Covid-19 di Brasil yang tidak Demokratis, dan Kenangan flu Spanyol 1918
- Semua itu terjadi akibat sikap pemimpin Brasil yang mengecilkan kehadiran virus.
- Dokter mendorong solusi berbahaya; penggunaan hydroxychloroquine.
- Tahun 1918, seorang dukun menyuntikan merkuri, yang membunuh banyak orang. Anehnya, dukun itu tetap dianggap sakti.
- Kini, setiap pemimpin agama menawarkan penyembuhan supranatural dengan air suci.
- Pandemi Covid-19 di Brasil tidak demokratis, karena pada tahap awal kerah biru.
Sao Pulo — Drauzio Varella tidak mengalami bencana flu Spanyol 1918. Tahun 1940-an, saat masih bocah, ia mendengar banyak cerita tentang orang-orang yang mati, keluarga meletakan jenasah di pinggir jalan, dan gerobak mayat secara reguler datang mengangkut.
Kini, dalam versi yang lain, Varella — seorang dokter ahli kanker dan penulis berusia 77 tahun — menyaksikan sesuatu yang hampir mirip dengan cerita neneknya.
“Flu Spanyol nyaris menghancurkan imigran kerah biru yang kami sebut home,” kata Varella. “Kini, lebih seabad sejak flu Spanyol, Brasil kembali terguncang oleh pandemi menghancurkan.”
Seperti kebanyakan orang Brasil, Varella tidak percaya semua ini akan terjadi. Ia percaya beberapa jenis virus baru akan muncul, dan tidak akan menyebabkan tragedi dengan proporsi luar biasa.
Brasil kini mencatat 853 ribu kasus terinfeksi, dengan 42.837 kematian, dan 428 ribu sembuh. Sao Paulo di tempat pertama dengan 167 ribu terinfeksi, dengan 10 ribu lebih kematian.
Itu statistik resmi. Angka sebenarnya korban terinfeksi dan tewas tidak ada yang tahu.
Mengecilkan Wabah
Claudio Bertolli Filho, penulis buku tentang pandemi Flu Spanyol 1918, mengatakan semua ini terjadi berkat sikap pemimpin Brasil yang mengecilkan kehadiran virus influenza yang mereka tidak tahu.
Sikap mengecilkan itu tercermin dari pernyataan Presiden Jair Bolsonaro yang menyebut virus korona sebagai ‘flu ringan’. Pihak berwenang berusaha menyembunyikan skala bencana, yang membuat tekad para jurnalis menjadi mustahil.
Kini, dokter mendorong solusi berbahaya; penggunaan hydroxychloroquine, kendati bukti ilmiah tentang efektivitasnya terbatas.
Bertolli Filho teringat satu hal. Saat pandemi flu Spanyol 1918, seorang dukun terkenal di Sao Paulo menyuntikan merkuri kepada pasien, dan membunuh banyak orang.
“Anehnya, banyak orang yang masih percaya kesaktian sang dukun,” kata Filho.
Ketika flu Spanyol menyebar ke banyak kota, dari Racife ke Rio, pemimpin agama menawarkan penyembuhan ajaib. Hari ini, orang Brasil menyaksikan para penginjil menjanjikan pengikutnya keselamtan dari Covid-19 dengan air suci, dan benih-benih supranatural.
Tahun 1918 wabah memicu ledakan desas-desus dan konspirasi. Salah satunya, kapal selam Jerman muncul diam-diam dan menyebarkan infirmitas di sepanjang pantai Brasil. Faktanya, kapal dagang Inggris yang disebut Demerara yang muncul.
Ada kesamaan yang kejam antara pandemi 1918 dan saat ini, yaitu bagaimana virus memilih korban secara membabi buta.
Bertolli Filho mengatakan kematian Presiden Brasil Rodrigues Alves membuktikan epidemi membuat setiap orang, dari kelas sosial mana pun, memiliki kesempatan sama untuk tertular dan mati.
Faktanya, 5.000 korban Covid-19 di Sao Paulo berasal dari kelas pekerja distrik industri seperti Mooca, Ipiranga, dan Bras. Di distrik inilah nenek Varella menyaksikan pemulung mayat bekerja setiap hari tahun 1918.
Pandemi tak Demokratis
Saat ini, daerah komunitas kerah biru paling menderita adalah Brasilandia, Freguesia do O, dan Capao Redondo. Di Rio, lingkungan barat seperti Campo Grande, Realengo, dan Bangu, mencatat korban tewas tertinggi.
Favela, pemukiman kumuh miskin, terpadat seperti Rocinha dan Complexo da Mare justru belum terpapar.
“Sebenarnya, pandemi tidak benar-benar demokratis,” kata Bertolli Filho.
Varella, yang sampai saat ini tinggal di rumah neneknya, mengatakan terlalu dini mengetahui seberapa tinggi harga yang dibaya orang miskin akibat pandemi ini. Di Brasil, satu persen penduduk terkaya mengendalikan 28 persen kekayaan.
“Situasi Brasil sangat mengkhawatirkan dan unik, karena menderita jenis sosial yang parah, dan ketidaksetaraan,” kata Varella.
Varella yakin situasi ini akan melanda negara lain; dua di antaranya Pakistan dan India. Brasil, katanya, mungkin yang pertama karena di sini 13 sampai 14 juta orang hidup dalam kondisi genting dan kemiskinan absolut.
“Sejak epidemi dimulai, saya bangun setiap hari dengan perasaan tertekan, memikirkan apa yang akan terjadi,” ujar Varella.
Masalah terbesar yang segera disaksikan di seluruh negeri adalah epidemi menyebar ke pinggiran kota dan favila, tempat gelandangan dan orang miskin menghabiskan hari-hari dengan kemiskinan yang melelahkan.
“Kapan akan berakhir, tidak ada petunjuk. Yang kita tahu, Brasil berada di tengah-tengah penyebaran,” Varella mengakhiri.