Penyendirian (uzzlah) dan hidup menyendiri bukanlah hal yang penting dalam tasawuf. Dengan kata lain, ia justru bukan merupakan latihan yang mengantarkan kepada kesempurnaan spiritual. Ia hanyalah perintah untuk menyembuhkan ketidakseimbangan yang sifatnya temporer.
JERNIH—Kaum sufi memandang sikap statis dan malas sebagai malapetaka. Mereka mengerahkan segenap kemampuan untuk mengabdi kepada masyarakat tempat mereka tinggal. Dengan demikian, secara lahir mereka mengabdi kepada makhluk Allah sekaligus pula hanya disibukkan oleh Allah semata.
Seperti diungkapkan Hafizh:
“Sucikan dirimu, lalu datanglah
ke ‘kedai kehancuran’..”
‘Kedai Kehancuran’ adalah peniadaan diri di dalam Allah (fana’), yang dipandang sebagai bagian dari tahap akhir tasawuf, yakni hakikat (haqiqah).
Seperti juga pernah diungkap Sa’di, penyair dari Ghulistan:
“Pernahkah engkau mendengar tentang seseorang
Yang ketiadaan dan keberadaannya menyatu?
Itulah aku, yang berada dalam kerumunan
Sedangkan hatiku terbang ke tempat lain..”
Latihan terberat bagi kaum sufi adalah hidup secara harmonis di tengah-tengah umat manusia. Ini dipandang sebagai sebuah tanda kesempurnaan manusia. Sebaliknya, orang yang tak mampu mencapai keharmonisan itu dipandang sebagai bercacat. Menurut kaum sufi, kesempurnaan hanya dapat dicapai di dalam masyarakat.
Dalam hal inilah ungkapan ‘perjalanan batin dan perbuatan lahir’ digunakan, yang menunjukkan bahwa perjalanan spiritual tidaklah cukup untuk mengantarkan seseorang menuju kesempurnaan. Kesempurnaan hanya dapat diwujudkan ketika perbuatan seseorang selaras dengan makhluk ciptaan Allah dan ketika wujud batin seseorang hanya terarah semata-mata kepada Allah.
Sufi tidak hanya baik dan setia kepada orang lain, namun ia juga tidak terusik oleh perilaku mereka yang hanya mementingkan diri sendiri. Masyarakat adalah ujian kesempurnaan bagi kaum sufi—kapan pun dia terusik dan bertindak mencela perilaku yang ditujukan kepadanya, maka ia terjerumus ke dalam perbuatan maksiat.
Seperti yang dituturkan Hafizh:
“Kami bersabar atas celaan dengan rasa bahagia, seraya
tetap beriman,
Sebab mencela perbuatan orang lain
Adalah kemaksiatan di jalan Sang Kekasih”
Orang yang tidak menyadari perbuatan ini terjerumus ke dalam kemusyrikan, karena dia memandang Allah dan dirinya sendiri sebagai dua entitas yang berbeda.
Dengan kata lain, kaum sufi tidak mengasingkan diri dari masyarakat dan menjalankan kehidupan menyendiri. Ketika orang-orang mengatakan bahwa kaum sufi mengamalkan zuhud dan menolak masyarakat, haruslah dipahami bahwa hanya jika si guru menangkap gejala ketidakseimbangan jiwa dalam diri si murid sehingga dia mewajibkan penyendirian dan juga berpantang makanan. Pengaturan seperti itu berhenti setelah si murid memulihkan keseimbangannya.
Dengan demikian, penyendirian dan hidup menyendiri bukanlah hal yang penting dalam tasawuf. Dengan kata lain, ia justru bukan merupakan latihan yang mengantarkan kepada kesempurnaan spiritual. Ia hanyalah perintah untuk menyembuhkan ketidakseimbangan yang sifatnya temporer.
Sebenarnya, karena mengabdi kepada orang lain dan memusatkan perhatian kepada Allah membutuhkan tenaga, kaum sufi tahu benar bahwa sikap berpantang itu dibutuhkan. Tetapi berpantang makan itu sendiri bukanlah nilai. Ia hanya merupakan penggunaan tenaga yang mengandung makna.
Menurut kata-kata Jalaluddin Rumi:
“Seseorang makan dan mengubah pemeliharaan diri
menjadi cahaya Ilahi
Yang lain makan dan menambah ketamakan dan rakus diri.” [ ]
Sumber : “In the Paradise of Sufis”, Syekh Dr Javad Nurbakhsy