Solilokui

Merdeka Sejati: Memutus Rantai Ketergantungan Terhadap Kekuasaan di Indonesia

Ketidakberanian ini bukan tanpa sebab. Banyak dari kita yang mengharapkan keuntungan dari kekuasaan, menyebabkan sebuah siklus ketergantungan yang sulit diputus. Ini merupakan cerminan dari lemahnya karakter kepemimpinan individu, terutama ketika kesalahan dilakukan oleh mereka yang berada di puncak kekuasaan. Negara ini seolah kehilangan suaranya, ketika terungkap bahwa yang melakukan kejahatan adalah pemimpinnya sendiri

Oleh      :  Rahmat Mulyana*

JERNIH– Mengapa sejarah mencatat bahwa bangsa kita dapat dijajah selama bertahun-tahun oleh negara-negara dengan jumlah penduduk yang jauh lebih sedikit? Bagaimana mungkin, menjelang akhir masa jabatannya, sedikit sekali  yang mampu memberikan koreksi efektif kepada Soekarno? Mengapa Soeharto dapat mempertahankan kekuasaannya selama itu tanpa adanya kontrol yang berarti sampai meletusnya Reformasi? Dan mengapa di era Jokowi, ketika seharusnya kita telah belajar dari pengalaman Reformasi ’98, masih terjadi tindakan semena-mena tanpa adanya tata kelola negara (check and balances) yang efektif, meskipun sistem pengawasan sudah terstruktur dengan lengkap?

Inti dari semua pertanyaan ini terletak pada kita. Sebagai manusia yang menjadi aktor dari tatanan yang sudah dibuat ini, tidak berani untuk berdiri teguh dalam perbedaan dan bersikap independen, terutama ketika berhadapan dengan mereka yang berkuasa.

Rahmat Mulyana

Ketidakberanian ini bukan tanpa sebab. Banyak dari kita yang mengharapkan keuntungan dari kekuasaan, menyebabkan sebuah siklus ketergantungan yang sulit diputus. Ini merupakan cerminan dari lemahnya karakter kepemimpinan individu, terutama ketika kesalahan dilakukan oleh mereka yang berada di puncak kekua-saan. Negara ini seolah kehilangan suaranya, ketika terungkap bahwa yang melakukan kejahatan adalah pemimpinnya sendiri, dengan praktik mengurangi kekuatan kontrol, menerapkan politik pembagian kekuasaan yang memecah belah, dan melemahkan oposisi melalui berbagai kasus hukum.

Meskipun sistem check and balances telah diterapkan dalam ketatanegaraan kita, tampaknya tidak ada yang berani untuk menjalankannya dengan tegas. Dukungan yang tak terbatas terhadap kekuasaan hanya akan membuat mereka yang berkuasa menjadi semakin arogan, karena terus-menerus mengharapkan sesuatu dari kekuasaan tersebut. Selain itu, kelemahan iman individu yang berada di posisi kepemimpinan menjadi faktor penting lainnya. Keimanan yang kokoh seharusnya membuat seseorang hanya takut kepada Allah SWT, tidak kepada manusia, sekejam apapun mereka.

Namun, realitanya, ketakutan terhadap manusia seringkali lebih dominan, mengaki-batkan keputusan-keputusan yang tidak selalu berpihak pada kebenaran dan keadilan.

Di sisi lain, rakyat yang masih terbelakang secara ekonomi dan pendidikan menjadi mangsa yang mudah bagi para penguasa. Dengan sedikit iming-iming, mereka dengan mudah diarahkan, dan sebagian besar dari mereka hidup dalam ketakutan terhadap penguasa. Ini adalah cerminan dari sebuah sistem yang telah lama memanfaatkan kelemahan untuk kepentingan kekuasaan semata. Dalam kerangka itulah kita harus memahami dan mengkritisi sejarah dan realitas politik kita saat ini. Pertanyaan-pertanyaan di atas tidak hanya menuntut kita untuk merenungkan masa lalu, tetapi juga untuk mengambil pelajaran dan bertindak nyata menuju pembangunan karakter individu dan kolektif yang lebih mandiri dan berintegritas, untuk masa depan Indonesia yang lebih baik.

