Crispy

Rektor Unhas: Partisipasi Komunitas Penting untuk Tangkal Terorisme

Terorisme saat ini mengalami perkembangan cukup pesat. Jika pada tahun 2019 sarang terorisme hanya terbentuk di 10 provinsi di Indonesia, kini telah mengalami perkembangan hingga telah terbentuk di 19 provinsi.

JERNIH—Rektor Universitas Hassanuddin, Makassar, Profesor Dr Dwia Aries Tina Pulubuhu, menyatakan bahwa partisipasi komunitas memiliki peran penting dalam menangkal dan memberantas terorisme. Hal tersebut dikatakan  guru besar sosiologi konflik  dan CPCD peneliti senior tersebut dalam diskusi daring yang digelar Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Center for Peace, Conflict and Democracy (CPCD), bertajuk “De-Radikalisasi VS Re-Radikalisasi: Mengurai Benang Kusut Penanganan Terorisme”, yang berlangsung pukul 13.30 Wita, Senin (12/4).

Lebih jauh Prof Dwia mengatakan, terorisme saat ini mengalami perkembangan cukup besar. Jika pada tahun 2019 sarang terorisme hanya terbentuk di 10 provinsi di Indonesia, kini telah mengalami perkembangan hingga telah terbentuk di 19 provinsi. “Penyebab terjadinya terorisme dipengaruhi oleh lingkungan, agama, ekonomi, sosial, politik dan hukum,” kata Prof Dwia yang mengampu materi berjudul “Partisipasi Komunitas Dalam Penanganan Terorisme”.

Lebih lanjut, Prof. Dwia menjelaskan, terjadi orientasi yang lebih sporadis di klamgan teroris, yakni pada tahun 2000 sampai 2010 aksi teror lebih berfokus pada objek simbol-simbol Barat seperti Bali dan Hotel JW Marriot. Aksi teror kemudian berubah objek pada yang lebih luas yakni masyarakat sipil. Juga terjadi pola perubahan perilaku dari terorisme berjejaring menjadi terorisme independent.

“Untuk pencegahan dan penanggulangan perlu dilakukan penanganan terstruktur oleh BNPT dan aparat keamanan. Tidak hanya itu, partisipasi masyarakat maupun komunitas dengan pendekatan menyentuh dan simpatik, serta beberapa hal lainnya, dapat dilakukan,”ujar Prof Dwia.

Sementara pada kesempatan yang sama, Konsultan UNDP dan peneliti intelijen-keamanan, Beni Sukadis mengatakan, radikalisme merupakan suatu paham yang menginginkan adanya perubahan sosial dan politik dengan kekerasan. Untuk Indonesia sendiri, Beni mengatakan masalah radikalisme dan terorisme masih ancaman menengah, belum menjadi ancaman utama. Namun, harus tetap dilakukan berbagai upaya pencegahan.

Dalam penanganan terorisme, Beni yang menyajikan “Deradikalisasi Vs Reradikalisasi: Evaluasi Program Deradikalisasi BNPT” itu menegaskan, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) memiliki peran besar untuk menyusun dan menetapkan kebijakan strategis dan program nasional di bidang penanggulangan terorisme. Sejak tahun 2012, banyak upaya pencegahan terorisme yang dilakukan oleh BNPT salah satunya melalui deradikalisme. “Strategi ini ditujukan pada kelompok inti dan militan terorisme dengan melaksanakan kegiatan seperti penangkalan, rehabilitasi hingga reduksi,” kata Beni.

Lian Gogali dari Institute Sintuwu dan Sekolah Perdamaian Perempuan Poso dalam kesempatan itu menyampaikan pandangannya tentang konflik yang terjadi di Poso. Lian mengatakan perlu adanya ruang bertemu yang lebih luas sebagai wadah untuk saling mengurai prasangka sosial yang terbentuk pada masyarakat poso. Karena, ketika hal ini tidak diurai secara mendalam akan semakin meningkatkan potensi konflik di daerah. “Karena itu, penting untuk membangun social trust dan kolaborasi untuk membangun solidaritas dalam kehidupan masyarakat,” kata Lian.

Diskusi yang sangat interaktif di antara peserta di dunia maya itu dipandu Agussalim Burhanuddin, dosen Hubungan Internasional Unhas. Diskusi yang diikuti kurang lebih 150 peserta itu berlangsung lancar hingga pukul 15.30 Wita. [  ]

Back to top button