Habib Al-Ajami, Si Rentenir Kejam yang Menjadi Wali Sufi
Karena tidak ada lagi yang tersisa, Habib memberinya chaddur istrinya. Kepada peminta-minta yang lainnya lagi, dia memberikan bajunya sendiri, dan membuatnya menjadi telanjang.
JERNIH—Habib bin Muhammad Al-Ajami Al-Bashri adalah seorang Persia yang tinggal di Bashrah, Irak saat ini. Beliau seorang wali susi dan perawi terkemuka yang meriwayatkan dari Hasan Bashri, Ibnu Sirin, dan lainnya. Habib mulai berpaling dari kesenangan hidup dan memperturutkan hawa nafsu dipicu oleh kefasihan lidah Al Ha’an—Habib sering mengikuti ceramah-ceramahnya, dan kemudian menjadi salah seorang teman terdekatnya.
Awalnya, ia seorang kaya raya dan lintah darat. Setiap hari kerjanya berkeliling kota, menagih orang-orang yang berutang kepadanya. Bila yang ditagih tak punya uang, ia akan mengambil apa pun yang dianggapnya berharga.
Dalam “Tarikh Ad-Dimasyq” karya Ibnu Asakir, dikatakan Habib juga merupakan murid Hasan al-Bashri dan kelak dia menjadi seorang pemuka sufi pada abad ke-2 H. Habib al-Ajami dikenal sebagai pribadi yang ahli ibadah dan zuhud terhadap dunia. Beliau wafat pada tahun 120 H.
Kembali kepada Habib Al-Ajami. Demikianlah cara Habib mencari makan saat itu. Suatu hari dia pergi mencari salah seorang pengutang. Orang yang dicari sedang tidak ada di rumahnya; Karena gagal menemuinya, dia menuntut pembayaran lain.
“Suamiku sedang tidak ada di rumah,” kata istri si pengutang kepadanya. “Aku sendiri tidak punya apa-apa untuk diberikan padamu. Kami telah memotong seekor domba, tetapi tinggal lehernya yang tersisa. Jika engkau suka, aku akan memberimu itu.”
“Itu adalah sesuatu yang lumayan,” jawab Habib si rentenir, berpikir bahwa dia setidaknya dapat mengambil leher domba itu dan membawanya pulang. “Letakkan pancinya di atas api.”
“Aku tidak punya roti atau pun bahan bakarnya,” jawab wanita itu.
“Baiklah,” kata Habib. “Aku akan pergi dan mengambil bahan bakar dan roti, dan itu nanti bisa dibebankan kepada harga sepatu kulit.”
Jadi Habib pergi dan mengambil barang-barang itu, dan wanita itu mempersiapkan pancinya. Ketika panci itu selesai dimasak, wanita itu hendak menuangkan isinya ke dalam mangkuk, tiba-tiba seorang pengemis mengetuk pintu.
“Jika kami memberimu apa yang kami miliki,” Habib berteriak kepadanya, “engkau tidak akan menjadi kaya, dan kami sendiri yang akan menjadi miskin!”
Pengemis itu, dengan putus asa, memohon pada wanita itu untuk meletakkan sesuatu di mangkuk. Dia mengangkat tutup panci, dan menemukan bahwa isinya semua telah berubah menjadi darah hitam. Menjadi pucat, dia bergegas kembali dan meraih tangan Habib, mengajaknya melihat isi panci.
“Lihatlah apa yang terjadi pada kami karena riba terkutukmu, dan teriakanmu pada pengemis itu!” serunya. “Apa yang akan terjadi dengan kami sekarang di dunia ini, belum lagi di akhirat…”
Melihat hal ini, Habib merasakan seolah dalam dirinya bergolak api yang tak akan pernah padam. “Hai wanita,” katanya, “aku bertobat dari semua yang telah kulakukan.”
Hari berikutnya dia pergi mencari orang-orang yang berutang kepadanya. Waktu itu kebetulan hari Jumat, dan anak-anak sedang bermain di jalanan. Ketika mereka melihat Habib, mereka mulai berteriak.
“Inilah dia Habib si rentenir. Lari, jangan sampai debunya menempel pada kita dan kita menjadi dikutuk seperti dia!”
Kata-kata itu sangat menyakitkan Habib. Dia lalu mengambil jalan ke gedung pertemuan, dan di sana dia mendengar suatu kalimat dari bibir Hasan al-Bashri yang sedang ceramah. Kata-kata yang tepat menusuk jantung hatinya, sampai-sampai dia pingsan. Hasan al-Bashri sampai datang, memegang tangannya dan menenangkannya.
Ketika dia pulang dari pertemuan itu, salah satu pengutangnya melihatnya, yang mana kemudian melarikan diri.
