Alih-alih mengamini Kaum Positivis, pengertian ilmiah menurut KBBI justru sejalan dengan pengertian Kaum Nonpositivis. KBBI bukan saja mengakui ilmu-ilmu yang bersifat positivistik, tetapi juga yang nonpositivistik. Itu sebabnya, maka ada Ilmu Tauhid, Ilmu Kalam, Ilmu Tasawuf, Eskatologi, dan ilmu-ilmu nonpositivistik lainnya.
Oleh : Mi’raj Dodi Kurniawan
“Tuhan (Allah SWT) tidak bisa diilmiahkan,” demikian ujar Guru Gembul, seorang Youtuber terkenal, yang sampai sekarang, akun YouTube-nya memiliki 1,38 juta pengikut. Sontak, ujarannya itu viral, apalagi ketika ditanggapi oleh Muhammad Nuruddin, Youtuber lainnya.
Pasti ada beberapa sebab, sehingga ujarannya viral. Akan tetapi, kalau melihatnya dari sudut pandang sejarah, maka polemik tentang hal itu, bukan baru. Sudah sejak dulu, perdebatan soal Tuhan dan hal-hal imaterial lainnya dapat diketahui dan diyakini vis a vis hanya bisa diyakini tanpa bisa diketahui, terjadi.
Mirip dengan itu, Guru Gembul berpendapat, bahwa keberadaan dan serba-serbi tentang Tuhan dan hal-hal imaterial lainnya, hanya bisa diyakini, tapi tak bisa diilmiahkan. Dalam konteks ini, dia memaknai istilah ilmiah sebagai sesuatu yang bisa dibuktikan secara empiris, positivis, materialistis (bendawi), dan terindera saja.
Dengan definisi (batasan pengertian) itulah, dia–sekali lagi– berujar, Allah SWT tidak bisa diilmiahkan. Dan dalam pengertian serupa, barangkali dia juga berkata, Allah SWT tidak ilmiah. Sebenarnya, pengertian tersebut bukan milik dia. Melainkan, milik Kaum Positivis. Mungkin saja, Guru Gembul ini kepanjangan tangan saja dari golongan Kaum Positivis itu.
Ya, dalam belantika keilmuan kontemporer, sudah mafhum tentang adanya Kaum Positivis. Kelompok ini percaya, bahwa yang ada dan yang dapat diketahui (ilmiah) hanyalah hal-hal empirik, positivistik, terinderai, alias yang bersifat kebendaan. Di luar hal-hal empirik, tak bisa diketahui (tak ilmiah), bahkan menurut sebagian di antara mereka, di luar hal-hal empirik pun tak ada apa-apa.
Jadi, jika menyimak ujaran Guru Gembul tersebut, dia bisa digolongkan ke dalam Kaum Positivis. Namun, bukan yang ateistik (menuhankan materi), melainkan dia– sebut saja– teistik (bertuhankan dzat imaterial). Sebab, walaupun menganggap Tuhan tak ilmiah dan tak bisa diilmiahkan, tapi dia percaya, Tuhan dapat diyakini.
Jadi, apa persoalannya? Masalahnya dua hal. Kesatu, Kaum Positivis dan Guru Gembul berbeda keyakinan dengan Kaum Nonpositivis, yang meyakini Tuhan dan hal-hal imaterial lainnya, bisa diketahui dan–karena itu–bersifat ilmiah. Kedua, Kaum Positivis dan Guru Gembul juga berbeda pengertian atas istilah ilmiah, misalnya dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Ini tentang pertarungan hegemoni epistemologi. Ini soal peperangan memperebutkan dominasi epistemologi (filsafat ilmu, alias teori ilmu, atau ideologi keilmuan). Soal ideologi keilmuan mana yang akan berkuasa dan menentukan gaya hidup umat manusia sejagat.
Ini tentang pertempuran berkelanjutan antara Kaum Nonpositivis versus Kaum Positivis.
Menurut suatu Kaum Nonpositivis, hal-hal yang bisa diketahui bukan hanya yang bersifat material, tetapi juga yang imaterial. Alat-alat pengetahuan manusia bukan hanya alat-alat indera (yang bisa mengetahui hal-hal material), tetapi juga akal dan kalbu bahkan Wahyu (yang dapat mengetahui hal-hal imaterial).
