Dibanding Asia Timur, Negara-negara Barat tak Sukses Tangani Pandemi Covid-19
Seperti pernah diakui Sam Walton, pendiri jaringan ritel utama Amerika Walmart: “Hampir semua yang telah saya lakukan, saya salin dari orang lain.” Benar, karena ‘tak ada yang baru di dunia ini. Nil nuvo sub sole’.
JERNIH—Seiring bergulirnya pandemic Covid-19, dunia melihat bahwa Eropa dan Amerika Serikat relatif gagal memerangi pandemic. Bahkan tidak hanya gagal dalam memerangi pandemi COVID-19, mereka juga gagal di sejumlah bidang lain.
“Ada tiga metode untuk mempelajari kebijaksanaan: pertama, dengan refleksi, yang paling mulia; kedua, dengan meniru, yang paling mudah; dan ketiga dengan pengalaman, yang paling pahit,” menurut filsuf Cina kuno Konfusius.
Meniru orang lain adalah cara tercepat untuk mempelajari apa pun. Orang dewasa gemar menekankan orisinalitas pemikiran dan cenderung merasa malu meniru orang lain, menurut analisis Rainer Zitelmann di The National Interest, yang terutama berlaku untuk orang Eropa dan Amerika. Namun, orang Asia berpikir berbeda.
Seperti yang diajarkan Raja Sulaiman bin Daud AS, orang bijak belajar dari kesalahan orang lain, tetapi orang bodoh harus belajar dari kesalahannya sendiri.
Dalam bisnis, tidak ada yang aneh tentang menganalisis perusahaan yang sukses dan mencoba belajar dari model bisnis mereka dengan mengidentifikasi contoh “praktik terbaik”. Seperti yang pernah diakui Sam Walton, pendiri jaringan ritel utama Amerika Walmart: “Hampir semua yang telah saya lakukan, saya salin dari orang lain.” Benar, karena ‘tak ada yang baru di dunia ini. Nil nuvo sub sole’.
Hanya dalam politik tidak ada yang tampaknya mampu belajar dari pengalaman negara lain, setidaknya yang tampaknya terjadi di Eropa dan Amerika Serikat. Dalam pertempuran melawan pandemi COVID-19, kekacauan dan kontradiksi terlihat hampir setiap hari. Penguncian wilayah diberlakukan secara acak dan sembarangan hari ini, besok, bahkan mungkin lusa.
Di Eropa dan Amerika Serikat, telah terjadi kegagalan pemerintah dalam skala besar, meski seharusnya tidak terlalu mengejutkan. Bagaimanapun, pemerintah negara-negara itu tidak hanya gagal dalam memerangi wabah virus, tetapi juga gagal di sejumlah bidang lain.
Selama bertahun-tahun terakhir, Eropa tidak dapat mengamankan perbatasannya secara efektif. Demikian pula, infrastruktur publik berada dalam kondisi bencana di Eropa dan juga di Amerika Serikat.
Di Eropa, pemerintah negara-negara kawasan hanya berfokus untuk membuat orang bahagia dengan aliran program sosial yang tiada henti, yang dengan membanjirnya regulasi yang berlebihan lantas merusak ekonomi di setiap kesempatan.
Jerman adalah contoh yang sangat menyedihkan karena saat ini industri terkemuka negara itu, manufaktur otomotif, secara sadar dihancurkan di bawah beban peraturan ekonomi terencana.
Di seluruh Eropa, hak dan kebebasan warga negara sedang diinjak-injak, satu-satunya pengecualian (yang tampak) tampaknya berada di arena perlindungan data. Penjelasan lain yang mungkin, seperti di Jerman misalnya, aplikasi virus corona telah dikembangkan dan berhasil melakukan pekerjaan luar biasa dalam melindungi data, tetapi apakah ini berlaku untuk manusia?
Aplikasi tersebut sama sekali tidak berkontribusi untuk melawan pandemi. Dalam hal ini, itu memiliki banyak kesamaan dengan banyak tindakan lain yang bahkan lebih buruk daripada tidak melakukan apa-apa karena tindakan tersebut hanya menciptakan ilusi palsu.
Menurut perkiraan saat ini, banyak negara Eropa akan kehabisan kapasitas pengujian COVID-19 mereka. Di Cina, 9 juta penduduk baru-baru ini diuji di satu kota dalam lima hari. Cina membangun rumah sakit dengan seribu tempat tidur dalam satu setengah pekan.
Namun, begitu mulai berbicara tentang Cina, menurut analisis Rainer Zimelmann di The National Interest, orang-orang Barat bereaksi secara refleks dan mengeluh bahwa Cina adalah kediktatoran dan tidak memiliki apa pun untuk diajarkan kepada masyarakat bebas. Mengapa dibutuhkan kediktatoran untuk memberikan tes corona yang cukup bagi orang-orang? Tidak ada yang mengatakan negara lain harus meniru Cina secara membabi buta. Siapa yang secara serius akan menolak belajar dari orang-orang Cina?
Pada awal krisis wabah virus di Jerman, Kanselir Angela Merkel menyatakan bahwa masker sama sekali tidak efektif. Trump juga menghabiskan waktu berbulan-bulan mengejek orang-orang yang memakai marker. Hal ini membuat Rainer Zimelmann dari The National Interest bingung. Jadi mengapa populasi di seluruh Asia, yang memiliki lebih banyak pengalaman epidemi, kebanyakan memakai masker?
Kebetulan, Cina bukan satu-satunya negara yang menghasilkan pelajaran penting. Negara-negara demokratis seperti Taiwan, Singapura, dan Korea Selatan juga telah memerangi wabah virus jauh lebih efektif daripada Amerika Serikat dan negara-negara di seluruh Eropa.
Bagaimana dengan belajar dari Asia? Taiwan telah berhasil memblokir sepenuhnya transmisi lokal selama dua ratus hari. Dalam populasi 23 juta dan wilayah metropolitan yang semakin padat penduduk, tidak ada satu pun infeksi yang ditularkan, meskipun ada kasus berulang di antara para pelancong.
Korea Selatan, yang memiliki 50 juta penduduk dan hampir sebesar Italia, telah sepenuhnya mengalahkan gelombang kedua pandemi. Di seluruh Korea Selatan, tidak lebih dari 250 infeksi pernah tercatat dalam satu hari.
Semua keberhasilan tersebut membutuhkan pengorbanan dalam hal hak dan kebebasan warga negara. Akan tetapi negara-negara Eropa, sebagian telah memperkenalkan langkah-langkah yang jauh lebih drastis pada kebebasan pribadi, misalnya pada hak untuk menjalankan profesinya secara bebas.
Pembatasan kebebasan individu tidak dapat dihindari dalam pandemi, tetapi harus sesuai dan efektif. Tak satu pun dari kasus ini terjadi di Eropa. Pembatasan kebebasan diberlakukan secara tidak tepat dan tidak efektif. Beberapa negara bersiap untuk melumpuhkan ekonomi dan menghancurkan ribuan mata pencaharian, tetapi perlindungan data tetap sakral.
Sayangnya, Rainer Zitelmann menyimpulkan di The National Interest, krisis COVID-19 menawarkan konfirmasi lebih lanjut: negara tampil kuat di mana negara seharusnya lemah (dalam perekonomian), dan lemah di mana seharusnya kuat. [ ]