Data base RCP database mencantumkan 13 negara bagian sebagai medan pertempuran: Arizona, Florida, Iowa, Michigan, Minnesota, Nevada, New Hampshire, Carolina Utara, Ohio, Pennsylvania, Texas, Virginia, dan Wisconsin.  Menurut rata-rata polling RCP, Trump memimpin hanya di tiga negara bagian ini — Iowa, North Carolina, dan Texas — dan hanya di Iowa keunggulannya lebih dari tiga persen poin. Di Arizona, Florida, dan Ohio, yang semuanya dimenangkan Trump pada 2016, Biden sedikit memimpin di depan. Dan di Michigan, yang merupakan kunci utama kemenangan Trump pada 2016 di Electoral College, jajak pendapat baru yang dirilis Senin lalu menunjukkan Biden menggandakan keunggulannya, menjadi dua belas persen poin, dibandingkan dengan survei yang dilakukan oleh polling yang sama, EPIC-MRA, pada Januari lalu.

Akhirnya, dibandingkan dengan titik ini pada 2016, Biden jauh lebih tidak populer daripada Clinton. Dalam retrospeksi, kemenangan Trump atas Clinton sebagian besar didasarkan pada keberhasilan yang Trump dan para Republikan lainnya lakukan dengan menyerang personal Hillary sejak awal dan terus meningkatkan sentimen negatif tentangnya. Pada 10 Juni 2016, peringkat kesukaan Clinton di rata-rata jajak pendapat RCP hanya 38,3 persen, dan peringkat ketidaksukaannya justru 55,7 persen.

Setidaknya sejauh ini Biden telah terbukti lebih sulit dikalahkan Trump dan para Republikan. Peringkat kesukaannya tercatat 44,3 persen, dan peringkat ketidaksuka-annya 45,7 persen. Dengan menggabungkan angka-angka ini, ada perbedaan besar antara angka bersih Biden yang negatif 1,4 persen dan Clinton yang minus 17,4 persen. Biden juga jauh lebih populer daripada Trump, yang memiliki peringkat kesukaan 41,3 persen dan peringkat tidak menguntungkan 54,5 persen. Peringkat bersih itu minus 13,2 poin.

Penting untuk menekankan bahwa tidak ada temuan yang menyiratkan bahwa Trump DIPASTIKAN akan kalah di bulan November. Banyak yang bisa berubah dalam lima bulan, atau bahkan dalam periode yang lebih singkat. Pada 25 Juni 2016, RCP nasional menunjukkan Trump membuntuti Hillary Clinton sebesar 6,6 persen poin. Hingga paruh pertama Oktober, jajak pendapat menunjukkan Clinton memimpin enam hingga delapan poin, selisih yang akan menjamin kemenangan nyaman di Electoral College serta pemilihan umum. Pada Hari Pemilu, Clinton memenangkan suara populer dengan 2,1 persen poin, dan Trump membawa Electoral College, 304 ke 227.

Mencoba mengulangi hasil itu, manajer kampanye Trump masih akan nyaman melihat fakta bahwa pemungutan suara Biden di Pennsylvania dan Wisconsin — dua negara bagian Rust Belt yang memastikan kemenangan Trump’s Electoral College pada 2016 — begitu kecil, yakni hanya 3,3 persen poin dan 3,4 persen poin, sebagaimana hasil jajak pendapat RCP.

Mereka juga dapat menunjuk data yang menunjukkan bahwa, terlepas dari resesi yang disebabkan oleh coronavirus, sejumlah besar orang Amerika masih memandang positif Trump ketika berbicara tentang ekonomi. Dalam jajak pendapat Wall Street Journal/NBC News terbaru, misalnya, 48 persen responden mengatakan bahwa mereka mempercayai Trump atas Biden untuk mengurangi tingkat pengangguran dan membuat orang kembali bekerja, dibandingkan dengan 35 persen yang mengatakan mereka lebih percaya Biden dibanding Trump.

Temuan-temuan seperti ini menjelaskan, mengapa–menurut Axios, para juru kampanye Trump telah “menetapkan tema” lama, yakni “Kembalinya Kebesaran Amerika”. Jika ekonomi pulih dengan cepat dalam beberapa bulan mendatang, dan re-open kembali tidak memicu gelombang besar infeksi kedua— dua hal yang tidak diketahui, tentu saja — iklim politik bisa berubah. Skenario ini akan memberikan harapan kepada Partai Republik, bahwa mereka masih bisa membalikkan keadaan pada 3 November nanti. Namun pada saat ini, kondisi Trump tengah sangat goyah. [The New Yorker]

John Cassidy, staf penulis di The New Yorker sejak 1995.

Back to top button