Konflik Bersenjata Thailand-Kamboja: Perang untuk Mengalihkan Perhatian

- PM Thailand Anutin Charnvirakul kehiangan populairtas jelang pemilihan umum tahun depan.
- Kamboja menghaapi tekanan ekonomi, karena ADB memangkas proyeksi pertumbuhan dari 6,1 persen menjadi 4,9 persen.
JERNIH — Banyak orang mengira konflik bersenjata di perbatasan Thailand-Kamboja berakhir setelah AS menekan keduanya untuk merundingkan gencatan senjata. Faktanya, belum lagi semua klausul yang disepakati dalam perundingan gencataan senjata diaplikasikan, kedua pihak terlibat saling tembak.
Konflik bersenjata kali ini memasuki hari keenam, dan bukan tidak mungkin akan lebih lama kedua pemerintahan sedang bergulat dengan kerentanan dan tekanan politik. Thailand menghadapi masalah domestik dan struktur komando yang rapuh. Pemerintahan PM Hun Manet, anak Samdech Hun Sen, menghadapi keresahan ekonomi
PM Thailand Anutin Charnvirakul, yang baru tiga bulan berkuasa, menghadapi kritik atas penanganan banjir mematikan di Hat Yai, selatan Thailand. Ia juga harus memastikan pemilihan umum berlangsung Maret 2026. Kritik atas penyelenggaraan SEA Games, dan PM Anutin yang diduga punya hubungan dengan jaringan penipuan internasional.
“Semua itu menurunkan popularitas PM Anutin dan Bhumjaithai, partainya,” kata Panitan Wattanayagorn, pakar independen tentang hubungan internasional dan keamanan.
Jajak pendapat yang diselenggarakan Universitas Suan Dusit baru-baru ini, yang digelar selama puncak bencana banjir mematikan, menemukan bahwa dukungan publik kepada PM Anutin anjlok dari 48 persen menjadi 23 persen.
Namun, PM Anutin punya insentif untuk mengalihkan isu sebagai akibat meningkatnya nasionalis di dalam negeri. “Peningkatan pertempuran merupakan taktik pengalihan perhatian yang jelas,” kata Vannarith Chheang, dosen kebijakan publik dan urusan global Universitas Teknologi Nanyang di Singapura.
Menurutnya, mengalihkan perhatian seperti itu adalah naluri alami politisi, apalagi sebelum pemilihan umum. “Saya pikir Kamboja telah siap dengan skenario ini, tapi tidak mengharapkan adanya pemboman skala besar,” kata Chheang.
Bagi PM Anutin, situasi dua hari terakhir tampaknya lebih kompleks dari sekedar menghujani Kamboja dengan meriam untuk kepentingan pemilu. Sebab, menurut Wattanayagorn, struktur kekuasan antara pemerintah sipil dan militer Thailand tidak transparan.
PM Anutin tidak sepenuhnya mengendalikan militer, tapi memiliki koneksi lebih baik dengan para jenderal dibanding Paetongtarn Shinawatra, PM yang terguling akibat konflik bersenjata di perbatasan Thailand-Kamboja. Prayut Chan-o-cha, PM sebelum Paetongtarn Shinawatra, punya otoritas mengendalikan militer karena berasal dari militer.
Thailand, yang unggul secara militer, mungkin memenangkan pertempuran dan mendapatkan konsesi. Namun, tidak ada jaminan PM Anutin diuntungkan oleh semua itu. Situasi perbatasan sepenuhnya berada di tangah militer, yang membuat hasil apa pun menjadi tidak terduga dan lebih sulit dikendalikan perdana menteri.
Tekanan Dalam Negeri Kamboja
Panitan Wattanayagorn yakin Kamboja mengamati situasi politik Thailand, dan tahu kepemimpinan di Bangkok dalam keadaan lemah dan terpecah-pecah. Sejarah politik kedua negara selama beberapa dekade memperlihatkan Phnom Penh sering memberi tekanan lebih besar pada penguasa sipil, dan kompromi atau bersekutu dengan pemimpin militer Thailand.
