Crispy

Dinasti Politik, Sebuah Keniscayaan Demokrasi ?

Jakarta – Gibran Rakabuming dan Bobby Nasution sungguh beruntung. Keduanya boleh saja jarang tampil di depan publik layaknya Atta  Halilintar atau Selebgram  lain. Tapi, satu hal pasti mereka diuntungkan sistem demokrasi yang masih memberi ‘angin segar’ bagi kedatangan dinasti politik dalam pemerint ahan negara khususnya di Indonesia.

Di Pakistan, Benazir Bhutto anak bekas perdana menteri dan presiden  Zulfikar Ali Bhutto terakhir memerintah pada 1996. Syahwat politik membuat perempuan cantik itu ingin kembali tampil di dunia politik pada pemilihan umum 2008. Sayang, nyawanya harus melayang di tangan Bilal, pembawa bom bunuh diri berusia 15 tahun, anggota Jihad Islam pada 27 Desember 2007.

Asia memang menjadi ladang subur tumbuhnya dinasti politik. Rahul Gandhi, cucu dari bapak India, Jawaharlal Gandhi sampai April 2019 masih ngotot maju dalam pemilihan umum. Apes, dia harus menerima kekalahan dari Narendra Modi yang kini menjabat sebagai presiden.

Khusus di Tanah Air, masih ada dua dinasti politik masih ‘memperebutkan’ citra di mata publik. Gibran dan Bobby mewakili trah Soekarno sebagai Presiden RI ke-1 . Keduanya ditemani Puan Maharani yang kini didapuk sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Peruntungan Agus Harimurti Yudhoyono, anak pertama Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono juga masih mentok setelah berupaya maju sebagai calon gubernur di Pilkada DKI pada 2017.

Intinya, pamor pendahulu tidak lantas menjadi obat manjur bagi kesuksesan dalam dinasti politik. Gibran akan beradu taji dengan calon lainnya dalam perebutan kursi wali kota Solo pada 2020. Adapun Bobby kemungkinan besar bakal maju sebagai calon wali kota Medan tahun depan.

Undang-undang memang membolehkan setiap warga negara untuk menjadi perwakilan rakyat. Namun, akan lebih baik apabila sang calon dari dinasti politiik mengukur kemampuan. Hal itu terutama keterampilan dalam berpolitik.

Toh, dinasti politik akan selalu menjadi ‘ladang’. Keputusan Mahkamah Konsitusi membatalkan pasal 7 huruf r UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota dalam UU Pilkada menjadi obat manjur bagi trah dinasti politik untuk tampil sebagai politikus.

Padahal tujuan dibuatnya pasal berbunyi “kerabat petahana atau incumbent di dalam sebuah daerah tidak boleh mencalonkan diri di pilkada” sudah benar. Keinginan agar kekuasaan tidak disalahgunakan menjadi acuan. Namun, palu sudah diketok MK.

Segendang, Wakil Sekretaris Jenderal PPP Achmad Baidowi menanggapi enteng cibiran masyarakat ihwal kemunculan dinasti politik. “Tentang dinasti politik, juga tak ada larangan di undang-undang. Awalnya sempat dilarang namun kemudian dibatalkan MK,” ujar Baidowi. (bgs)

Back to top button