Mentalitas ketergantungan pada kekuasaan berakar dalam sejarah panjang penjajahan, di mana kekuasaan dianggap sebagai sumber semua solusi. Mentalitas ini diperkuat oleh kelemahan iman dan kurangnya pendidikan kritis, yang membuat individu enggan untuk berbeda pendapat atau mengambil sikap independen. Sistem ketatanegaraan yang lemah dalam penerapan kontrol dan keseimbangan, serta penyalahgunaan hukum, memperburuk situasi. Struktur sosial yang ditandai dengan kesenjangan ekonomi dan ketimpangan sosial juga memperkuat ketergantungan pada kekuasaan, membuat rakyat miskin dan kurang berpendidikan menjadi rentan terhadap manipulasi.

Ketergantungan pada kekuasaan telah berdampak negatif pada tatanan sosial dan politik Indonesia. Penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, nepotisme, dan otoritarian-isme menjadi subur. Ketidakadilan sosial merajalela, dengan hak-hak rakyat sering terabaikan. Ketidakberdayaan rakyat tercermin dalam terbatasnya partisipasi politik dan suara rakyat yang sering terbungkam.

Memperkuat kemandirian, membangun kepercayaan

Memperkuat kemandirian memerlukan pembaruan nilai moral dan keimanan, peningkatan pendidikan dan kesadaran kritis, serta penguatan sistem kontrol dan keseimbangan. Memperkuat iman dan nilai moral dapat mendorong pemimpin dan rakyat untuk takut hanya kepada Allah dan tidak kepada manusia. Pendidikan yang memfokuskan pada pemikiran kritis dan partisipasi sipil sangat penting untuk mengembangkan sikap independen dan berani berbeda pendapat.

Sistem demokrasi yang kuat dengan kontrol dan keseimbangan yang efektif adalah kunci untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan dan memastikan keadilan.

Survei dan laporan, seperti dari Transparency International dan World Justice Project, menunjukkan Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam korupsi dan penerapan hukum. Data ini menekankan pentingnya reformasi sistemik untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Korupsi, yang diperkuat oleh lemah-nya penegakan hukum dan kurangnya transparansi, adalah manifestasi dari ketergantungan pada kekuasaan yang menghambat kemandirian. Budaya “meng-harap sesuatu dari penguasa” mendorong praktik korupsi, suap, dan nepotisme.

Peran agama dan pendidikan

Pendidikan moral dan agama yang kuat dapat mendukung pembangunan karakter yang bertakwa dan mandiri. Praktik keagamaan yang konsisten dan pemahaman ajaran agama yang benar adalah fondasi untuk membangun keimanan yang kuat, yang pada gilirannya memperkuat kemandirian individu. Agama memiliki peran yang sangat penting dalam membangun manusia yang bertakwa dan hanya takut kepada Tuhan.

Ketakwaan ini dapat dicapai melalui penguatan praktik keagamaan yang dilakukan secara konsisten dan tulus. Praktik keagamaan seperti shalat, puasa, zakat, dan ibadah lainnya merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran, “Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.” (QS. Al-An’am: 162-163). Ayat ini mengingatkan kita untuk senantiasa tunduk dan patuh hanya kepada Allah, bukan kepada manusia atau kekuasaan duniawi lainnya.

Dengan penguatan praktik keagamaan yang konsisten dan dilandasi pemahaman yang benar, insya Allah kita dapat membangun manusia yang bertakwa, yang hanya takut kepada Allah SWT. Ketakwaan ini akan mendorong kita untuk senantiasa menegakkan kebenaran, bersikap rendah hati, dan mandiri dalam menghadapi berbagai tantangan hidup.

Pendidikan adalah alat penting untuk menanamkan kemampuan berpikir kritis, membangun kepercayaan diri, dan menanamkan nilai-nilai kemandirian. Melalui metode pembelajaran yang interaktif, pendidikan dapat mendorong siswa untuk mengekspresikan pendapat dan menghargai perbedaan. Pendidikan keluarga memegang peran penting dalam membentuk individu yang mandiri dan bermartabat.

Nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, dan disiplin yang ditanamkan sejak dini oleh keluarga akan membentuk karakter anak yang kuat dan mandiri.

Pada akhirnya, membangun kemandirian dan mengurangi ketergantungan pada kekuasaan adalah perjalanan panjang yang membutuhkan kerja sama dan komitmen dari semua elemen masyarakat. Dengan pendekatan yang komprehensif, meliputi reformasi pendidikan, penguatan nilai-nilai moral dan keagamaan, serta reformasi sistemik dan hukum, Indonesia dapat bergerak menuju masyarakat yang lebih mandiri dan adil. Wallahu a’lam. [dsy]

Jakarta 16/03/2024

*Dosen IAI Tazkia

Back to top button