Selama ketegangan Preah Vihear 2008-2011, Kamboja bertukar bahasa diplomatik lebih tajam dan terlibat bentrok hebat berulang kali di perbatasan. Saat itu pemerintah di Bangkok dilemahkan oleh protes, kerapuhan koalisi, dan pergantian kepemimpinan yang cepat. Setelah Jenderal Prayut Chan-o-cha mengambil alih kekuasaan, bentrokan mereda.
Kamboja saat ini menghadai masalah serius. Analis mengatakan Kamboja berada di bawah tekanan politik dan ekonomi, yang mungkin membentuk sikapnya di sepanjang perbatasan. Bank Pembangunan Asia (ADB) baru-baru ini memangkas proyeksi pertumbuhan PDB Kamboja tahun 2025 dari 6,1 persen menjadi 4,9 persen karena risiko ketegangan perbatasan.
Lonjakan pekerja migran yang berutang dan membutuhkan pekerjaan, serta penyebaran operasi pusat penipuan, memperlihatkan tanda-tanda penciptaan tekanan ekonomi adn sosial yang serius. Departemen Luar Negeri AS, dalam laporan 2025, mengidentifikasi pola perdagangan manusia dalam operasi penipuan daring.
“Karena politik internal Kamboja, masih ada kebutuhan untuk memproyeksikan kemampuan dan kekuatan negara,” kaa Dulyapak Preecharush, profesor madya Studi Asia di Universitas Thammasat.
Chheang mengatakan konflik itu berdampak pada peningkatan kebanggaan nasional di kalangan pemuda Khmer dan menanamkan perasaan ketahanan di antara penduduk. “Jika kita hidup dalam damai terlalu lama, kita melupakan pentingnya persatuan nasional,” kata Chheang.
Ketegangan yang Diciptakan
Thailand tahu bagaimana meningkatkan ketegangan. November lalu, Bangkok menangguhkan langkah de-eskalasi yang disepakati, setelah satu tentaranya terluka oleh ranjau darat yang — menurut pihak militer Thailand –ditanam prajurit Kamboja.
Thailand menuntut permintaan maaf. Jika Kamboja tak mint maaf, Thailand tidak akan memulihkan ketentuan gencatan senjata. Sejak itu, situasi semakin memburuk.
“Kesepakatan damai saat itu sudah hampir hancur berantakan,” kata Jay Harriman, penasehat politik independen.
Presiden AS Donald Trump membawa Thaland dan Kamboja ke meja perundingan, Juli 2035 lalu, dengan menggunakan tarif sebagai alat tawar untuk memastikan perdamaian. Setelah pertempuran kembali terjadi, Trump menegaskan komitmennya untuk mendamaikan kedua negara.
Namun, PM Anutin memperlihatkan tanda-tanda berselisih dengan Washington. Bangkok tampaknya berharap AS lebih simpatik mengingat sejarah panjang kerja sama kedua negara. Bukankah AS dan Thailand sedang menghadapi persaingan pengaruh kekuatan besar, yaitu Tiongkok. Di sisi lain, Kamboja bersekutu dengan Beijing.
Bangkon sedang berupaya menyeimbangkan hubungan ekonomi denga AS dan Tiongkok. Di sisi lain, Kamboja — selain bersekutu dengan Tiongkok — punya punya kepentingan dengan Thailand.
Bagaimana Peran ASEAN?
Perang perbatasan Kamboja-Thailand kemungkinan akan berlangsung lama dan memburuk. Jika AS tak bisa mendamaikan keduanya, ASEAN diharapkan memainkan peran penting untuk terus mengajak keduanya hadir di meja perundingan.
Thitinan Pongsudhirak, profesor Hubungan Internasional di Universitas Chulalongkorn di Bangkok, mengatakan Trump mungkin akan memutuskan untuk menggunakan perdagangan sebagai alat tawar-menawr lagi, tapi ASEAN perlu mengatur tim penjaga perdamaian, bukan sekedar menjadi pengamat.
“ASEAN perlu lebih berani dan tegas,” kata Chheang.
Konflik berkepanjangan akan mengganggu perdagangan lintas batas, berpotensi memicu gelombang pengungsi baru, dan menguji kembali kemmpuan ASEAN untuk mencegah perselisihan di antara anggotanya.