Pembuktian bukan hanya dengan atau berupa hal-hal yang dapat dialami secara fisik atau empirik (bendawi, terinderai secara langsung). Akan tetapi juga, dengan atau berupa hal-hal ternalarkan (rasional), terasakan, bahkan keterangan Tuhan dalam bentuk Wahyu (Kitab Suci).
Oleh karena itu, menurut Kaum Nonpositivis, meski imaterial, namun Tuhan (Allah SWT) ini bisa diketahui, bisa dibuktikan, bisa diilmiahkan, dan karena itu bersifat ilmiah. Diketahuinya bukan saja dengan Wahyu (Kitab Suci), tetapi juga dengan akal (nalar) dan kalbu (rasa).
Namun, jangan minta pembuktian empirik seperti sains, yang bersifat materi, bendawi, dan berulang-ulang. Sebab, sekali lagi, Tuhan dan hal-hal imaterial lainnya, bukan benda. Tuhan adalah Tak Terbatas sedangkan benda terbatas. Kalau tetap minta bukti empirik juga, maka tetap tak bisa, karena kalau pun bisa, hal ini hanya dapat dialami orang-orang suci, seperti Nabi.
Dalam konteks yang terakhir disebutkan, lihat saja kisah Nabi Musa Alaihissalam, yang meminta Tuhan, agar Nabi Musa Alaihissalam dapat melihat-Nya. Dalam Q.S. Al-A’raf ayat ke-143 diterangkan:
“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: “Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau”. Tuhan berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi Lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman.”
Kemudian, kalau mengacu kepada KBBI, tampak di sana bahwa pengertian ilmiah ini bertolak belakang dengan pengertian ilmiah versi Kaum Positivis dan Guru Gembul. Menurut KBBI, ilmiah berarti bersifat ilmu; secara ilmu; dan memenuhi kaidah ilmu. Dan ilmu, kata KBBI, berarti pengetahuan atau kepandaian (tentang soal duniawi, akhirat, lahir, batin, dan sebagainya).
Di sini tampak, bahwa alih-alih mengamini Kaum Positivis, pengertian ilmiah menurut KBBI justru sejalan dengan pengertian Kaum Nonpositivis. KBBI bukan saja mengakui ilmu-ilmu yang bersifat positivistik, tetapi juga yang nonpositivistik. Itu sebabnya, maka ada Ilmu Tauhid, Ilmu Kalam, Ilmu Tasawuf, Eskatologi, dan ilmu-ilmu nonpositivistik lainnya.
Dengan demikian, demi kebenaran, keadilan, dan kebermanfaatan, maka gagasan Kaum Positivis tadi, harus diberangus. Sebab, selain mereduksi, mengkorupsi, dan menyembunyikan kenyataan, Kaum Positivis juga mau membunuh ilmu-ilmu nonpositivistik. Kaum Positivis mau menghegemoni Epistemologi sejagat dengan Positivisme.
Supaya realistis dan kehidupan di dunia dan di akhirat berbahagia, maka kita wajib memenangkan hegemoni Epistemologi Nonpositivisme. Kita harus meruntuhkan klaim bahwa yang ilmiah hanyalah yang saintifik, yang terbukti empirik, dan yang bersifat kebendaan saja.
Yakinilah, ketahuilah, dan amalkanlah, bahwa Tuhan dan hal-hal imateriel lainnya dapat diyakini dan dapat diketahui. Kalau pun ada sebagian di antaranya yang belum diketahui, maka camkanlah, kalau Anda tak menemukan rumus relativitas energi (karena faktanya rumus ini ditemukan Albert Einstein), bukan berarti rumus ini tak ada, bukan?
Kalau Anda tak pingsan (seperti Nabi Musa Alaihissalam) sewaktu mau melihat Tuhan, bukan berarti Tuhan tiada, bukan? Dan, walaupun tidak terindera, tetapi Anda tahu keberadaan dan dapat mengetahui isi pikiran Anda sendiri, bukan? [ ]