CrispyVeritas

IKA UII Kritisi RUU Perampasan Aset: “Jangan Biarkan Hukum Jadi Alat Represi”

Ketua Umum IKA UII, Ari Yusuf Amir, merujuk data Indonesia Corruption Watch (ICW) yang mencatat bahwa pengembalian kerugian negara dari tindak pidana korupsi hanya 2,2 persen. Menurutnya, angka ini mencerminkan lemahnya mekanisme pemulihan aset dalam sistem hukum saat ini.

JERNIH– Ikatan Keluarga Alumni Universitas Islam Indonesia (IKA UII) menggelar Webinar Nasional bertajuk Urgensi Pengesahan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset, beberapa waktu lalu, sebagai bentuk kontribusi terhadap arah reformasi hukum nasional. Tiga narasumber dihadirkan dalam diskusi ini: pakar hukum pidana UII Mudzakir, anggota Komisi III DPR RI, Nasir Djamil, dan Deputi PPATK Bidang Pelaporan dan Pengawasan Kepatuhan, Fithriadi Muslim.

Ketua Umum IKA UII, Ari Yusuf Amir, dalam sambutannya menegaskan bahwa pembahasan RUU Perampasan Aset adalah agenda mendesak dalam konteks pemberantasan kejahatan ekonomi yang semakin sistemik. “Maraknya korupsi dan pencucian uang tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga memperdalam kesenjangan sosial, merusak fondasi moral publik, dan menggerus legitimasi hukum di mata rakyat,” kata Ari.

Ia merujuk data Indonesia Corruption Watch (ICW) yang mencatat bahwa pengembalian kerugian negara dari tindak pidana korupsi hanya 2,2 persen. Menurutnya, angka ini mencerminkan lemahnya mekanisme pemulihan aset dalam sistem hukum saat ini.

Dalam paparannya, Mudzakir menjelaskan bahwa RUU ini mengusung pendekatan non-conviction based asset forfeiture, yakni perampasan aset tanpa perlu menunggu putusan pidana terhadap pelaku. “Negara dapat mengambil alih aset hasil tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang inkracht, meskipun pelaku belum dijatuhi hukuman,” katanya.

Namun, ia juga memberi catatan tegas. “Pelaksanaan kebijakan ini harus tunduk pada prinsip due process of law, dilakukan secara profesional, dan diawasi ketat agar tidak disalahgunakan,” ujar Mudzakir.

Sementara itu, Nasir Djamil menyoroti posisi RUU ini dalam perencanaan legislasi nasional. “RUU ini belum masuk Prolegnas Prioritas 2025, tapi tercantum dalam Prolegnas jangka menengah,” katanya. Ia mengingatkan bahwa tanpa integritas aparat penegak hukum, RUU ini bisa disalahgunakan. “RUU ini masih bisa dipercepat lewat revisi Prolegnas, tetapi memerlukan tekanan publik dan komitmen politik yang kuat,” ujar Nasir.

Fithriadi Muslim dari PPATK menyebut lembaganya telah menginisiasi RUU ini sejak 2022. Pada awal 2023, Kementerian Hukum dan HAM menyerahkan draf RUU beserta Naskah Akademik kepada Presiden, yang kemudian dilanjutkan dengan koordinasi lintas kementerian. “Secara teknokratik dan administratif, RUU ini siap. Yang tertinggal adalah keberanian politik untuk membawanya ke pembahasan prioritas,” kata Fithriadi.

Webinar berkembang menjadi ruang refleksi kritis, dengan berbagai pertanyaan strategis yang mengemuka. Antara lain, apakah negara telah memiliki lembaga yang independen dan kapabel untuk menegakkan RUU ini secara adil? Bagaimana menjamin agar hukum ini tidak digunakan untuk mengkriminalisasi oposisi atau kelompok kritis? Dan sejauh mana masyarakat sipil dilibatkan dalam proses penyusunan dan pengawasan?

Diskusi ini menegaskan bahwa RUU Perampasan Aset bukan sekadar produk hukum, melainkan instrumen politik hukum yang menyentuh langsung relasi kuasa antara negara dan warga. Karena itu, transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik menjadi syarat mutlak.

IKA UII menegaskan bahwa hukum tidak boleh berubah menjadi senjata kekuasaan. “Hukum harus menjadi penjamin keadilan,” kata Ari. Pihaknya menyerukan kepada parlemen, pemerintah, akademisi, jurnalis, dan masyarakat sipil untuk tidak hanya mendorong pengesahan RUU ini, tetapi juga mengawalnya secara kritis agar tidak menyimpang dari tujuan utama: mengembalikan hak publik dan menjaga moralitas negara hukum.

IKA UII berkomitmen untuk terus hadir dalam forum edukatif, advokasi kebijakan, dan pengawalan legislasi guna memastikan arah politik hukum nasional tetap berpihak pada konstitusi dan keadilan sosial. [ ]

Back to top button