Crispy

Hukuman Mati untuk Koruptor, Pakar Hukum UGM: Hati-hati Memaknai Pasal 2 Ayat (2)

  • Cermati penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor.
  • Ada frasa ‘keadaan tertentu’ dan ‘pengulangan’ yang perlu diperhatikan.

JERNIH — Dr Djoko Sukisno SH, CN, pakar hukum dan akademisi Universitas Gadjah Mada, angkat bicara soal wacana hukuman mati. Menurutnya, meski hukuman mati diijinkan menurut Pasal 2 ayat (2) UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), tapi harus dicermati penjelasannya.

“Perlu kehati-hatian memaknai Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor yang berbunyi; ‘Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan’, karena harus pula dicermati bagian penjelasan atas ayat tersebut’,” kata Dr Djoko.

Berbicara kepada wartawan, Minggu 5 Desember 2021, Dr Djoko lebih jauh menjelaskan yang dimaksud dengan keadaan tertentu dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya, sesuai dengan UU yang berlaku. Misal, pada saat terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau saat negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Menurutnya, pada kalimat yang menyebutkan kata ‘pengulangan’ diawali dengan tanda baca koma. Maka anak kalimat tersebut dapat dimaknai sebagai berdiri sendiri dan tidak terkait dengan anak kalimat sebelum dan sesudahnya.

“Oleh karena itu, kalimat tersebut dapat berarti seseorang yang sudah pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana korupsi kemudian setelah keluar dia melakukan tindak pidana korupsi lagi. Sehingga orang tersebut layak untuk dituntut hukuman mati karena dianggap tidak jera atas hukuman yang pernah dijatuhkan padanya”, tekannya.

Terkait dengan wacana hukuman mati bagi para terdakwa Jiwasraya dan Asabri, maka perlu juga dicermati sekali lagi apakah diantara mereka ada yang residivis atau orang yang pernah dihukum dan melakukan tindak pidana yang sama.

“Lalu bagaimana dengan tempus delicti-nya, apakah negara dalam kondisi bencana alam atau dalam keadaan krisis moneter. Ingat, tempus delicti adalah waktu terjadinya suatu delik atau tindak pidana bukan waktu persidangannya,” katanya.

Sebelumnya, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin kembali menggaungkan wacana hukuman mati bagi terpidana korupsi. Pihaknya, akan membuka ruang diskursus dalam mengkaji secara ilmiah dan lebih dalam untuk dapat diterapkannya sanksi pidana terberat bagi para koruptor.

Dalam usaha pemberantasan tindak pidana korupsi, selain upaya preventif juga diperlukan upaya represif yang tegas sebagai efek jera. Kejaksaan Agung, katanya, telah melakukan berbagai macam upaya untuk menciptakan efek jera.

Upaya preventif yang dilakukan dalam penuntutan di antaranya, penjatuhan tuntutan yang berat sesuai dengan tingkat kejahatan, merubah pola pendekatan dari follow the suspect menjadi follow the money dan follow the asset.

Kemudian, pemiskinan koruptor dengan melakukan perampasan aset koruptor melalui asset tracing, sehingga penegakan hukum tidak sekedar pemidanaan badan tetapi juga bagaimana kerugian keuangan negara yang dapat dipulihkan secara maksimal.

Selanjutnya, penerapan pemberian justice collaborator yang dilakukan secara selektif guna menemukan pelaku yang lain, melakukan gugatan keperdataan terhadap pelaku yang telah meninggal dunia atau diputus bebas namun secara nyata telah ada kerugian keuangan negara.

Dirinya merasa upaya-upaya tersebut belum cukup untuk mengurangi kuantitas kejahatan korupsi. Oleh karena itu, Kejaksaan merasa perlu untuk melakukan terobosan hukum dengan penerapan hukuman mati.

“Kajian terhadap pelaksanaan hukuman pidana mati, khususnya terhadap para pelaku tindak pidana korupsi, perlu kita perdalam bersama. Hal ini mengingat belum ada satu putusan yang menerapkan pemidanaan ini sejak Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (yang selanjutnya disebut Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Keberadaan sanksi pidana yang tegas dan keras memiliki peran yang sangat penting dalam proses pemberantasan korupsi guna menghadirkan efek jera,” pungkas Burhanuddin.

Back to top button