Pandemi, 50% UMKM Diperkirakan ‘Gulung Tikar’
Jakarta – Berbeda dengan krisis 1998 di mana UMKM mampu bertahan, saat ini akibat pandemi Covid-19, sekitar 50 persen UMKM diperkirakan gulung tikar. Meski demikian pemerintah berupaya optimal untuk menyelamatkan UMKM dengan berbagai stimulus, agar bisa menekan bertambahnya angka pengangguran dan tingkat kemiskinan.
“Setidaknya 40 survei memperkirakan separuh UMKM tidak akan mampu survive; pemerintah berusaha membangkitkan UMKM dengan berbagai cara karena di sana ada 60 juta pengusaha UMKM, belum lagi jumlah tenaga kerjanya,” kata MenkopUKM Teten Masduki, dalam webinar bertema “Kebangkitan UMKM dengan Entrepreneur Milenial di Era New Normal”, yang diselenggarakan oleh KAGAMA (Alumni UGM), Sabtu (27/6/2020).
Langkah-langkah yang dilakukan untuk membangkitkan UMKM itu antara lain mendorong UMKM menerima bansos, memberikan insentif pajak, relaksasi dan restrukturisasi pinjaman, di mana ada 60,6 juta UMKM yang sudah terhubung dengan lembaga pembiayaan formal.
Selanjutnya, memberikan pinjaman baru, termasuk pada koperasi, mendorong Kementerian dan Lembaga serta pemda menyerap produk UMKM, serta kampanye membeli produk lokal. “Semua kebijakan itu ditujukan agar daya beli masyarakat bisa tumbuh, sekaligus menggerakkan perekonomian,” kata Teten.
Ekonomi Digital UMKM
Lebih lanjut Teten mengatakan, pemerintah juga memprioritaskan adanya transformasi UMKM, dari yang selama ini mengandalkan offline menjadi online atau ekonomi digital.
“Pandemi saat ini semakin mengharuskan UMKM untuk masuk dalam ekonomi digital. Saat ini baru 8 juta UMKM, atau 13 persen saja dari total UMKM, yang sudah terkoneksi secara digital. Kami mentargetkan hingga akhir tahun ini ada tambahan 2 juta UMKM yang bisa terhubung ke ekonomi digital, sehingga total akan ada10 juta UMKM,” kata Menteri.
Sayangnya, lanjut Menteri, tidak serta merta UMKM yang sudah sigital itu bisa survive. ” Berbagai survei menunjukkan, tingkat keberhasilan UMKM yang masuk ekonomi digital berikar hanya 4 sampai 10 persen,” katanya.
Berarti ada masalah di situ. “Masalahnya apa? Ada beberapa; misalnya, di pasar online UMKM sudah harus berhadapan dengan brand besar, sementara kemampuan manajemen masih rendah, kapasitas dan volume produksi juga relatif kecil. Kasus bakpia pathok bisa jadi pelajaran, di mana pelaku UMKM sangat banyak, dengan volume produksi yang terbatas. Di sini perlu adanya konsolidasi brand, juga perlu ada rumah produksi bersama, sehingga bisa menjadi efisien,” tambah Menteri.
MenkopUKM menegaskan, pelibatan kaum milenial yang sudah akrab dengan Teknologi Informasi (TI) akan sangat membantu UMKM, khususnya dalam masalah pemasaran di pasar digital. Kaum milenial juga bisa mendampingi UMKM dalam teknologi pengemasan dan kualitas produk.
Stafsus Presiden RI Putri Tanjung menambahkan, saat ini yang dibutuhkan UMKM untuk bisa bertahan, bahkan menjadi pemenang, adalah leader atau CEO, atau entrepreneur yang mampu adaptif dalam menghadapi perubahan, konsisten dalam berproduksi, serta inovatif dalam menciptakan produk. [*]