Padvinder, Pandu, dan Praja Muda Karana
Ada dua fase gerakan Praja Muda Karana (Pramuka). Pertama, era gerakan Pandu. Kedua, gerakan Pramuka.
Gerakan Pandu dimulai di era Hindia-Belanda, dan mewarnai apa yang disebut sejarawan sebagai zaman bergerak. Gerakan Pramuka lahir dari situasi ketika komunis berusaha mengambil alih gerakan kepanduan, mengubah namanya menjadi Gerakan Pioner Muda, dan menjadi sayap Partai Komunis Indonesia (PKI).
Dari Keraton
Tahun 1912, saat Boedi Oetomo melebarkan pengaruh ke sekujur Jawa, PY Smith dan Majoor de Yager mendirikan Netherlands Padvinders Organisatie (NPO), atau Organisasi Kepanduan Belanda, di Batavia.
Sesuai namanya, NPO tidak berdiri sendiri, tapi menginduk ke Belanda. Anggota NPO di Batavia terdiri dari remaja Belanda, dan etnis tertentu yang dianggap dekat dengan kulit putih, dan anak-anak Indo-Belanda.
NPO tidak hanya muncul di Batavia, tapi juga di sejumlah kota besar di Jawa dan Sumatera; Bandung, Surabaya, Semarang, dan Medan. Seperti di Batavia, angota NPO di kota-kota lain juga terbatas dan eksklusif.
Perang Dunia I mengubah segalanya. NPO di Batavia diberi kewenangan mandiri. Tahun 1914 berdiri Nederlansche Indische Padvinders Veereniging (NIPV). Hanya namanya yang berubah. Anggotanya tidak.
NIPV punya kegiatan beragam. Sering show-off di jalan-jalan di kota. Berjalan-jalan dengan seragam banyak atribut, dan tutup kepala.
Dua tahun kemudian, atas prakarsa Mangkunegara VII, lahir Javaansche Padvinder Organisatie (JPO), atau Organisasi Kepanduan Jawa. Khusus di wilayah kasunanan, lahir Taruna Kembang yang dipimpin Pangeran Suryobroto.
Tahun-tahun berikutnya berdiri organisasi kepanduan berbasis keagamaan. Di Yogyakarta 1918, Muhamadiyah mendirikan Padvinder Muhammadiyah. Dua tahun kemudian nama itu diubah menjadi Hisbul Wathan. Sarekat Islam (SI), yang belum terpecah menjadi SI dan SI Merah, membentuk Wira Tamtama.
Tahun yang sama Boedi Oetomo mendirikan Nationale Padvindeij, sebagai organisasi kepanduan yang mengusung nasionalisme. Organisasi-organisasi keetnisan, salah satunya Jong Java di Yogyakarta, medirikan Jong Java Padvinderij.
Dalam Kongres Jong Java di Solo tahun 1922, Padvinderij masuk gerakan pemuda Jong Java dan diberi nama Jong Java Padvinderij (JJP), atau Kepanduan Jong Java. Selanjutnya, beberapa mantan NIPV masuk ke JJP dan menjadi penggerak.
Di kalangan mahasiswa terbentuk organisasi kepanduan bernama Pemuda Kebangsaan (PK) yang mengusung nasionalisme Indonesia.
Ada banyak upaya mempersatukan organisasi kepanduan, berbasis agama, etnis, dan nasionalisme, ke dalam satu organisasi. Tahun 1928, misalnya, Soekarno dan Mr Sunaryo menggabung dua organisasi kepanduan; Nation Padvinderij Organsatie (NPO) dan Jong Indonesich Nationale Padvinder Organisatie (JIPO) menjadi Indonesisch Nationale Padvinder Organisatie (INPO).
Tidak seluruh anggota JIPO bergabung Mereka yang keluar dari JIPO membentuk Pandu Indonesia. Di luar gerakan kepanduan berbasis kebangsaan, Sareket Islam mengganti nama Wira Tamtama menjadi Sarekat Islam Afdeling Padvinderij (SIAP), dengan Harsono Tjokroaminoto sebagai salah satu pimpinannya.
Kasman Singodimejo mendirikan National Islamische Padvinderij, yang berada di bawah Jong Islamiten Bond (JIB). Di Surabaya, Al Irsyad mendirikan Kepanduan Al Irsyad. Di luar Jawa muncul Pandu Pemuda Sumatera (PPS).
Setelah Kongres Pemuda Indonesia Pertama di Batavia 1926, muncul keinginan untuk menyatukan semua organisasi kepaduan berbasis etnis, agama, dan nasionalisme. Pada saat yang sama, organisasi kepanduan putri juga bermunculan dengan tokoh-tokohnya Suci Simarni, Surjandari, Imi, Titiek Darsono, Siri Rokhiman, dan Mugamurah.
Antara 1928 sampi 1943 banyak upaya dilakukan untuk membentuk wadah kepanduan nasional. Tahun 1930, misalnya, Kepanduan Bangsa Indonesia membentuk Komisi Persiapan Kepanduan Nasional.
