Vaksin Covid-19 Perlu Direvisi Seandainya Mutasi Virus Mengganas
Peneliti David Ho dari Columbia University melakukan uji sampel darah orang yang sudah mendapat vaksinasi BioNTech/Pfizer atau Moderna dengan virus mutasi Afrika Selatan di laboratorium. Hasilnya, antibodi yang dipicu vaksin masih tetap melindungi, tapi dengan efikasi lebih rendah.
JERNIH–Virus terus-menerus melakukan mutasi dan mencari kombinasi yang tepat dalam mutasi parsial, untuk meloloskan diri dari efek vaksinasi. “Optimasi vaksin bukan segampang membalik telapak tangan dan terjadi cuma dalam waktu semalam”, ujar Richard Webby, direktur World Health Organization Flu Center di St. Jude Children’s Research Hospital di Memphis, AS.
Hasil riset teranyar meningkatkan kekhawatiran, vaksin Covid-19 generasi pertama tidak akan ampuh lagi melawan varian virus mutasi Afrika Selatan maupun varian mutasi lainnya yang bersirkulasi secara global.
Kabar baiknya, banyak vaksin Covid-19 dibuat dengan teknologi terbaru yang sangat fleksibel dan memudahkan revisi atau upgrade. Tapi tetap ada kendala, yakni menentukan apakah virus sudah melakukan mutasi cukup jauh, dan apakah sudah tiba saatnya melakukan modifikasi vaksin? Dan perubahan apa yang harus dilakukan?
“Pertanyaannya, kapan saatnya kita menarik pelatuknya?” tanya Norman Baylor, mantan direktur urusan vaksin Food and Drug Administration (FDA) AS. “Saat ini virusnya ibarat sasaran tembak yang terus bergerak,” kata dia.
Vaksin influenza jadi model
WHO dan FDA kini melirik sistem pembuatan vaksin flu global untuk mengambil keputusan, terkait update vaksin corona. Virus influenza melakukan mutasi lebih cepat dibanding virus corona, dan vaksin flu harus direvisi setiap tahun. Pusat kesehatan nasional di seluruh dunia mengumpulkan sampel virus flu yang sedang bersirkulasi, dan melacak bagaimana mutasinya.
Sampel kemudian dikirimkan ke laboratorium yang ditetapkan oleh WHO, untuk melakukan uji antigen lebih spesifik dan menentukan kekuatan vaksin. WHO dan lembaga regulasi obat-obatan kemudian menyepakati resep vaksin untuk tahun bersangkutan. Setelah itu produsen vaksin bisa mulai bekerja.
“Untuk vaksin Covid-19 juga harus diambil langkah kritis guna memantapkan jaringan monitoring dan uji coba,”kata Webby. Saat ini masih ada variabel geografis amat lebar untuk melacak dan menguji varian mutasi virus corona. Sebagai contoh, pakar flu dari AS itu merujuk data, Inggris melakukan lebih banyak uji sampel dibanding AS.
Efikasi vaksin bisa merosot
Tiga varian mutasi corona yang sudah ditemukan, masing-masing varian Inggris, Afrika Selatan dan Brazil amat mencemaskan para ahli kesehatan. Pasalnya ketiga varian itu bisa melakukan kombinasi atau mutasi silang yang membuat virusnya makin berbahaya.
Para pakar kesehatan menyebutkan, walaupun virus lebih mudah menular, bukan berarti secara otomatis vaksin yang ada tidak lagi ampuh. Tapi varian Afrika Selatan, misalnya, memicu lebih banyak kekhawatiran. Peneliti David Ho dari Columbia University melakukan uji sampel darah orang yang sudah mendapat vaksinasi BioNTech/Pfizer atau Moderna dengan virus mutasi Afrika Selatan di laboratorium. Hasilnya, antibodi yang dipicu vaksin masih tetap melindungi, tapi dengan efikasi lebih rendah.
Juga uji pembanding dengan kandidat vaksin Novavax dan Johnson & Johnson, menunjukkan hasil serupa. Antibodi masih tetap mampu melindungi, tapi dengan efikasi lebih rendah. “Jika virusnya melakukan lagi mutasi tambahan, maka tingkat keampuhan vaksin akan semakin lemah”, ujar Ho memperingatkan.
Revisi resep vaksin
“Jika orang yang sudah divaksinasi lengkap mulai terinfeksi ulang dan harus dirawat di rumah sakit akibat virus mutasi, itu berarti garis batas aman sudah terlewati”, ujar Dr. Paul Offit, pakar vaksin dari Children’s Hospital of Philadelphia yang menjadi konsultan FDA. Itu memang belum terjadi, tapi kita harus sudah siap-siap, tambahnya.
Moderna kini sedang melakukan opsi baru. Apakah dosis ketiga mampu mendongkrak imunitas hingga mencukupi untuk melawan sejumlah varian mutasi. “Ini gagasan bagus untuk melakukan uji klinis, karena orang yang sudah divaksin masih memiliki tingkat antibodi cukup tinggi”, ujar Ho dari Columbia University.
Produsen vaksin kenamaan kini juga sedang mengembangkan varian vaksin eksperimen, untuk antisipasi. Vaksin buatan BioNTech/Pfizer dan Moderna dibuat dengan teknologi baru mRNA, berupa bagian kode genetika yang melatih tubuh memproduksi antibodi virus corona. Untuk update vaksin, para ilmuwan tinggal mengubah bebannya, dengan kode genetika virus mutasi.
Generasi pertama vaksin Covid-19 sudah diuji klinis pada puluhan bahkan ratusan ribu responden selama beerapa bulan, untuk memastikan efikasi maupun keamanannya. “Mengubah resep vaksin untuk lebih baik menyasar virus mutasi, tidak perlu lagi mengulangi prosedur uji klinis dengan puluhan ribu orang”, ujar Dr. Peter Marks, direktur urusan vaksin FDA kepada American Medical Association. Cukup pada ratusan orang, untuk melihat apakah ampuh dan memicu respons antibodi kuat. [AP/Deutsche Welle]