Depth

Hari Ini, Mereka Mengenang Pertempuran Bulge

Brussels — Hari, 75 tahun setelah bukit-bukit berhutan lebat Ardenes menjadi saksi bisu titik balik Perang Dunia II, sejumlah pemimpin berkumpul untuk memberi penghormatan kepada mereka yang tewas dalam Pertempuran Bulge, atau Battle of Bulge.

Seorang raja, grand duke, dua presiden, dua perdana menteri, dan satu perwira militer AS, mengheningkan cipta untuk orang-orang yang membebaskan Belgia dan Luksemburg dari pendudukan Jerman.

Battle of Bulge adalah ofensif Jerman terakhir dalam Perang Dunia II. Di Bastogne, penerjun pasung AS bertahan, dan bertempur heroik. Kisah pertempuran ini beberapa kali diangkat ke dalam film dan ditulis dalam buku.

Sejarawan, veteran, dan penggemar militer, tak lelah bercerita ulang tentang pertempuran jarak dekat paling legendaris di kelebatan hutan bersalju.

Di Bastogne, Jenderal George Patton — perwira tua dan bernyali besar — membangun reputasinya. Ia mengakhiri pengepungan Bastogne, dan menyelamatkan penerjun payung AS yang terjebak.

Namun pasukan terjun payung dari Airborne ke-101 juga mengklaim kemuliaan dalam pertempuran itu. Selama sepakan tanpa henti mereka menahan gerak maju panser Jerman.

“Ini perjalanan luar biasa,” kata Menteri Pertahanan (Menhan) AS Mark Esper. “Saya bertugas di Airborne ke-101 dan terlibat dalam pertempuran ini.”

Esper adalah perwira Screaming Eagles selama Perang Teluk 1991. Ia menerima medali untuk perannya mengusir pasukan Irak dari Kuwait.

Menurut Esper, hanya sedikit orang AS yang tahu Pertempuran Bule. “Ini pertempuran terakhir pada Perang Dunia II,” katanya kepada wartawan.

Bastogne adalah kota dekat perbatasan Luksemburg dan berada di sisi perbukitan Ardennes. Di kota inilah peringatan difokuskan.

Pada 16 Desember 1944, Jerman — yang mundur sebelum sekutu memasuki Prancis setelah pendaratan D-Day — melakukan serangan balik. Tujuannya, merebut pelabuhan Antwerpen agar bisa mencegah sekutu memasok pasukan.

Empat hari kemudian pasukan terjun payung AS yang bersenjata ringan terkepung. Seorang jenderal Jerman, yang berbicara dari atas panzer, mengimbau mereka menyerah.

Pasukan terjun payung AS menjawab dengan satu kata; “Nuts”. Jerman mengepung Bastogne selama sepakan, samai tentara Jenderal Patton datang menyelamatkan.

Raja Philippe dari Belgia dan PM Belgia Sophie Wilmes bergabung di Mardasson Memorial, bersama Mark Esper dan Presiden Jerman Frank-Walter Steinmeier.

Presiden Polandia Andrzej Duda tiba belakangan, bersama utuan dari Inggris, Kanada, dan Prancis.

Mereka akan berkonvoi melintasi perbatasan ke Pemakaman Militer Luksemburg dan Memorial di Hamm, tempat peristirahatan terakhir Jenderal Patton.

Jenderal Patton meninggal dalam kecelakaan mobil saat pendudukan Jerman 1945. Ia dimakamkan di Ardennes, bersama prajuritnya yang memenangkan perang.

Helen Patton, cucu perempuannya, menghabiskan hari-hari jelang kedatangan veteran ke Bastogne. Ia menjadi bagian perayaan itu.

Di Luksemburg, veteran dan semua yang hadir pada perayaan akan diterima Grand Duke Henri Luxembourg dan PM Xavier Bettel.

Matthieu Billa, direktur Museum Perang Bastogne, mengatakan Patton mencapai puncak kejayaannya ketika membebaskan Bastogne.

Menurut Billa, 18 ribu tentara yang terkepung bertempur dengan gagah berani. Mereka melawan musuh yang jauh lebih besar, meski dengan risiko kalah dan tertawan.

Namun Pertempuran Bulge sebenarnya terjadi di Ardennes selama enam pekan. Di sini, 600 ribu tentara AS dan 25 ribu tentara Inggris menghadapi 400 ribu tentara Jerman, sampai sekutu menang pada Januari 1945.

Korban tewas di pihak Jerman antara 15 ribu sampai 20 ribu. AS kehilangan antara 10 ribu sampai 19 ribu prajurit.

Sebanyak 3.000 warga sipil Belgia terbunuh akibat pemboman artileri, atau dibantai Waffen SS yang menggeruduk desa-desa. Salah satunya Houffalize.

Pertempuran Bastogne dikisahkan para veteran dalam buku Band of Brothers, dan menjadi cerita rakyat militer AS. Kisah itu diangkat ke dalam film dengan judul yang sama.

Namun, dari tahun ke tahun, veteran yang hadir pada peringatan ini menurun. Mereka direngut usia, tapi kisah keberanian mereka tak lekang oleh waktu.

Back to top button