Di tengah upaya itu, muncul organisasi-organisasi kepanduan baru bercorak nasionalisme Indonesia. Sebut saja; Kepanduan Rakyat Indonesia (KRI). Di Malang, Suluh Indonesia juga membentuk organisasi kepanduan sendiri.
Berikutnya Partai Nasionalis Indonesia (PNI) membentuk Kepanduan Khusus untuk Rakyat Jelata, dengan aktivitas di Jakarta dan Semarang. Namun pemerintah Hindia-Belanda membubarkannya.
Tahun 1938, organisasi kepanduan berkumpul di Jakarta dan menggelar konferensi. Dibentuklah Badan Pusat Persaudaraan Kepanduan Indonesia (BPPKI). Mereka merangkul organisasi kepanduan Katholik, JPO, Hisbul Wathan, dan Kepanduan Protestan, dan lainnya.
Keinginan bersatu dan mewujudkannya terus dilakukan. Ini terlihat pada pertemuan di Solo tahun 1941, ketika seluruh pemimpin kepanduan berhasil merumuskan kesepakatan untuk berasaskan kebangsaan dan tidak meginduk ke partai politik tapi tidak melarang anggotanya terlibat dalam pergerakan politik.
Namun, BPPKI berumur pendek. Tahun berikutnya Jepang datang dan membubarkan semua organisasi, termasuk kepanduan.
Ada upaya memelihara persatuan kepanduan, dan Jepang tahu itu. Jepang punya rencana sendiri. Saat elemen-elemen organisasi kepanduan bertemu, Jepang menggiring mereka masuk ke dalam organisasi Seinendan.
Banyak yang memanfaatkan kesempatan ini untuk bergabung dengan Peta, Heiho, dan organisasi resmi Jepang lainnya. Menariknya, dengan lebih dekat ke Jepang, mereka membangun semangat patriotisme dan belajar militer.
Setelah Jepang pergi dan Indonesia memerdekakan diri, kepanduan Indonesia memasuki babák baru. Organisasi-organisasi kepanduan yang tercerai berai di era Jepang, berhimpun lagi dan bertemu di Semarang sebulan setelah Soekarno membacakan teks proklamasi.
Ki Hajat Dewantara, menteri pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan (PPK) Indonesia, datang dan memberi falsafah gerakan kepanduan Indonesia. Ia pula yang merestui nama baru kepanduan negeri ini, yaitu Pandu Rakyat Indonesia (PRI).
Praja Muda Karana
Eksistensi PRI berusaha dibangkitkan setelah 1950, atau setelah RIS mendapatkan kedaulatan dari Belanda. Namun saat perjuangan kembai ke negara kesatuan RI menguat, PRI seakan lenyap.
Ormas dan partai politik mengulang tradisi lama. Mereka kembali menghidupkan kepanduan masing-masing. Muhammadiyah memunculkan kembali HW, NU membentuk Pandu Ansor, Katholik dengan Pandu Katholik, Partai Indonesia Raya (Perindra) bikin Pandu Suryawirawan, dan lainnya.
Pada saat yang sama, orgaisasi pandu yang tergabung dalam PRI menyatakan keluar dan berdiri şendiri. Sri Sultan Hamengkubuwono IV, yang dijuluki pandu agung, berusaha memperatukan kembali seluruh gerakan pand lewat Seminar Kepanduan di Bogor tahun 1957.
Sebanyak 60 organisasi pandu berhimpun ke dalam Persatuan Kepanduan Indonesia (Perkindo). Lainnya, kira-kira 40 organisasi, menolak. Jumlah anggota Perkindo tidak banyak, hanya sekitar 500 ribs orang
Akibatnya, gerakan kepanduan Indonesia terus melemah. Situasi ini coba dimanfaatkan Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk memaksa gerakan kepanduan berubah menjadi Gerakan Pioner Muda, seperti di negara-negara komunis.
Perkindo menentang keras. Ir Juanda, perdana menteri saat itu, mendukung sirap Perkindo. Saat Presiden Soekarno berkunjung ke Jepang, dan Ir Juanda menjadi pejabat Presiden RI, keluar Keputusan Presiden RI No 238 tahun 1961 tentang Gerakan Pramuka.
Gerakan Pramuka berstatus non-governmental, alias bukan badan pemerintah, dan berbentuk kesatuan. Bersamaan dengan itu keluar larangan bagi organisasi kepanduan di luar Gerakan Pramuka.
Sepulang dari Jepang, Presiden Soekarno memperkenalkan Gerakan Pramuka kepada rakyat Indoneisa, dan melantik majelis pimpinan nasional (Mapimnas) dan kwartir nasional (Kwarnas).
Gerakan Pandu, yang kemudian menjadi Gerakan Pramuka, adalah bagian dari sejarah pergerakan nasionalisme Indonesia. Lewat aktivitas perkemahan, dan pertemuan rutin, Gerakan Pramuka efektif menjadi bagian penting pendidikan kebangsaan.