Indonesia Tidak Bergantung Pada Cina, Tapi Berpotensi Disalip Vietnam
Di dalam peta baru NKRI itu Indonesia memberikan nama baru untuk perairan di utara Pulau Natuna yang telah sah menjadi milik Indonesia. Namanya Laut Natuna Utara. Pemerintah Cina sempat marah dan meminta nama itu dihapus. Tetapi sampai sekarang Indonesia tidak memenuhi permintaan itu.
JERNIH– Masyarakat Indonesia tidak perlu berlebihan merespon kunjungan Wakil Presiden AS, Kamala Harris, ke Singapura dan Vietnam. Bagaimana pun Amerika Serikat tentu memiliki pertimbangan tersendiri mengapa Indonesia tidak masuk dalam daftar kunjungan Wapres Harris ke Asia Tenggara.
Wartawan senior dan Ketua Umum Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI), Teguh Santosa, menggarisbawahi sejumlah hal terkait dengan kunjungan tersebut.
Menurut Teguh, pertama, Amerika Serikat menghormati kredo politik luar negeri bebas aktif Indonesia. Mengunjungi Indonesia di saat Amerika Serikat sedang berhadap-hadapan dengan kekuatan lain di kawasan, yakni Republik Rakyat Cina, tidak terlalu elok untuk dilakukan.
“Amerika Serikat menghormati kredo politik luar negeri kita yang diakui seluruh dunia, yakni bebas aktif,” ujar dosen Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, itu dalam dialog Indonesia Satu News yang dipandu Bursah Zarnubi. Pembicara lain dalam diskusi itu adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies, Prof Anthony Budiawan.
Kedua, kunjungan ke Asia Tenggara dilakukan Wapres Harris di tengah situasi panas di Laut Cina Selatan. Dengan demikian, Teguh mengatakan, dirinya dapat memahami bila Wapres Harris lebih memilih Vietnam.
“Karena Vietnam adalah salah satu negara claimant (yang mengklaim perairan) di Laut Cina Selatan. Indonesia bukan negara claimant,”kata dia.
Ketiga, menurut Teguh, kunjungan ke Vietnam itu juga dimaksudkan Amerika Serikat untuk memperlihatkan kepada masyarakat dunia bahwa negara itu bisa memiliki hubungan baik dengan negara lain yang di masa lalu pernah berperang dengan mereka.
Sinyal ini penting diperlihatkan setelah Amerika Serikat memutuskan meninggalkan Afghanistan baru-baru ini.
Dalam berbagai kesempatan sebelumnya, Teguh kerap mengatakan, keputusan Presiden Joe Biden meninggalkan Afghanistan bukan bentuk kekalahan. Biden menurutnya sedang berusaha memperbaiki reputasi AS yang rusak terutama di era Donald Trump.
Tidak bergantung pada Cina
Di sisi lain, menurut Teguh, Amerika Serikat tidak terganggu dengan hubungan yang cukup baik antara Indonesia dengan Cina terutama di sektor ekonomi. Maka ini pun bukan alasan mengapa Kamala Harris tak singgah di Indonesia.
Amerika Serikat, sebutnya, tahu pasti bahwa Indonesia memiliki kepentingan pragmatis yang hari-hari ini hanya dapat dipenuhi dengan kerja sama dengan Cina. Dan itu tidak berarti Indonesia bergantung pada Cina.
Dia mencontohkan peta baru NKRI yang diumumkan di tahun 2017 lalu. Di dalam peta baru NKRI itu Indonesia memberikan nama baru untuk perairan di utara Pulau Natuna yang telah sah menjadi milik Indonesia. Namanya Laut Natuna Utara. Pemerintah Cina sempat marah dan meminta nama itu dihapus. Tetapi sampai sekarang Indonesia tidak memenuhi permintaan itu.
“Saat ini Indonesia secara ekonomi terlihat membutuhkan China. Tetap secara politik, Indonesia tidak ke Cina juga,” ujar Teguh yang pernah menjadi ketua Bidang Luar Negeri Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) itu.
Karena itu Teguh juga mengatakan, daripada sibuk memikirkan apakah keputusan Kamala Harris tidak mengunjungi Indonesia adalah ancaman atas kedekatan dengan Cina, Indonesia lebih baik menyelesaikan pekerjaan rumah yang penting untuk meningkatkan nilai tawar di dalam pergaulan internasional.
Misalnya dengan sungguh-sungguh membangun sektor industri dalam negeri, sehingga Indonesia tidak hanya menjadi bangsa yang menadahkan tangan, tetapi juga memiliki pengaruh lewat produk-produk yang dijual setidaknya ke negara kawasan.
Disalip Vietnam
Sementara Managing Director Political Economy and Policy Studies, Prof. Anthony Budiawan, memperkirakan Indonesia akan disalip oleh negara tetangga dalam hal pendapatan ekonomi.
“Vietnam baru membuka (membangun) ekonominya tahun 1986. Menurut perkiraan saya, tidak lama lagi pendapatan perkapita Vietnam akan melewati Indonesia,” kata Prof. Anthony.
Prof. Anthony memaparkan, pendapatan perkapita Vietnam saat ini memang masih di bawah 3 ribu dolar AS. Angka ini masih di bawah Indonesia yang memiliki pendapatan per kapita 3.850 dolar AS.
Kemungkinan Indonesia disalip Vietnam bukan isapan jempol. Hal tersebut antara lain merujuk pada manajemen hubungan Vietnam dengan negara besar seperti Amerika Serikat dan Cina.
“Inilah hebatnya Vietnam, dia bisa mainkan ekonomi dengan Cina dan AS. Ini sangat menarik. Kenapa Vietnam bisa memainkan peran begitu? Peran negara nonblok yang dulu dipegang Indonesia justru diambil alih oleh Vietnam,”kata Prof Anthony. Berkat manajemen hubungan internasional yang baik dengan AS dan Cina itulah ekonomi Vietnam lebih baik dari Indonesia.
“Perdagangan Vietnam dan Cina lebih besar dari Indonesia-Cina, Begitu pun dengan AS, surplusnya bisa sampai 63 miliar dolar AS. Kita (Indonesia) cuma 10 miliar dolar AS tahun 2020,” lanjutnya.
“Jadi perjalanan ekonomi Indonesia dari tahun 1970-an sudah ketinggalan dari Thailand, Malaysia, Singapura, dan sekarang Vietnam,”kata dia. [ rls]