Crispy

PBB Didesak Jatuhkan Sanksi Pada Cina untuk Pelanggaran HAM Muslim Uighur

Pangeran Zeid Ra’ad Al Hussein, pendahulu langsung Bachelet sebagai Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, mengatakan penggantinya layak mendapat pujian karena menerbitkan laporan itu, tetapi mengatakan adalah sebuah ‘kekurangan’ untuk tidak menyebut pelanggaran itu sebagai genosida. Dia juga mengkritiknya karena tidak ada seruan pembentukan komisi penyelidikan PBB secara formal.

JERNIH–Dukungan agar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menjatuhkan sanksi terhadap pemerintah Cina yang melakukan penganiayaan terhadap etnis minoritas Uighur, kian menguat. Dalam sebuah forum yang disponsori The Atlantic Council dan Human Rights Watch dan melibatkan para tokoh terkemuka dunia yang tengah digelar di New York, AS, para pegiat hak asasi mendesak PBB dan kekuatan dunia lainnya untuk memberikan hukuman kepada Cina.

Selama bertahun-tahun, pengawas hak asasi manusia dan para jurnalis telah mengungkap perlakuan brutal Cina terhadap orang Uighur dan kelompok etnis Muslim lainnya di wilayah barat, Xinjiang. Di wilayah itu pemerintah Cina dituduh melakukan kampanye penyiksaan, serangan seksual, dan pembersihan etnis yang kejam. Tuduhan-tuduhan itu telah diterima secara luas di Barat, tetapi diberi kekuatan baru dengan keluarnya laporan penting yang dirilis bulan lalu oleh kantor hak asasi manusia PBB.

“Tidak ada tindakan yang mungkin lagi,” kata Fernand de Varennes, pelapor khusus PBB tentang hak-hak minoritas. “Jika kita membiarkan ini tanpa hukuman, pesan seperti apa yang disebarkan?”

Jeffrey Prescott, wakil duta besar AS untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, menegaskan bahwa integritas PBB dipertaruhkan dalam tanggapannya terhadap kelakuan Cina. “Bagaimana kekejaman ini ditangani pada akhirnya mengarah pada kredibilitas sistem itu, pada kredibilitas sistem internasional kita sendiri,” kata Prescott. “Sangat menyedihkan melihat sebuah negara yang telah begitu penting dalam pembentukan sistem PBB modern, dan menikmati statusnya sebagai anggota tetap Dewan Keamanan, sangat melanggar komitmennya.”

Laporan PBB tentang dugaan pelanggaran oleh Cina dirilis pada hari terakhir di kantor Michele Bachelet, saat ini mantan Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia. Rilisnya diyakini telah lama tertunda. Bachelet tidak pernah menjelaskan waktunya.

Pemerintah Cina menanggapi rilis tersebut dengan marah, menyebutnya ‘tambal sulam informasi palsu’ dan menggambarkannya sebagai rekayasa yang dibuat negara-negara Barat. Cina juga mengeluarkan bantahan yang panjang, seraya  bersumpah untuk berhenti bekerja sama dengan Kantor Hak Asasi Manusia PBB. Saat ini besar kemungkinan para diplomat Cina tengah melobi berbagai pihak untuk menggagalkan kemungkinan pengawasan lebih lanjut dari apa yang mereka lakukan di Xinjiang.

Rob Roe, duta besar Kanada untuk PBB, menyebut reaksi Cina itu tidak mengejutkan. Ia juga mengatakan bahwa tindakan baru pantas dilakukan. “Kita perlu menangani pertanyaan ini. Kita perlu berurusan dengan pertanyaan tentang sanksi lebih lanjut yang diperlukan. Kita perlu menghadapi pertanyaan tentang langkah apa yang dapat diambil lebih lanjut untuk menanggapi sejauh mana krisis ini,” kata Roe.

Laporan PBB antara lain didasarkan pada wawancara dari lebih dari dua lusin mantan tahanan dan lainnya yang mengetahui kondisi di delapan pusat penahanan. Mereka menggambarkan pemukulan, pelarangan berdoa (shalat) dan dipaksa melakukan tindakan seks terhadap penjaga. Dikatakan bukti itu bisa merupakan ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’ tetapi tidak menyebutkan genosida sebagaimana  tuduhan Amerika Serikat dan negara-negara lainnya kepada Cina.

Pangeran Zeid Ra’ad Al Hussein, pendahulu langsung Bachelet sebagai Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, mengatakan penggantinya layak mendapat pujian karena menerbitkan laporan itu, tetapi mengatakan adalah sebuah “kekurangan” untuk tidak menyebut pelanggaran itu sebagai genosida. Dia juga mengkritiknya karena tidak ada seruan pembentukan komisi penyelidikan PBB secara formal. “Diam berarti menjadi kaki tangan,” katanya.

Rayhan Asat, seorang pengacara Uighur yang bekerja untuk Dewan Atlantik dan saudara laki-lakinya tengah dipenjara di Xinjiang, mendesak dunia untuk segera mengambil tindakan nyata tidak hanya kepada Cina, tetapi juga perusahaan-perusahaan yang mengambil untung dari pelanggaran tersebut.

“Kita seharusnya tidak membiarkan pemerintah Cina lolos dengan menormalkan apa yang dilakukan negara itu,” katanya, “karena pada akhirnya, ini adalah kekerasan negara.” [Arab News]

Back to top button