Veritas

Punyakah Joe Biden Strategi untuk Hadapi Cina?

Dia juga percaya, Amerika Serikat harus melakukan latihan militer yang cukup di lingkungan Cina, agar dapat mengancam untuk menenggelamkan semua kapal militer, kapal selam, dan kapal dagang Cina di Laut Cina Selatan dalam waktu 72 jam.

JERNIH– Presiden terpilih Amerika Serikat, Joe Biden, tampaknya tidak akan membuat langkah tergesa untuk berhubungan dengan Cina. Hal itu dikatakan Biden dalam wawancara terakhirnya dengan New York Times.

“Hal yang sama berlaku untuk tarif,”kata Biden, mengacu pada pajak yang dibayarkan konsumen AS atas impor Cina, sebagai bagian dari perang dagang yang dilakukan pendahulunya, Presiden Donald Trump. “Saya tidak akan mengurangi pilihan saya.”

Apa saja pilihan yang mungkin dilakukan Joe Biden dengan Cina? Biden telah menata dirinya di jalur kampanye sebagai seorang internasionalis diplomatik yang kebijakan luar negerinya akan menghindari gangguan militer dalam dua dekade terakhir.

Perlu dicatat bahwa Biden dan Trump telah berebut gelar garis keras terbesar dalam hubungan AS-Cina. Faktanya, mempertahankan kebijakan perdagangan Trump yang agresif dan kontraproduktif adalah salah satu opsi yang dipertimbangkan Biden. Namun itu akan menjadi awal yang tidak menguntungkan untuk empat tahun keterlibatannya dengan Beijing.

Dalam wawancara dengan New York Times, Biden tidak terlalu gamblang menjelaskan rencananya dalam menghadapi Cina. Dia ingin mengembangkan apa yang disebutnya strategi yang koheren. “Strategi terbaik, menurut saya, adalah strategi yang membuat semua sekutu kami, atau yang dulunya sekutu kami, berada di ‘halaman’ yang sama,” kata dia.

Pewawancara Biden, kolumnis terkemuka New York Times, Thomas Friedman, menambahkan interpretasinya bahwa berada di halaman yang sama berarti menggalang koalisi global melawan Beijing. Biden berencana membuat sketsa kebijakan perdagangan garis keras yang akan menjaga setidaknya beberapa perjanjian perdagangan Trump tetap utuh. Dia juga menjelaskan bahwa dirinya menginginkan lebih banyak pengaruh terhadap Beijing, sehubungan dengan kebijakan industri dan penelitian dalam negeri.

Apakah “pengaruh” itu juga berarti kekuatan militer? Sehubungan dengan kuatnya kabar bahwa Michèle Flournoy akan menjadi menteri pertahanan, menjadi salah satu alasan untuk berpikir bahwa jawaban dari pertanyaan itu mungkin “ya”.

Flournoy dikenal sebagai pengambil pendekatan bermusuhan kepada Cina, dengan alasan AS membutuhkan peningkatan militer lebih lanjut untuk memastikan Cina tidak menyerang negara itu. Dia menulis di Foreign Affairs musim panas yang lalu (ketika ia diasumsikan akan mengisi jabatan di pemerintahan hipotetis Biden) bahwa Washington harus “mengerahkan lebih banyak pejabat senior dan pasukan militer tambahan ke Asia, untuk menggarisbawahi kehadiran abadi Washington di kawasan itu.

Dia juga percaya, Amerika Serikat harus melakukan latihan militer yang cukup di lingkungan Cina, agar dapat mengancam untuk menenggelamkan semua kapal militer, kapal selam, dan kapal dagang Cina di Laut Cina Selatan dalam waktu 72 jam.

Perspektif Flournoy bukanlah satu-satunya indikator ke mana arah hubungan Biden dengan Cina. Calon menteri luar negerinya, Antony Blinken, pada Mei mendukung pemberian sanksi kepada Cina atas otoritarianisme negara itu terhadap Hong Kong.

Penasihat Keamanan Nasional yang akan datang, Jake Sullivan, telah menyerukan untuk “mencurahkan lebih banyak aset dan sumber daya untuk memastikan dan memperkuat, bersama mitra kita, kebebasan navigasi di Laut Cina Selatan,” yang mungkin berarti pembangunan militer. Biden sendiri mengatakan dia akan “menekan, mengisolasi, dan menghukum Cina” bersama sekutu AS.

Ini bukan berarti pemerintahan Biden bergerak menuju kebijakan antagonisme murni terhadap Cina, atau bahwa Biden hanya akan melanjutkan apa yang ditinggalkan Trump. Biden akan lebih konsisten dalam pesannya daripada Trump. Dia tidak akan berbicara tentang “cinta”-nya untuk Presiden seumur hidup Cina, Xi Jinping, seperti yang dilakukan Trump. Dia tidak akan memberikan persetujuan diam-diam untuk kebijakan genosida Xi Jinping secara tertutup, seperti yang diduga dilakukan Trump.

Flournoy mencatat, ada banyak masalah di mana “kita harus berurusan dengan Cina sebagai mitra atau justru tidak dapat menyelesaikan masalah itu sama sekali“, yang merupakan pandangan yang jauh lebih realistis daripada ocehan Trump tentang “memutuskan (merusak) seluruh hubungan.”

Sementara itu, Sullivan mengkritik kebiasaan Washington yang memberikan ultimatum yang tidak realistis kepada Cina, yang diabaikan oleh Beijing karena tidak cukup penting bagi kepentingannya. Selain itu, Biden mengakui Amerika Serikat harus “bekerja sama dengan Beijing dalam masalah yang menyatukan kepentingan kedua negara”.

Tantangan bagi Biden dan timnya yang masih dirakit, adalah memperhatikan nasihat terbaik bagi mereka. Mendikte pemerintahan Beijing tentang masalah Hong Kong atau membatasi kekuatan maritim Cina yang sudah menjangkau luar negeri, misalnya, kemungkinan merupakan jenis perintah yang tidak realistis dan maksimalis yang telah diperingatkan Sullivan. Baik Biden maupun Flournoy mengakui perlunya kerja sama membutuhkan sikap yang memperlakukan Cina hanya sebagai saingan, bukan musuh.

Itu bukan berarti menutup diri di hadapan totaliterisme dan pelanggaran HAM yang dilakukan Beijing. Namun itu berarti secara proaktif menjaga perdamaian, dengan mengurangi peluang untuk tersandung ke dalam konflik antara dua militer paling kuat di dunia itu, dan membina perdagangan yang saling menguntungkan. [The New York Times]

Back to top button