“Janganlah lari,”seru Habib memanggilnya. “Sampai barusan adalah engkau yang lari dariku; tapi sekarang akulah yang harus lari darimu.”
Dia berjalan kembali. Anak-anak masih bermain. Ketika mereka melihat Habib mereka berteriak lagi.
“Inilah dia Habib yang bertobat. Lari, jangan sampai debu kita menempel padanya, karena kita adalah para pendosa yang melawan Allah.”
“Ya Allah, ya Tuhanku!” tangis Habib. “Karena satu hari ini saja, ketika aku telah berdamai dengan-Mu, Engkau telah mengetuk genderang hati orang-orang untukku dan melambungkan namaku dengan kebaikan.”
Kemudian dia membuat sebuah pengumuman.
“Siapa pun yang menginginkan apa pun dari Habib, datang dan ambillah!”
Orang-orang berkumpul, dan dia menyerahkan semua harta miliknya sampai tidak sedikitpun uangnya tersisa. Seorang lainnya datang dengan sebuah permintaan. Karena tidak ada lagi yang tersisa, Habib memberinya chaddur istrinya. Kepada peminta-minta yang lainnya lagi, dia memberikan bajunya sendiri, dan membuatnya menjadi telanjang.
Habib kemudian membereskan sebuah tempat untuk menyepi di tepi Sungai Eufrat, dan di sana dia memasrahkan dirinya untuk beribadah. Setiap malam dia belajar di bawah bimbingan Hasan al-Bashri, tetapi dia tidak mampu mempelajari Alquran, dan karenanya dia dijuluki si Barbar.
Waktu berlalu, dan dia menjadi benar-benar melarat. Istrinya terus menerus memintanya uang untuk kebutuhan rumah tangga. Karenanya Habib pergi dari rumahnya dan menuju ke tempat penyepian untuk melanjutkan pengabdiannya (kepada Allah). Ketika malam tiba, dia baru kembali ke istrinya.
“Dari mana saja engkau bekerja, kenapa tidak membawa apa pun ke rumah?”kata istrinya, mendesak.
“Orang yang aku bekerja untuknya begitu murah hati,” jawab Habib. “Dia begitu murah hati sehingga aku malu untuk meminta sesuatu padanya. Jika waktu yang tepat telah tiba, dia akan memberi. Karena dia telah berkata, “Setiap sepuluh hari sekali aku akan memberi upah..”
Jadilah Habib setiap harinya mendatangi tempat penyepian untuk beribadah, sampai waktu sepuluh hari telah habis. Pada hari ke sepuluh, pada waktu salat Dzuhur, sebuah pikiran memasuki benaknya.
“Apa yang bisa aku bawa pulang malam ini, dan apa yang harus aku katakan kepada istriku?”
Dia merenungkan hal tersebut dalam-dalam. Allah Yang Mahakuasa mengirim seorang pengangkut barang ke depan pintu rumahnya dengan membawa begitu banyak tepung gandum, yang lainnya membawa daging domba yang telah dikuliti, dan yang lainnya lagi membawa minyak, madu, rempah-rempah, dan bumbu-bumbuan.
Para tukang angkut memuat semua barang-barang ini. Seorang pemuda tampan menemani mereka, membawa dompet berisi tiga ratus dirham perak. Datang ke rumah Habib, dia mengetuk pintu.
“Ada perlu apa?” tanya istri Habib, membuka pintu.
“Tuan kami telah mengirim semua ini,” jawab pemuda tampan itu. “Katakan pada Habib, ‘Engkau tingkatkan kerjamu, dan kami akan meningkatkan upahmu.”
Setelah berkata demikian, dia pergi. Saat malam tiba, Habib melanjutkan perjalanan pulang, dengan merasa malu dan muram. Ketika dia mendekati rumahnya, aroma roti dan masakan menusuk lubang hidungnya. Istrinya berlari untuk menyambutnya dan menyeka wajahnya dan bersikap lembut padanya, sesuatu yang belum pernah dilakukannya sebelumnya.
“Suamiku,” dia menangis, “orang yang engkau bekerja untuknya adalah orang yang sangat baik, murah hati, dan penuh cinta kasih. Lihat apa yang dia kirimkan dengan tangan seorang pemuda tampan! Dan pemuda itu berkata, ‘Ketika Habib pulang, katakan padanya, ‘Engkau tingkatkan kerjamu, dan kami akan meningkatkan upahmu.’.”
Habib terkagum-kagum. “Luar biasa!” serunya. “Aku bekerja selama sepuluh hari, dan dia memberi semua kebaikan untukku. Jika aku bekerja lebih keras, siapa yang tahu apa yang akan dia lakukan?”
Habib pun sepenuhnya memalingkan wajahnya dari hal-hal duniawi dan menyerahkan diri hanya untuk mengabdi kepada Allah. [ ]